Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pedang Naga Puspa

Pedang Naga Puspa

au ulfah | Bersambung
Jumlah kata
34.9K
Popular
100
Subscribe
6
Novel / Pedang Naga Puspa
Pedang Naga Puspa

Pedang Naga Puspa

au ulfah| Bersambung
Jumlah Kata
34.9K
Popular
100
Subscribe
6
Sinopsis
18+PerkotaanAksiPedangNagaSpiritual
Di tengah kabut Kota Medan, seorang pemuda bernama Raja Pohan tanpa sengaja menemukan pedang misterius di tepi Sungai Deli. Pedang itu terbungkus kain merah tua, dan ketika dibuka, memancarkan cahaya biru yang memanggil bayangan seekor naga raksasa. Raja tak tahu, pedang itu adalah Pedang Naga Puspa—pusaka kuno yang konon bisa menguasai dunia atau menghancurkannya. Sejak memegangnya, ia menjadi buruan para pendekar bayaran, pemburu pusaka, hingga klan rahasia yang sudah ratusan tahun mencari pedang tersebut. Dengan bantuan seorang kakek misterius, Raja harus mempelajari rahasia pedang itu sambil bertarung melawan musuh yang semakin kuat. Namun perjalanan ini bukan sekadar laga; di balik bilah biru Pedang Naga Puspa, tersimpan kisah pengkhianatan, persahabatan, dan pilihan berat antara kekuatan dan kemanusiaan. Dari gang sempit Medan, pasar tradisional, hingga hutan mistis Tapanuli, Raja akan dihadapkan pada pertarungan hidup dan mati. Dan di setiap langkah, suara naga di dalam pedang itu terus berbisik, menawarkan kekuatan... dengan harga yang tak pernah ia bayangkan.
Darah di Ujung Taman Seroja

Hujan baru saja reda, tapi langit Medan masih kelabu. Awan berat menggantung rendah, seperti enggan pergi. Di Taman Seroja, aroma tanah basah bercampur dengan wangi bunga yang mekar setelah diguyur hujan. Kabut tipis menyelimuti jalan setapak yang diapit pohon flamboyan, membuat suasana seperti dunia lain.

Di tengah kabut itu, seorang pemuda berjaket hitam lusuh melangkah pelan. Sepatunya basah, penuh lumpur. Di pinggangnya, tergantung sebuah sarung pedang yang dibalut kain merah tua. Wajahnya keras, tapi matanya tajam dan penuh waspada. Dialah Raja Pohan, anak muda yang sudah terkenal di kampungnya karena satu hal: pernah melawan tiga preman pasar hanya bermodalkan sendok nasi.

“Alamak... becek kali jalan ini,” gumamnya sambil mengibaskan sepatu. “Kalau lah tahu gini, tadi aku lewat gang belakang, gak usah gaya-gaya mau lewat taman. Kenapa lah aku begini ya...”

Taman Seroja bukan tempat yang sering ia datangi. Orang-orang bilang taman ini cantik kalau pagi, tapi menyimpan banyak cerita aneh. Ada yang bilang pernah lihat cahaya biru melayang-layang di antara pepohonan. Ada juga yang mengaku mendengar suara orang menangis di malam hari. Raja tak percaya begitu saja—sampai hari ini.

Ia berhenti di depan pohon seroja raksasa di tengah taman. Pohon itu berbeda dari pohon seroja biasa—batangnya tebal, kulitnya retak-retak seperti urat tua, dan akar-akarnya menjalar ke tanah seperti ular. Konon, pohon ini sudah ada ratusan tahun, lebih tua dari sejarah Kota Medan sendiri.

Saat Raja menatap pohon itu, terdengar suara napas berat. Bukan napas binatang, tapi napas manusia. Suara itu datang dari balik kabut.

Raja langsung siaga, tangannya menyentuh gagang pedang di pinggangnya. “Siapa di situ? Jangan main-main sama aku pagi-pagi gini, bah. Kalau mau nyamun, pilihlah orang lain. Aku lagi bokek.”

Tak ada jawaban. Hanya suara langkah pelan, seperti seseorang menyeret kaki. Lalu, dari kabut, muncul sosok lelaki tua berjanggut putih panjang. Bajunya lusuh, tapi matanya... matanya tajam seperti elang, memandang Raja tanpa berkedip. Di tangannya ada tongkat kayu yang ujungnya menghitam, seperti bekas terbakar.

“Kalau kau mau selamat, tinggalkan pedang itu,” kata si kakek, suaranya berat tapi tenang.

Raja mengernyit. “Apa? Ini pedang aku, bah. Aku... eh...” Ia terhenti. Memang, sebenarnya pedang itu bukan miliknya sejak awal. Ia menemukannya tiga hari lalu, tersangkut di batang bambu di tepi Sungai Deli, terbungkus kain merah dan dililit rantai kecil yang sudah berkarat.

“Aku gak maling, tapi ini udah jadi tanggung jawab aku,” lanjut Raja. “Lagi pun, pedang ini cantik kali. Beratnya pas, pegangannya mantap. Kau kira aku mau jual? Enggak lah.”

Kakek itu tersenyum tipis. “Cantik, iya. Tapi pedang itu bukan sekadar besi dan kayu. Itu Pedang Naga Puspa. Dan semua yang memegangnya... akan diburu sampai mati.”

Raja terkekeh, mencoba meremehkan. “Kau ini siapa? Peramal? Tukang obat keliling? Ah, sudah lah. Aku mau pulang.”

Tiba-tiba, dari arah belakang, terdengar langkah cepat disertai bunyi logam beradu. Raja menoleh. Dari kabut, empat orang berpakaian hitam melompat keluar. Wajah mereka tertutup kain, hanya mata yang terlihat. Masing-masing memegang golok besar yang kilatnya memantul dari sisa cahaya matahari pagi.

“Serahkan pedang itu, bocah!” teriak salah satu, suaranya berat.

“Waduh, ini grup mana lagi nih? Cosplay ninja?” Raja mundur satu langkah, tapi tangannya sudah mantap memegang gagang pedang.

“Kami tidak main-main!” teriak yang lain, lalu melangkah maju. “Pedang itu bukan hakmu. Serahkan, atau—”

“Atau apa? Kau mau patuk aku?” sela Raja, mencoba mengulur waktu. Ia melirik kakek tua yang masih berdiri tenang, seolah menikmati pemandangan.

Raja menghela napas panjang. “Kau mau pedang ini? Ambil lah... kalau kau sanggup.”

Dengan satu gerakan cepat, ia membuka kain merah yang membungkus pedang. Seketika, bilah pedang itu memancarkan sinar biru terang, membuat kabut di sekitarnya berputar seperti tersedot ke dalam pusaran angin. Udara menjadi dingin, menusuk sampai ke tulang.

Dari bilah pedang itu, muncul bayangan seekor naga raksasa, sisiknya biru kehijauan, matanya berkilat seperti batu safir. Naga itu melayang di udara, mengitari Raja dan para penyerangnya. Angin yang dibawanya membuat daun-daun beterbangan.

Keempat pria berpakaian hitam itu berhenti mendadak, wajah mereka pucat di balik penutup. Salah satu bergumam ketakutan, “Itu... itu benar-benar Pedang Naga Puspa...”

Kakek tua itu tersenyum tipis. “Nah, sekarang nasibmu sudah terikat, Nak. Kau tidak akan pernah bisa lari lagi.”

Raja menelan ludah. “Alamak... ini udah di luar rencana, bah...”

Tiba-tiba, naga itu mengaum, suara yang membuat tanah bergetar. Sekejap kemudian, salah satu pria berpakaian hitam nekat maju, mengayunkan goloknya ke arah Raja. Tapi sebelum bilahnya mengenai, pedang biru itu bergerak sendiri—memotong udara dan memantulkan serangan dengan kekuatan yang membuat penyerang itu terlempar tiga meter ke belakang.

Raja terpaku. “Woi... kau bisa gerak sendiri ya?”

“Pedang itu memilih pemiliknya,” kata si kakek. “Dan kau... sudah dipilih.”

Tiga penyerang lain mulai menyerang bersamaan. Pertarungan pecah di tengah kabut. Raja tak pernah belajar ilmu pedang, tapi entah kenapa, tubuhnya bergerak lincah. Setiap serangan musuh seperti bisa ia baca sebelum terjadi. Pedang itu bergetar di tangannya, mengarahkan ayunan dan tebasan.

Darah mulai membasahi tanah Taman Seroja. Satu demi satu, penyerang itu roboh, entah pingsan atau tak bernyawa. Raja berdiri terengah, tangan dan bajunya berlumur darah.

Ia memandang ke arah kakek tua itu. “Oi, apa sebenarnya pedang ini?”

Kakek itu berjalan mendekat, menatap Raja dengan sorot mata penuh rahasia. “Pedang Naga Puspa adalah kunci. Tapi kunci untuk apa... hanya kau yang akan tahu, ketika saatnya tiba.”

Kabut semakin tebal, dan dari kejauhan, terdengar suara langkah lain—lebih banyak, lebih berat. Raja merasakan bulu kuduknya meremang.

“Bersiaplah, Nak,” kata si kakek. “Yang datang berikutnya... jauh lebih berbahaya.”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca