“"Hmph ...!!!"
Suara yang terdengar merdu tapi sedikit tertahan ini membuat Kevin terbangun. Tangannya masih berada di atas dada gadis yang yang sedang tertidur di sampingnya dan tampak sangat mempesona.
“Siapa, kau? Dasar pria mesum!”
Gadis itu langsung terbangun dengan kagetnya melihat tangan Kevin yang berada di atas dadanya.
Kevin tidak menanggapi ucapan dari Amelia Aurora, gadis cantik yang tidur di sampingnya ini.
Amelia lebih terkejut lagi saat melihat tubuhnya dalam keadaan polos tanpa satupun penutup tubuh.
“KURANG AJAR! Apa yang telah kau lakukan padaku?” tanyanya dengan wajah panik.
Namun, Kevin hanya bergerak pelan dari atas tempat tidur. “Aku mau mandi!” ucapnya ketus.
Udara kamar hotel itu terasa tebal oleh ketegangan. Aroma lembut parfum ruangan bercampur samar dengan wangi sabun yang masih menempel di tubuh Kevin, kontras dengan aroma kemarahan yang hampir terasa nyata dari napas Amelia. Cahaya lampu gantung memantulkan kilau marah di matanya, membuat wajahnya yang biasanya anggun kini tampak seperti medan perang.
“Dasar kau… pria mesum!” pekik Amelia, suaranya melengking tajam. Dengan gerakan cepat, ia meraih bantal hotel dan melemparkannya sekuat tenaga. Udara berdesir, tapi Kevin hanya miring sedikit, membiarkan bantal itu melesat lewat di sampingnya dan jatuh menabrak sofa.
“BANGSAT!” Amelia melangkah maju, tubuhnya bergetar menahan amarah. “Kau telah menodai kesucianku! Ayahku akan membunuhmu!” Wajahnya merah padam, bibirnya bergetar di antara rasa malu dan benci.
Kevin, yang hanya berbalut handuk putih yang melorot sedikit di pinggangnya, menoleh dengan tatapan datar. “Nona… kamu yang mengajakku ke dalam kamar hotel ini dan memaksaku melakukannya,” ucapnya, nada suaranya tenang tanpa ada emosi sedikit pun.
“APAAA?!” teriak Amelia, nyaris kehilangan kendali. Suaranya memantul di dinding kamar. “Aku memaksamu melakukannya? Dasar sampah! Aku masih perawan… tidak mungkin aku mengajak pria mesum tak dikenal sepertimu untuk meniduriku!” Napasnya memburu, dan ia menatap Kevin seolah ingin mengirisnya dengan mata telanjang.
Kevin menarik napas dalam. Ia memang bisa merasakan—dengan caranya sendiri—bahwa Amelia berkata benar soal keperawanannya. “Aku akan bertanggung jawab… tapi kasih aku waktu. Aku harus menemukan kekasihku… dan anakku.”
Ucapan itu justru membuat Amelia meledak lebih keras. “Kekasih? Anak? Bertanggung jawab?” Amelia tertawa hambar, lalu mendesis, “Hello… apa kamu pikir aku percaya mulut besarmu?”
Kevin hanya menatapnya singkat. “Terserah. Aku juga tak sengaja melakukannya… Iblis Surgawi di dalam tubuhku yang membuatku tak sadar telah berhubungan badan denganmu.”
Amelia menatapnya dengan ekspresi penuh ketidakpercayaan. “Kamu pikir aku ini gadis bodoh yang bisa kau bohongi? Iblis Surgawi? Dasar tukang tipu! Aku akan menelepon ayahku, biar dia yang memberimu hukuman setimpal!”
Ia berbalik, meraih ponsel mewah di meja rias dengan tangan gemetar. Jempolnya baru menyentuh layar ketika—swip!—ponsel itu menghilang dari genggamannya, seperti menguap di udara, dan tiba-tiba sudah ada di tangan Kevin.
Amelia ternganga. “Bagaimana kau melakukannya?” Matanya melebar, bergantian menatap Kevin dan ponselnya. “Selain penjahat kelamin, kamu juga tukang copet rupanya…”
Ia menelan ludah, wajahnya sedikit berubah dari marah menjadi takut. “Semoga saja aku tidak hamil karena ulahmu! Apa kau… memakai pengaman saat melakukannya?” Suaranya bergetar, dan kali ini, ketakutan mulai merayapi nadanya, seolah untuk pertama kali ia benar-benar memikirkan konsekuensi dari kejadian yang baru saja terjadi.
Wajah Kevin Drago mungkin cukup tampan dengan rahang tegas dan sorot mata yang tenang, tubuhnya tegap seperti seorang prajurit terlatih, namun penampilannya… jauh dari kesan mengesankan. Kemeja lusuh dengan beberapa benang terurai, celana usang yang warnanya mulai pudar, dan sepatu yang jelas sudah melewati masa jayanya. Ada kesan “kampungan” yang melekat kuat—sesuatu yang membuatnya tampak asing di kamar hotel mewah ini.
