Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pengemis Menjadi Kultivator

Pengemis Menjadi Kultivator

Vincensius | Bersambung
Jumlah kata
93.5K
Popular
100
Subscribe
8
Novel / Pengemis Menjadi Kultivator
Pengemis Menjadi Kultivator

Pengemis Menjadi Kultivator

Vincensius| Bersambung
Jumlah Kata
93.5K
Popular
100
Subscribe
8
Sinopsis
18+FantasiFantasi TimurKultivatorMengubah Nasib
Raka, seorang pengemis jalanan di Jawa Timur, hidupnya selalu diabaikan dan dihina. Suatu hari, ia secara tak sengaja mendapatkan Batu Giok Nusantara, sumber kekuatan kultivasi kuno. Dengan tekad untuk bertahan hidup dan melindungi orang yang lemah, Raka mulai menapaki jalan kultivasi yang penuh bahaya.Di perjalanan, ia bertemu Arya, pendekar pedang samudera, dan Guntur, pemegang Tombak Petir Kalimantan. Bersama-sama, mereka menghadapi Sekte Kabut Hitam yang menebarkan teror di tanah Jawa, termasuk musuh kuat bernama Kagendra. Setelah pertempuran sengit, mereka berhasil mengalahkan Kagendra, menjalin persaudaraan, dan semakin mengasah kemampuan kultivasi mereka.Perjalanan membawa mereka ke Jawa Tengah, pusat kegelapan baru. Di sana, mereka menghadapi pasukan Kultivator Iblis, makhluk manusia yang dirasuki energi gelap. Pertarungan brutal melawan makhluk-makhluk itu menuntut kerja sama, strategi, dan penggunaan jurus kultivasi Nusantara yang luar biasa.Puncaknya, mereka menantang Maharaja Iblis Nusantara, pemimpin kultivator iblis di sebuah candi kuno Jawa Tengah. Dalam pertempuran klimaks, Raka, Arya, dan Guntur menggabungkan kekuatan mereka untuk menghancurkan Maharaja Iblis, menandai kemenangan pertama mereka melawan kegelapan besar. Namun, kemenangan ini hanyalah awal dari perjalanan panjang melawan misteri dan ancaman yang mengintai Nusantara.
BAB 1 Jalanan Surabaya

Hujan deras mengguyur kota Surabaya malam itu. Lampu jalan di sekitar Tugu Pahlawan memantulkan cahaya kuning pucat di atas aspal yang basah. Orang-orang berlari tergesa-gesa sambil memegang payung atau menutup kepala dengan jaket. Di sudut trotoar, seorang pemuda kurus duduk meringkuk, tubuhnya gemetar.

Pemuda itu bernama Raka Wiratama. Bajunya compang-camping, rambutnya acak-acakan, wajahnya penuh debu dan kotoran. Kedua tangannya menengadah, memegang sebuah kaleng bekas yang sudah penyok.

“Mas… recehnya, mas… tolonglah…” suaranya lemah, hampir tak terdengar oleh orang yang lewat.

Beberapa orang hanya melirik dengan jijik. Ada yang mempercepat langkah, ada yang menutup hidung seakan-akan Raka membawa bau busuk. Bahkan seorang pria paruh baya sempat menendang kalengnya dengan kasar.

“Pengemis kayak lo, ngotorin jalan aja! Males gua lihatnya!”

Raka hanya bisa terdiam. Tatapan matanya kosong, seakan dunia sudah tak peduli lagi padanya.

---

Tak jauh dari situ, sekelompok anak muda nongkrong sambil tertawa keras-keras. Salah satunya menunjuk Raka.

“Heh, liat tuh! Si Raka lagi mangap minta duit! Hahaha!”

“Woi, Rak! Lo nggak bosen tiap hari ngemis? Gimana kalau gue kasih kerjaan, ya? Jadi bahan ketawa di tongkrongan!” ejek yang lain.

Mereka tertawa lagi, keras sekali, hingga beberapa pejalan kaki ikut menoleh.

