

Bagian 1: Hari Buruk Fang
Di pagi buta, Fang — naga muda dengan sisik hijau zamrud — bangun dari tidurnya dengan mulut berair. Ia bermimpi menjadi naga hebat yang menyemburkan api seperti kakeknya, Naga Bara. Tapi kenyataan pagi itu pahit. Saat mencoba latihan sembur api di depan sarangnya, ia malah mengeluarkan “Pfffrrrt~” yang memalukan, lengkap dengan asap tipis dan aroma… telur busuk.
Suara kentutnya bergema di Gunung Berkabut, mengundang tawa kawanan naga lain. Fang berusaha tenang, tapi ekornya bergetar — tanda ia mau kabur dari rasa malu.
Namun hari itu tidak berhenti di situ. Saat terbang ke pasar desa untuk membeli sarapan (naga di sini tidak makan manusia, tapi suka donat madu), Fang tersandung menara jam karena melamun, membuat seluruh penduduk menatap. Belum cukup, ia juga secara tak sengaja mengempaskan sayap hingga memecahkan kios penjual wortel.
Kakek Naga Bara yang menyaksikan semua ini menggeleng pasrah. "Kalau terus begini, Fang… satu-satunya hal yang kau taklukkan hanyalah hidung musuh," katanya. Fang pun pulang lesu, merasa mungkin dirinya memang tak akan pernah menjadi naga hebat.
Namun, saat senja tiba, seekor bocah manusia berkantong kain lusuh mendatangi sarangnya. Bocah itu, bernama Liko, berkata dengan wajah cerah, “Aku butuh naga… bahkan kalau dia cuma bisa kentut.” Fang mengerutkan alisnya — ini awal dari sesuatu yang aneh.
---
Bagian 2: Pertemuan dengan Bocah Aneh
Fang memandang Liko dari ujung moncongnya. “Kau tahu aku tidak bisa sembur api, kan?” tanyanya.
“Aku tahu,” jawab Liko enteng. “Tapi aku punya misi, dan kentutmu mungkin satu-satunya yang bisa menyelamatkan desa.”
Awalnya Fang mengira ini lelucon. Tapi Liko menceritakan bahwa desa tempatnya tinggal diserang oleh kawanan tikus raksasa pemakan baja — makhluk aneh yang takut pada satu hal: bau menyengat. Fang sempat terdiam, lalu menunduk. “Jadi… kau ingin menyewa aku… sebagai senjata bau?”
“Bukan cuma senjata bau,” Liko tersenyum, “senjata paling memalukan yang ternyata bisa jadi penyelamat.”
Fang ingin menolak, tapi tatapan Liko seperti anak yang memohon bantuan terakhir di dunia ini. Selain itu, ada sedikit rasa penasaran di hati Fang — mungkin inilah kesempatan membuktikan bahwa dirinya tidak sepenuhnya gagal.
Akhirnya Fang setuju, dengan satu syarat: Liko harus membawa donat madu sebagai bayaran harian. Bocah itu setuju tanpa pikir panjang. Mereka pun berangkat malam itu juga, menuju desa Liko.
Namun, tak lama setelah mereka memulai perjalanan, suara gemuruh aneh terdengar dari arah hutan. Fang menoleh… dan menyadari itu bukan perutnya yang berbunyi. Sesuatu sedang mengikuti mereka, dan rasanya ini akan jadi awal dari petualangan paling konyol sekaligus berbahaya dalam hidupnya.
---
Bagian 2: Pertemuan dengan Bocah Aneh
Fang menatap bocah itu lama, berusaha memastikan ini bukan mimpi aneh yang muncul gara-gara makan terlalu banyak donat madu semalam. “Kau tahu aku… eh… bermasalah, kan? Aku nggak bisa sembur api,” kata Fang ragu.
“Aku tahu,” jawab Liko santai sambil menggaruk kepala. “Makanya aku mencarimu.”
“Lho? Bukannya orang biasanya mencari naga yang bisa membakar musuh?” Fang mengernyit.
Liko menggeleng. “Desaku diserang kawanan tikus baja. Mereka kuat, giginya tajam, tapi mereka benci bau menyengat. Jadi… ya… kentutmu adalah senjata rahasia yang kami butuhkan.”
Fang hampir tersedak ludahnya sendiri. “Kau mau bilang… aku harus… kentut… di depan semua orang?”
“Kalau mau menyelamatkan desa, iya,” kata Liko sambil mengangkat bahu, seolah itu hal paling wajar di dunia.
Fang menatap Liko dari kepala sampai kaki. Anak ini kurus, pakaiannya tambal-sulam, tapi matanya… penuh keyakinan. Entah kenapa, itu membuat Fang agak goyah. Di satu sisi, ia masih malu mengingat pagi tadi jadi bahan tawa. Di sisi lain… ini mungkin kesempatan membuktikan bahwa dirinya bisa berguna.
“Baiklah,” kata Fang akhirnya, “tapi ada syarat.”
“Apa?”
“Setiap hari kau harus membawakan donat madu. Dan bukan yang kemarin, yang masih hangat.”
Liko tersenyum lebar. “Deal.”