“Tentu saja tidak, Nona…” Kevin berkata sambil melipat kedua tangannya di dada, nada suaranya datar namun tegas. “Aku melakukannya langsung karena permintaanmu.”
“HAH?!” Amelia yang tengah duduk di ranjang sontak melotot. Selimut tebal menutupi tubuhnya yang polos, namun tatapan matanya setajam pisau. “Permintaanku? Apa kau sadar kalau kau telah memfitnahku?”
Kevin mengangkat alis tipisnya. “Iya… permintaanmu. Aku hanya mengantarmu pulang karena melihatmu berjalan sendirian dalam keadaan mabuk di jalanan kota. Hampir saja kamu menjadi korban para pria mesum di luar sana kalau aku tidak membereskan mereka dan mengantarmu ke sini.”
“Dasar pembual!” Amelia mendesis, nada bicaranya penuh ketus. “Kamulah pria mesum itu, bukan orang lain! Kembalikan ponselku!”
Kevin menarik napas pelan, seperti sedang mengendalikan kesabaran. “Kamu diberi obat bius, Nona. Sungguh luar biasa kamu bisa lolos dari perangkap mereka.”
Kata-kata itu membuat Amelia yang tadinya menatapnya dengan penuh kebencian, tiba-tiba mematung. “Obat bius…?” gumamnya, alisnya berkerut. Ingatannya berkelebat—ruangan rapat, suara tawa, gelas minuman, lalu… kabur. Ia menegakkan tubuhnya, kesadarannya perlahan kembali. “Rudy Tantrama…?” Napasnya memburu. “Beraninya dia meracuniku?”
Kevin tersenyum tipis. “Bagus kalau ingatanmu sudah kembali. Aku mau mandi dulu.” Ia melangkah santai menuju kamar mandi.
“TUNGGU!”
Langkah Kevin terhenti, bahunya sedikit berputar untuk menoleh. “Apa lagi, Nona?”
“Lakukan satu permintaanku, maka aku tidak akan melaporkan kejadian memalukan ini pada ayahku,” ucap Amelia, suaranya dingin namun penuh tekanan.
Kevin menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Apa yang kamu inginkan?”
Amelia mengangkat dagu, sorot matanya tajam. “Cari orang bernama Rudy Tantrama… patahkan kaki dan tangannya. Buat dia lumpuh seumur hidup. Kalau itu kau lakukan, aku akan mengampuni kesalahanmu.”
“Tidak mau.” Jawaban Kevin singkat, dan tanpa menunggu reaksi, ia langsung menutup pintu kamar mandi.
Amelia ternganga, darahnya mendidih. Ia merasa dipermalukan, diabaikan. Dalam gerakan spontan, ia meraih handuk, melilitkannya di tubuh, lalu berjalan cepat dan menggedor-gedor pintu kamar mandi.
“KELUAR KAU!” teriaknya, hantaman tangannya di pintu membuat suara kayu bergetar.
Mendadak, pintu terbuka dari dalam. Amelia yang sedang mencondongkan tubuh ke depan kehilangan keseimbangan, tubuhnya meluncur tanpa kontrol.
“Merepotkan saja,” gumam Kevin sambil menangkapnya sebelum ia mencium lantai.
Namun gerakan itu membuat handuk Amelia terlepas, jatuh di lantai. Seketika, tubuh indahnya yang sempurna terlihat jelas di hadapan Kevin. Meski begitu, pria itu hanya memandangnya sebentar tanpa ekspresi, seolah tubuh perempuan di depannya tak memiliki efek apa pun padanya.
“Mau mandi sekalian?” tawarnya dengan nada datar.
Wajah Amelia memanas. Bukan karena malu semata, tapi karena rasa dipermalukan yang semakin membakar hatinya. Ia meraih handuk dengan gerakan cepat dan membungkus tubuhnya kembali. “Pokoknya aku tak mau tahu! Lakukan tugasmu, atau aku tak akan segan-segan melaporkanmu ke polisi!”
Kali ini, Kevin tidak langsung menjawab. Tatapannya meredup, wajahnya sedikit menegang. Berurusan dengan aparat hukum adalah masalah besar—dan itu berarti membuka identitasnya. Ia telah menghilang selama sepuluh tahun, dan jika wajahnya terlihat publik, akan ada terlalu banyak pertanyaan. Terlalu banyak orang yang ingin tahu mengapa penampilannya sama sekali tidak berubah sejak usia 21 tahun.
Semuanya karena budidaya spiritual yang ia jalani—sebuah perjalanan panjang yang membawanya pada tingkat kesempurnaan tertinggi. Alam Kosmik sudah ia kuasai dengan mudah, menjadikannya bukan hanya penguasa dunia manusia, tapi juga Raja Iblis dan Dewa di alam itu.
Kini, semua itu berada di ujung tanduk hanya karena satu gadis yang bahkan baru pertama kali ia temui setelah keluar dari Alam Kosmik.