Raka menunduk, tidak menjawab. Hatinya sudah terlalu sering dihantam ejekan. Tapi malam itu, rasa sakit di dadanya lebih kuat dari biasanya.

“Apa gunanya aku hidup… kalau setiap orang hanya melihatku sebagai sampah?” bisiknya pada diri sendiri.

---

Ketika hujan makin deras, Raka bangkit dan berjalan tertatih ke arah Jembatan Layang Dupak untuk mencari tempat berteduh. Kakinya telanjang, terluka oleh pecahan kaca kecil di jalan. Namun ia terus berjalan, menahan sakit.

Di bawah jembatan, ia duduk bersila sambil memeluk lutut. Suara kendaraan di atasnya terdengar seperti gemuruh tiada henti. Tubuhnya menggigil, kelaparan, dan lelah.

“Tuhan… kalau memang ada keajaiban untuk orang seperti aku… tunjukkan sekarang. Aku sudah tidak kuat.”

Tiba-tiba, kilat menyambar langit. Cahaya putih menyilaukan mata. Dari langit yang hitam pekat, sebuah batu giok berwarna hijau bercahaya meluncur jatuh, menghantam aspal di dekatnya dengan dentuman keras.

BRAK!

Raka terlonjak kaget. Dengan mata terbelalak, ia mendekat. Batu itu bersinar samar, hangat ketika disentuh.

“Apa ini…?” gumamnya.

Saat tangannya menggenggam batu itu, seketika suara asing menggema di kepalanya.

"Pewarisku… kau yang terpilih. Jika ingin menguasai dunia, tempuhlah jalan Kultivasi."

Raka terkejut.

“Siapa… siapa yang bicara?!”

Tak ada jawaban. Hanya suara hujan yang terus turun. Tapi batu itu semakin bergetar, dan cahaya hijau melingkupi tubuh Raka. Tubuhnya panas, lalu dingin, lalu panas lagi. Ia menjerit kesakitan.

“Aaaaarghhh!”

Tapi tak ada seorang pun mendengar. Orang-orang di atas jembatan hanya sibuk dengan urusan mereka.

Tubuh Raka bergetar hebat. Dari pori-porinya keluar kotoran hitam pekat, membuatnya semakin bau. Namun bersamaan dengan itu, ia merasakan sesuatu yang baru. Tenaga yang hangat berputar di dalam dadanya.

“Apa… ini…? Kenapa… tubuhku terasa… berbeda…?”

Kelelahan membuatnya tak mampu menahan kesadaran. Ia pun jatuh pingsan di lantai beton yang dingin, sementara batu giok itu redup dan masuk ke dalam dadanya, lenyap seakan menyatu.

---

Keesokan paginya, matahari bersinar terang. Raka membuka mata perlahan. Ia terkejut.

Luka-luka di kakinya sembuh. Tubuhnya terasa ringan, seakan-akan ia tidak pernah kelaparan.

“Ini… bukan mimpi?”

Ia mencoba berdiri, lalu meninju tiang beton di sampingnya.

DUUUGG!

Tiang itu retak kecil. Raka terdiam, menatap tangannya sendiri dengan mata membelalak.

“Mustahil… aku… aku nggak sekuat ini sebelumnya…”

---

Saat itu, suara kasar terdengar dari arah jalan. Sekelompok preman berjalan mendekat. Ada lima orang, dipimpin seorang pria bertubuh besar dengan tato naga di lengan. Namanya Bang Jafar, preman yang menguasai para pengemis di sekitar Pasar Turi.

“Heh! Si Raka! Kemarin lo nggak setor ke gue, ya?!” teriak Jafar.

Raka menoleh, wajahnya masih menyimpan sisa kebingungan.

“Apa… maksudmu?”

“Jangan pura-pura bego, Rak! Semua pengemis di wilayah ini setor ke gue. Lo mikir bisa bebas gitu aja?!”

Anak buah Jafar ikut menyoraki.

“Kalau nggak bayar, jangan salahin kita kalo gigi lo rontok semua!”

Biasanya Raka pasti gemetar ketakutan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Ia tidak merasa takut.

“Aku… tidak akan tunduk lagi.”

Semua preman itu terdiam sebentar, lalu tertawa keras.

“Hahaha! Dengar tuh, Bos! Si pengemis bau sok berani!”

Jafar mendengus marah.

“Ajari dia cara hormat sama gue!”

Dua anak buahnya maju, mengayunkan tinju ke arah Raka.

BRAK!

Raka menunduk cepat, lalu menendang salah satu hingga terlempar dua meter ke belakang. Semua orang melongo.

“Ap… apa-apaan itu?!”

Anak buah yang lain nekat menyerang dari belakang, tapi Raka meraih tangannya dan memelintirnya hingga terdengar suara tulang retak.

“Aaaaaarghhh!”

Jafar terbelalak.

“Lo… lo setan apa, Rak?! Sejak kapan lo bisa kayak gini?!”

Raka menatap tajam, berbeda dengan tatapan kosongnya dulu.

“Sejak aku sadar… kalau aku nggak pantas diinjak-injak lagi.”

Ia melangkah maju, tinjunya menghantam tanah di depan Jafar. Aspal retak membentuk garis panjang.

Semua preman itu mundur ketakutan.

“B-bos… dia bukan orang biasa…” bisik salah satunya.

Jafar mendecak, lalu meludah ke tanah.

“Lo beruntung kali ini, Rak. Tapi ingat, Surabaya bukan cuma milik lo. Gue bakal balik lagi, dan lo bakal nyesel udah nantangin gue!”

Mereka pun kabur terbirit-birit.

Raka berdiri sendirian di bawah jembatan, napasnya masih memburu. Tangannya bergetar, tapi bukan karena takut. Karena kekuatan baru itu nyata.

---

Raka menatap kedua tangannya, lalu berbisik,

“Kalau benar aku bisa jadi lebih kuat… mungkin inilah jalanku keluar dari penderitaan.”

Suara asing kembali terdengar samar di kepalanya.

"Kekuatanmu baru permulaan… Belajarlah mengendalikan Qi. Hanya dengan begitu kau bisa melangkah ke tahap selanjutnya."

Raka menghela napas dalam-dalam. Ia menatap ke arah langit Surabaya yang cerah.

“Baiklah… aku akan mencari tahu… siapa aku sebenarnya.”

Siang itu Surabaya panas terik. Asap dari angkot dan truk memenuhi udara. Di bawah jembatan layang, Raka duduk bersila, matanya terpejam. Sejak pagi ia mencoba mengikuti instruksi samar yang bergema di kepalanya.

"Tarik napas dari perut, biarkan energi alam masuk. Hembuskan perlahan, keluarkan kotoran dalam tubuhmu."

Raka memejamkan mata, tangannya diletakkan di lutut. Napasnya teratur, perlahan. Ia merasakan udara masuk lebih dalam, seolah bukan sekadar oksigen, tapi sesuatu yang hangat.

“Tapi… bagaimana aku tahu ini berhasil?” gumamnya pelan.

Tiba-tiba, ia merasa tubuhnya ringan. Saat membuka mata, ia mendapati debu di sekitar lantai berputar kecil, terbawa pusaran udara yang muncul dari tubuhnya.

“Ini… Qi?” Raka terbelalak. “Aku benar-benar bisa merasakannya…”

---

Belum sempat ia mendalami perasaan itu, suara gaduh terdengar. Dari kejauhan, sekelompok orang berjalan mendekat. Kali ini jumlah mereka jauh lebih banyak—sekitar dua puluh orang.

Di tengah mereka, Bang Jafar muncul dengan wajah penuh amarah.

“Itu dia, bocah sialan! Hari ini lo mati di tanganku!”

Raka berdiri perlahan, menatap Jafar tanpa gentar.

“Kau masih belum puas kemarin?”

“Puas?!” Jafar meludah ke tanah. “Gue dipermalukan pengemis bau kayak lo? Semua anak buah gue denger lo punya tenaga aneh. Jadi gue bawa bala bantuan. Hahaha! Mau coba lawan dua puluh orang, hah?!”

Anak buahnya menyoraki.

“Pecahkan kepalanya, Bos!”

“Biar dia tahu siapa penguasa jalanan Surabaya!”

Raka mengepalkan tinju. “Kalau kalian pikir aku masih sama seperti dulu… kalian salah besar.”

---

Pertarungan pun dimulai.

Dua preman pertama menyerbu, masing-masing membawa balok kayu. Salah satunya mengayun ke arah kepala Raka.

BRUKK!

Raka menunduk cepat, lalu menyikut perut penyerangnya. Lelaki itu terlempar, mulutnya berbusa. Yang satunya kembali menyerang, tapi Raka meraih balok kayu itu dan mematahkannya dengan tangan kosong.

“Mustahil!” teriak preman itu.

Raka menendangnya hingga mental ke tumpukan sampah.

---

“Jangan diam aja! Keroyok diaaa!” teriak Jafar.

Belasan orang menyerbu sekaligus. Suara benturan kayu, besi, dan tinju memenuhi udara. Raka bergerak cepat, tubuhnya lincah bagaikan bayangan. Setiap kali pukulan mendekat, ia menghindar, lalu membalas dengan tendangan keras.

BAM!

DUUUG!

BRAK!

Satu demi satu preman jatuh. Ada yang pingsan, ada yang meraung kesakitan memegangi tulang patah.

Namun jumlah mereka terlalu banyak. Beberapa berhasil mengunci tangan Raka dari belakang.

“Sekarang, Bos! Hajar dia!” teriak salah satu.

Jafar maju sambil mengangkat besi panjang. “Sekarang gue tunjukkin siapa raja di sini!”

BESIIINNG! Besi itu diayunkan ke arah kepala Raka.

Raka mendesis. “Tidak semudah itu!”

Ia mengerahkan tenaga, tubuhnya bergetar. Suara “DUAAARRR” terdengar, dan orang-orang yang memegangi tangannya terlempar seperti daun kering tertiup angin. Raka menendang tanah, melompat ke depan, dan meninju besi Jafar.

BRAK!

Besi itu bengkok seketika.

Semua orang melongo.

“Setan apa lo, Rak?!” teriak Jafar dengan wajah pucat.

---

Raka menatapnya tajam. “Aku bukan setan. Aku hanya manusia… yang tidak sudi lagi diinjak.”

Ia melangkah maju, setiap langkahnya membuat tanah bergetar. Jafar mundur ketakutan.

“Jangan… jangan dekati gue!”

“Semua orang di jalan ini takut padamu… sekarang rasakan sendiri ketakutan itu.”

Raka mengayunkan tinju, berhenti tepat di depan wajah Jafar. Udara dari pukulan itu saja membuat rambut Jafar terangkat.

Jafar jatuh terduduk, wajahnya pucat pasi.

“A-ampun, Rak! Gue… gue nggak bakal ganggu lo lagi!”

Anak buahnya sudah kabur tunggang langgang. Hanya tersisa beberapa yang pingsan di tanah.

Raka menarik napas panjang, menahan amarah. Ia tidak membunuh Jafar. Ia hanya berbalik dan berjalan pergi.

“Tinggalkan aku sendiri. Kalau kau atau anak buahmu berani menyentuhku lagi… jangan harap ada ampun.”

---

Setelah semua tenang, suara itu kembali bergema di kepalanya.

"Kekuatanmu belum seberapa. Itu hanya permulaan. Jika kau ingin melindungi dirimu… dan membalas semua hinaan dunia… pergilah ke Gunung Bromo. Di sana ada Gerbang Spirit Nusantara."

Raka mengangkat wajahnya, menatap langit biru Surabaya.

“Gunung Bromo…? Apa yang menungguku di sana?”

Ia mengepalkan tinju, tubuhnya bergetar karena semangat baru.

“Kalau itu jalannya… aku akan ke sana. Aku akan buktikan, pengemis pun bisa jadi yang terkuat!”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca