

Deru mesin dari kejauhan terdengar seperti dengung lebah raksasa yang tak pernah tidur, bahkan sebelum fajar sepenuhnya merekah di ufuk timur. Dari beranda lantai dua rumahnya yang megah, sebuah istana kayu jati yang berdiri angkuh di tengah hamparan sawah dan desa. Cundoko memandang ke arah luar dari jendela besar rumahnya.
Asap tipis mengepul dari dua cerobong pabrik genteng dan batako miliknya, tanda bahwa roda ekonomi desa ini sudah mulai berputar di bawah kendalinya. Sawah-sawahnya yang hijau terbentang laksana permadani zamrud, dialiri air dari sistem irigasi yang ia bangun sendiri. Semua tunduk padanya tanah, air, dan manusia.
Seorang pelayan perempuan bergegas meletakkan secangkir kopi hitam pekat di meja rotan di sampingnya, menunduk dalam-dalam tanpa berani menatap wajah tuannya.
Cundoko menyesap kopinya. Pahit, kuat, dan panas. Persis seperti kekuasaan yang ia genggam. Ia tersenyum tipis. Di usianya yang ke-48, ia adalah raja tak bermahkota di tanah ini. Setiap napas yang diembuskan warga desa, setiap butir beras yang mereka tanak, secara langsung atau tidak, adalah berkat kemurahan hatinya. Atau, setidaknya, begitulah citra yang ia bangun.
"Pagi, Mas."
Suara lembut namun tegas itu memecah lamunannya. Dewi, istri pertamanya, muncul dari balik pintu kaca. Dibalut daster batik lawasan yang sederhana namun bersih, rambutnya yang panjang disanggul rapi. Wajahnya memancarkan ketenangan seorang ratu yang tahu posisinya. Ia membawa nampan berisi pisang goreng hangat.
"Pagi, Dèk Ayu," sahut Cundoko, matanya masih menatap cakrawala. "Pabrik sudah mulai giling lagi?"
"Sejak subuh tadi, Mas. Seperti biasa," jawab Dewi, menata piring di meja. "Anak-anak sudah siap-siap sekolah. Sarapan sudah hampir siap di bawah."
Cundoko mengangguk puas. Dewi adalah pilar ketertiban di rumah ini. Ia adalah citra keluarga terhormat yang dibutuhkan Cundoko. Semua berjalan seperti mesin jam yang diminyaki dengan baik di bawah pengawasannya.
"Mana Sari?" tanya Cundoko, nadanya datar.
Dewi menghela napas hampir tak terdengar. "Mungkin masih di kamarnya. Tadi malam katanya habis nonton drama Korea sampai larut."
Baru saja kalimat itu selesai diucapkan, pintu kaca kembali bergeser. Sari, istri keduanya, melangkah keluar dengan gaun tidur satin berwarna merah menyala yang kontras dengan kesederhanaan pagi itu. Rambutnya yang diwarnai kecokelatan tergerai berantakan, dan matanya masih sedikit sembap. Di tangannya tergenggam ponsel keluaran terbaru.
"Mas, lihat ini!" seru Sari manja, sama sekali tidak memedulikan keberadaan Dewi. Ia menyodorkan layar ponselnya ke wajah Cundoko. "Tas ini lagi diskon besar di kota. Cuma sisa tiga. Aku pesan satu, ya? Boleh, kan?"
Cundoko melirik sekilas. Harga yang tertera di layar cukup untuk memberi makan sepuluh keluarga buruhnya selama sebulan. Ia tertawa kecil. "Ambil saja kalau suka."
Wajah Sari langsung berseri-seri. "Makasih, Mas! Mas Cundoko memang paling baik!" Ia mengecup pipi Cundoko sekilas, lalu duduk di kursi di seberangnya, jemarinya lincah menari di atas layar.
Dewi membuang muka, tatapannya kembali ke arah hamparan sawah. "Sarapan sudah siap di bawah," ulangnya, kali ini dengan penekanan yang lebih dingin.
"Sebentar, Mbak," sahut Sari tanpa menoleh. "Lagi transfer ini, nanti keburu diambil orang. Zaman sekarang itu harus serba cepat. Apa-apa pakai aplikasi. Praktis." Ia melirik sinis ke arah Dewi. "Nggak kayak zaman dulu, semua harus ditulis tangan, lambat."
Urat di pelipis Dewi menegang, tapi wajahnya tetap tenang. "Ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan kecepatan atau aplikasi, Sari. Kehormatan, misalnya."
Sari tertawa mengejek. "Kehormatan nggak bisa dipakai buat belanja, Mbak Dewi. Coba saja bawa kehormatan ke mal, lihat kasirnya mau terima atau nggak." Ia menoleh pada Cundoko, mencari dukungan. "Iya, kan, Mas? Uang itu raja."
Cundoko hanya tersenyum, menyesap kopinya lagi. Ia menikmati drama ini. Dua permaisurinya, yang satu mewakili tradisi dan martabat, yang satu lagi simbol kemewahan dan modernitas. Keduanya adalah aset. Keduanya adalah cerminan dari sisi berbeda dari kekuasaannya.
"Sudah, sudah," kata Cundoko menengahi, nadanya geli. "Dua-duanya penting. Rumah ini butuh kehormatan biar disegani, tapi juga butuh kemewahan biar orang tahu kita ini siapa. Kalian berdua itu tiang penyangganya."
Sebuah jawaban diplomatis yang tidak memihak siapa pun, namun justru semakin menegaskan posisinya sebagai pusat semesta mereka. Dewi terdiam, menerima pujian terselubung itu dengan keanggunan yang dipaksakan. Sari cemberut sejenak, tidak sepenuhnya puas karena Cundoko tidak seratus persen membelanya, tapi kemudian tersenyum lagi saat notifikasi transfer berhasil muncul di ponselnya.
Meja makan malam itu terasa lebih senyap dari biasanya. Ketegangan sisa dari pertengkaran pagi masih menggantung di udara, tebal seperti kuah opor ayam yang mengepul di tengah meja. Dewi makan dengan gerakan yang terukur dan anggun, seolah setiap suapannya adalah bagian dari sebuah ritual sakral. Sari, di seberangnya, sesekali melirik ponselnya yang diletakkan di samping piring, bibirnya sedikit mengerucut. Ia jelas masih kesal.
Cundoko duduk di kepala meja, mengunyah perlahan sambil mengamati kedua istrinya bergantian. Ia tampak tenang, bahkan menikmati keheningan yang sarat akan perang dingin ini. Baginya, ini bukan masalah, melainkan penegasan status. Ia adalah matahari, dan mereka adalah planet-planet yang beredar mengelilinginya, terkadang bertabrakan, tetapi tidak akan pernah bisa lepas dari orbit gravitasinya.
Para pelayan bergerak tanpa suara, menambah nasi atau menuangkan air, seolah takut satu bunyi kecil pun dapat menyulut ledakan.
"Nasi tambah, Mas?" tawar Dewi, memecah kesunyian.
"Cukup," jawab Cundoko singkat. Ia meletakkan sendok dan garpunya dengan pelan, menyilangkannya di atas piring yang sudah bersih. Ia bersandar di kursinya, tatapannya menyapu wajah Dewi, lalu beralih ke Sari.
"Ada yang ingin aku bicarakan," mulainya. Suaranya tenang, tetapi sarat dengan makna yang membuat semua orang di ruangan itu termasuk para pelayan yang berdiri di sudut menahan napas.
Dewi meletakkan sendoknya, menatap suaminya dengan penuh perhatian. Sari mengangkat kepalanya dari ponsel, alisnya terangkat penasaran.
"Usaha kita semakin besar," lanjut Cundoko, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang lambat. "Pabrik genteng akan buka jalur distribusi baru ke luar provinsi. Sawah juga akan panen raya bulan depan. Semua berjalan baik."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. Dewi mengangguk kecil. "Syukurlah, Mas. Semua berkat kerja kerasmu."
"Justru itu masalahnya," sahut Cundoko. Matanya berkilat aneh. "Semakin besar pohon, semakin kencang anginnya. Aku butuh lebih banyak dukungan. Bukan hanya dalam bisnis, tapi juga di rumah."
Sari tersenyum genit. "Aku selalu dukung Mas, kok. Mas mau apa? Mobil baru? Jam tangan? Biar penampilan Mas makin berwibawa di depan klien-klien dari kota."
Cundoko terkekeh, tetapi matanya tidak tertawa. "Bukan itu, Sari. Bukan barang."
Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua sikunya bertumpu di meja. Atmosfer di ruang makan itu terasa semakin berat, seolah udara dipompa keluar sedikit demi sedikit.
"Dewi, kamu pilar kehormatan keluarga ini. Kamu menjaga nama baikku, mendidik anak-anak dengan benar. Aku sangat menghargainya," katanya, menatap lurus ke mata istri pertamanya.
Wajah Dewi sedikit melunak mendengar pengakuan itu.
"Dan kamu, Sari," Cundoko beralih pada istri keduanya, "kamu adalah simbol keberhasilanku. Kamu menunjukkan pada dunia bahwa Cundoko mampu memberikan kemewahan tanpa batas. Itu juga penting untuk citraku."
Sari tersipu, merasa menang.
"Tapi," Cundoko menarik napas dalam-dalam, senyum puas mulai terukir di bibirnya, "aku rasa rumah ini masih terasa kurang lengkap. Masih ada ruang kosong yang perlu diisi."
Dewi mengerutkan kening, tidak mengerti arah pembicaraan ini. Firasat buruk mulai merayap di hatinya. Sari menatapnya dengan bingung, campur curiga.
Cundoko menikmati jeda dramatis yang ia ciptakan. Ia memandang kedua perempuan yang telah berbagi hidup dengannya, yang satu memberinya martabat, yang satu lagi kesenangan. Keduanya kini menatapnya dengan ekspresi tegang yang sama. Ia merasa seperti seorang sutradara yang akan menyampaikan adegan puncak dalam sandiwaranya.
"Untuk menyeimbangkan semuanya," ujarnya dengan suara yang jelas dan mantap, membelah keheningan ruang makan itu seperti kapak membelah kayu. "Saya sudah memutuskan."
Ia berhenti lagi, matanya berkeliling menatap lampu kristal yang menggantung di atas mereka, seolah sedang merenungkan sebuah keputusan agung.
"Saya akan menambah satu lagi di keluarga ini.