

Di tengah malam yang sunyi, ketika kegelapan menyelimuti dunia, jeritan klakson memecah keheningan bak petir di langit cerah.
"TIINNN! TIINNN!" Teriakan mekanis itu disusul derit ban yang mencakar aspal.
“CEPAT MINGGIR!”
Sebuah truk melaju bagai binatang buas yang kehilangan kendali, dan di balik kemudinya, sang sopir hanya bisa menatap ngeri. Sosok misterius muncul tiba-tiba di tengah jalan yang sepi, bagaikan bayangan yang terpanggil dari kegelapan.
Rem diinjak, namun nasib telah menentukan akhir yang lain. "Ugh... Truck-kun," rintih seorang pria yang kini tersungkur di tanah, suaranya parau, penuh kepedihan.
Tubuhnya remuk, tulang-tulangnya seolah meratap di bawah beban luka. "Aku cuma bercanda di kolom komentar... bilang kau boleh menabrakku biar terlihat keren. Tapi ini... seriusan?!" Ia mencoba mengangkat kepala, namun rasa sakit menjalar bagai api yang melahap sekujur tubuhnya. "Sial, ini sakit sekali!"
Pria itu bernama Juan, seorang lelaki berusia 35 tahun yang kini terbaring di pelukan dingin aspal. Matanya semakin berat, pandangannya kabur bagaikan lukisan yang luntur di bawah hujan. Ia berjuang untuk tetap sadar, menolak kegelapan yang merangkak mendekat. Namun, perlahan, bayang-bayang itu menelannya, dan kesadarannya pun lenyap, tenggelam dalam lautan tak bertepi.
---
"Hwa!" Juan tersentak bangun, jantungnya berdetak kencang seolah hendak melompat dari dadanya. Keringat membasahi dahinya, napasnya tersengal. "Mimpi buruk sekali..." gumamnya, namun seketika alisnya berkerut. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tak beres. Dunia di sekitarnya terasa asing, seperti lukisan yang digambar oleh tangan orang lain.
"Di mana aku?" tanyanya pada keheningan, suaranya bergema di ruangan yang tak dikenal. Dinding-dindingnya bukan beton kokoh seperti kamarnya, melainkan kayu usang yang tampak rapuh, seolah menyimpan rahasia berabad-abad. Perabotan di sekitarnya sederhana, tua, dan berderit—seperti peninggalan dari masa yang telah lama dilupakan. Tak ada kemewahan, hanya keheningan yang mencengkeram jiwanya.
Kebingungan menari di benak Juan, pikirannya berputar liar mencari jawaban. ‘Apakah aku diculik?’ Hatinya mencelos, namun ia segera menepis pikiran itu. ‘Tidak masuk akal. Aku bukan siapa-siapa. Siapa yang mau repot-repot menculikku?’ Ia menggeleng, mencoba merangkai logika. ‘Jadi, apakah tabrakan itu nyata? Benarkah aku ditabrak truk?’ Pertanyaan itu menggantung berat di udara.
Dengan ragu, ia mengangkat tangan untuk menyentuh dahi, namun jari-jarinya membeku. Ada benjolan asing di kepalanya, sesuatu yang tak seharusnya ada. ‘Apakah seseorang menyelamatkanku?’ pikirnya, berusaha mencari secercah harapan. ‘Kalau begitu, aku pasti di rumah sakit.’ Namun, bayangan tagihan rumah sakit segera menghantuinya, membuatnya mengerang dalam hati. ‘Sial, utang rumah sakit! Seharusnya aku beli asuransi kesehatan...’
Namun, di tengah kepanikan yang mendera, sesuatu membuatnya terhenyak. Tangannya—ia baru menyadarinya—tampak lebih pucat, lebih ramping, seolah bukan miliknya. Dengan jantung yang nyaris berhenti, ia menunduk.
Pakaiannya bukan lagi kemeja dan celana yang biasa ia kenakan, melainkan jubah longgar yang usang, berdebu, dan sama sekali asing. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh wajahnya. Jenggotnya yang biasa menghias dagu telah lenyap. Struktur wajahnya terasa halus, berbeda, seperti milik orang lain.
Saat itulah, sebuah pikiran gila melintas di benak Juan, membuat bulu kuduknya merinding dan jiwanya bergidik. ‘Tunggu... ini tidak mungkin...’