Mereka pun berangkat saat langit mulai berwarna jingga. Fang sedikit gugup, Liko berjalan ringan sambil bersenandung. Namun di tengah perjalanan melewati hutan, ranting di atas mereka bergetar. Fang berhenti.
“Kau juga dengar itu?” bisik Liko.
Suara krak-krak dari ranting terdengar lagi, lalu tiba-tiba… sesuatu melompat dari kegelapan, mendarat di jalan tanah di depan mereka. Bukan tikus baja… tapi sosok yang membuat Fang berpikir, “Oh, tidak… ini akan lebih aneh dari yang aku bayangkan.”
---
Sosok itu berdiri membungkuk, tertutup tudung kain abu-abu. Nafasnya berat, matanya menyala merah redup dari balik bayangan. Fang otomatis merentangkan sayapnya untuk melindungi Liko.
“Apa itu tikus baja?” tanya Fang, menahan suara agar tidak terdengar takut.
Liko menggeleng cepat. “Tidak… tikus baja tidak berdiri dengan dua kaki.”
Tiba-tiba, sosok itu mengeluarkan suara… kruk… kruk… seperti logam beradu. Perlahan ia mendekat, lalu menyingkap tudungnya. Ternyata… itu adalah wanita tua dengan helm panci di kepalanya, membawa tongkat yang ujungnya adalah sendok raksasa.
“Syukurlah… kalian belum lewat. Hutan ini berbahaya,” kata si nenek. “Baru tadi siang aku melihat kawanan tikus baja lewat sini. Mereka… mencari sesuatu.”
Fang mengerutkan kening. “Mencari apa?”
Nenek itu menatapnya lama, lalu menjawab, “Mereka mencari naga yang tidak bisa menyembur api.”
Fang menelan ludah. Liko langsung berdiri di depan, membentangkan tangan seolah hendak melindunginya. “Kalau begitu, mereka harus berhadapan dengan kami.”
Si nenek menghela napas, lalu memberikan Fang sebuah kantung kain. “Kalau kau memang mau melawan mereka, simpan ini. Angin akan membantumu… kalau tahu cara meniupnya.”
Fang memandang kantung itu. Isinya? Belum jelas. Tapi saat ia membukanya sedikit, aroma manis aneh menyeruak, bercampur dengan bau khas dirinya. Aneh… tapi entah kenapa ia merasa kantung ini akan berguna.
Langit mulai gelap. Mereka memutuskan melanjutkan perjalanan ke desa. Tapi bayangan di antara pepohonan mengikuti dari kejauhan, matanya memantulkan cahaya bulan. Dan di udara… terdengar sayup-sayup bunyi dentingan logam mendekat.
---
Langkah mereka semakin cepat, tapi suara krek-krek dari pepohonan seakan mengikuti irama napas Fang. Sesekali ia menoleh, dan setiap kali, ia melihat sekilas siluet kecil berkilau—seperti helm logam mini—hilang di balik batang pohon.
“Fang… kita diikuti,” bisik Liko.
Fang menelan ludah. “Mungkin… hanya burung besi?”
“Burung besi tidak mengendus seperti itu,” jawab Liko, wajahnya pucat.
Tiba-tiba, dari arah belakang, daun-daun bergoyang cepat. Sesuatu melompat keluar—sebuah makhluk berbentuk tikus, tapi tubuhnya seluruhnya terbuat dari kepingan logam berkarat. Matanya merah menyala, dan di punggungnya ada roda gigi yang berputar pelan.
Satu ekor… lalu dua… lalu lima.
“Liko… itu bukan burung besi,” ujar Fang datar.
Makhluk-makhluk itu bergerak bersamaan, mengelilingi mereka. Gigi-gigi logam mereka berderit-derit, seolah siap menggigit apa saja. Fang berdiri memunggungi Liko, mencoba terlihat gagah, padahal ekornya gemetar.
Dan saat makhluk itu hendak melompat—
PRAAATT!
Suara itu keluar begitu saja. Kentut Fang… keras, panjang, dan sedikit bernada fals di akhir.
Angin yang dihasilkan entah bagaimana membuat roda gigi di punggung tikus-tikus baja itu berputar cepat ke arah berlawanan. Makhluk-makhluk itu mendadak kacau, berjalan mundur, lalu jatuh terguling seperti mainan yang salah diputar.
Liko melongo. “Fang… itu tadi… senjata rahasia?”
Fang mengangkat dagu, mencoba bersikap keren. “Ehm… yah… bisa dibilang begitu.”
Padahal, ia sama sekali tidak merencanakannya.
Tikus-tikus baja itu perlahan bangkit lagi, tapi tidak menyerang. Mereka justru menatap Fang lama, lalu berlari masuk ke dalam hutan, meninggalkan bunyi derit logam menjauh.
Fang dan Liko saling pandang.
“Sepertinya… kita baru saja masuk daftar buruan,” kata Liko lirih.
Fang mengangguk pelan. “Dan entah kenapa… aku merasa ini baru permulaan.”
Langit malam menutup hutan dengan kegelapan penuh. Di kejauhan, terdengar terompet aneh yang seperti terbuat dari pipa logam, memanggil sesuatu yang lebih besar.