Boto bangun di pagi yang tampaknya biasa—atau setidaknya ia kira begitu. Matahari bersinar dengan semangat yang terlalu antusias, burung-burung berkicau tanpa permisi, dan jalanan kampung dipenuhi aroma gorengan tahu yang hangat. Boto, dengan setengah mata terbuka, menatap ke atas, melihat tumpukan tahu di gerobak pedagang yang entah kenapa tampak seperti piramida mini. “Ah… cuma tahu biasa,” gumamnya, tidak tahu bahwa takdirnya baru saja menyiapkan momen yang tak akan ia lupakan.
Sialnya, tumpukan itu tergelincir. Dan sebelum Boto sempat berteriak atau menggerakkan kaki, tumpukan tahu jatuh dengan presisi kosmik tepat di atas kepalanya. Dunia menjadi gelap, aroma kedelai menguasai hidungnya, dan Boto pun… mati.
Namun, seperti kebanyakan protagonis isekai, kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari kekacauan baru.
Boto terbangun di ruang yang terang, bercahaya lembut dan beraroma… entahlah, aroma yang sulit dijelaskan tapi membuatnya ingin meludah sekaligus menari. Ia berdiri, menatap sekeliling, dan menyadari bahwa tubuhnya terasa aneh: lebih ringan, tapi juga… hangat.
“Eh, aku… hidup lagi? Tapi di mana ini?” gumamnya, memukul-mukul wajah sendiri untuk memastikan bukan mimpi. Rasa sakitnya tidak terasa, tapi ada sensasi aneh di perutnya. Ia menoleh ke samping dan melihat… makhluk seperti slime berwarna hijau, dengan mata bulat yang menatapnya dengan penasaran.
“Hei, manusia baru! Kau terlihat… berbeda,” suara itu terdengar seperti berasal dari permen karet yang sedang mengunyah dirinya sendiri.
Boto mengernyit. “Apa-apaan ini? Aku kenal kamu?”
“Namaku Slimo! Aku slime paling malas di seluruh dunia ini. Tapi jangan salah, aku cerdas… setengahnya,” kata Slimo sambil menoleh ke Boto dengan ekspresi yang seakan-akan menilai nilai ujian hidupnya.
Boto menarik napas panjang, mencoba memahami situasinya. “Oke… jadi aku mati, terus… slime ngomong sama aku… dan aku sekarang di dunia lain. Tepat?”
Slimo mengangguk. “Tepat sekali! Selamat datang di dunia fantasi. Nama dunia ini… ya, entahlah, orang-orang biasanya lupa. Tapi aku ingat.”
Boto menatap Slimo dengan mata melotot. “Jadi aku isekai? Aku… Hunter Kenthir?”
Slimo melotot. “Eh, Hunter Kenthir? Oh, itu judul keramat yang muncul di ramalan kuno! Kau serius?”
Belum sempat Boto menjawab, sosok lain muncul dari balik pohon: seorang gadis dengan jubah berwarna ungu gelap, rambutnya panjang dan sedikit kusut, mata tajam tapi tampak lelah, dan di tangannya menenteng tongkat penyihir yang… entah kenapa terlihat seperti tongkat mainan.
“Halo, siapa kau?” tanya gadis itu, dengan suara yang tegas tapi ada sedikit nada heran.
Boto menelan ludah. “Aku… Boto. Dan… aku baru saja… mati?”
Gadis itu mengangkat alis. “Mati? Lagi-lagi orang baru datang dan klaim mati. Aku Mirra. Penyihir pemula, tapi jangan salah, aku punya mantra mematikan… jika aku ingat satu. Aku sedang dalam misi, dan… hmm… kau terlihat seperti Hunter Kenthir!”
Boto menatapnya bingung. “Hunter… Kenthir? Tunggu, apa itu? Aku cuma… manusia biasa!”
“Manusia biasa?” kata Mirra sambil menepuk dagunya. “Hmm… manusia biasa yang bisa bangun di dunia ini dan selamat dari tumpukan tahu… itu sudah cukup bukti. Selamat, kau Hunter Kenthir yang dijanjikan!”
Boto menelan ludah. “Tunggu… tunggu… ini salah paham, kan?”
Tapi Mirra sudah menepuk pundaknya. “Kita harus bergerak cepat. Ada kabar bahwa naga lokal baru saja mengamuk, dan… yah, kau Hunter Kenthir, jadi ini… ya… tugasmu.”
Boto membuka mulut untuk protes, tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, Slimo melompat ke pundaknya. “Ayo, ayo! Petualangan menunggu! Jangan sampai naga menyerang kampung karena kau terlalu lama mikir!”
Dan seperti itulah, Boto—yang sebelumnya hanya mati karena tumpukan tahu—mulai berjalan bersama Mirra dan Slimo. Jalanannya tidak mulus. Tepat ketika mereka memasuki hutan, seekor naga kecil muncul. Bukan naga besar dengan api menyala, tapi naga mungil dengan ekspresi seperti kucing yang marah.
“Uh… halo?” kata Boto sambil menahan napas.
Naga itu melotot, kemudian mengeluarkan… asap kecil. Tapi bukan api, hanya asap seperti dari rokok kecil. Mirra mengangkat tongkatnya, berusaha mengingat mantra. Slimo melompat ke atas naga dengan enteng.
Dan Boto… secara refleks, menendang sandal yang ia kenakan. Sialnya, sandal itu meluncur tepat ke hidung naga, membuat naga terjungkal ke belakang, tersedak asap, dan berlari menjauh sambil terbatuk-batuk.
Mirra menatap Boto. “Kau… apa yang baru saja kau lakukan? Itu… berhasil?”
Boto menggaruk kepala. “Eh… ya… aku kira aku cuma menendang sandal…”
Slimo bersorak. “Itu hebat! Kau benar-benar Hunter Kenthir sejati!”
Dan begitulah, salah paham pertama Boto dimulai. Orang-orang mulai mendengar cerita bahwa Hunter Kenthir berhasil mengalahkan naga pertama di dunia baru ini dengan… sandal. Nama Boto mulai terdengar, bahkan sebelum ia mengerti apa artinya.
Petualangan pertama mereka belum berakhir. Hutan itu penuh dengan makhluk aneh, jalan yang membingungkan, dan… tentu saja, jebakan absurd dari monster lokal yang terlalu santai. Boto, Mirra, dan Slimo harus menavigasi semuanya, sambil Boto tetap mempertanyakan keberadaannya sebagai Hunter Kenthir.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Sir Lodan, seorang knight muda yang tampak gagah tapi mudah tertipu. Sir Lodan melihat Boto, Mirra, dan Slimo, dan langsung menyimpulkan: “Ah! Hunter Kenthir telah datang! Dunia kita akan diselamatkan!”
Boto menatapnya dengan tatapan kosong. “Loh… aku cuma… eh… selamat dari tumpukan tahu.”
Sir Lodan mengabaikan protes Boto, karena menurutnya semua legenda Hunter Kenthir itu harusnya diliputi aura heroik—apa pun metodenya.
Hari itu, Boto mulai memahami satu hal penting: di dunia baru ini, semua orang salah paham tentang siapa dirinya. Dan semuanya akan terus salah paham.
Tapi Boto? Ia hanya bisa mengangkat bahu dan berharap tidak mati lagi karena hal konyol—atau setidaknya, ia berharap dunia ini tidak lebih absurd daripada tumpukan tahu.
Setelah pertemuan dengan Sir Lodan, Boto, Mirra, dan Slimo melanjutkan perjalanan mereka menuju “kawasan naga” yang konon berbahaya. Mirra sibuk membuka peta yang tampak seperti coretan anak TK, sementara Slimo lebih tertarik mengunyah daun dan melompat-lompat di atas kepala Boto.
“Eh, serius ini peta? Kau yakin ini bukan coretanmu sendiri?” tanya Boto, mencoba menahan langkah agar tidak tersandung akar pohon yang entah kenapa selalu muncul di tempat yang salah.
Mirra menepuk punggung Boto. “Percaya saja. Peta ini diwariskan oleh nenek moyang penyihir. Kadang bisa menyesatkan, kadang… ya, bisa juga menuntunmu ke harta karun.”
Boto mengernyit. “Harta karun? Maksudmu… harta atau jebakan?”
“Semua di dunia ini adalah jebakan, kecuali kita bisa menertawakan jebakan itu,” jawab Slimo sambil melompat dari pundak Boto ke tanah, menendang batu yang entah kenapa memantul ke kepala Boto.
“Ouch! Kau—” Boto belum sempat melanjutkan, karena suara gaduh terdengar dari semak-semak. Seekor makhluk berwarna oranye dengan tanduk kecil keluar dari semak itu. Ia tampak marah, tapi ekspresinya lebih mirip kucing yang terganggu tidurnya.
“Ah… naga?” gumam Boto, mempersiapkan diri untuk panik seperti manusia normal.
“Bukan naga biasa,” kata Mirra sambil menahan tawa. “Itu Kriwil, naga peliharaan raja yang suka tidur di hutan ini. Jangan sampai ia tersinggung, atau… yah…”
Sebelum Mirra selesai, Kriwil menatap Boto, kemudian mengerang keras, membuat ranting-ranting berjatuhan. Boto panik dan melakukan hal yang menurutnya “heroik”: ia mengambil sandal dari kakinya dan menendangnya ke arah Kriwil.
Sandal itu melayang, mengenai hidung Kriwil, dan… naga itu tiba-tiba bersin dengan keras, mengeluarkan awan asap berwarna ungu muda. Slimo melompat kegirangan di atas kepala Boto.
“Ya ampun! Kau berhasil! Kau benar-benar Hunter Kenthir!” soraknya.
Boto hanya bisa menatap Kriwil yang sekarang tampak bingung dan batuk-batuk. “Aku cuma… eh… menendang sandal…”
Mirra menepuk kepala Boto. “Kau memang Hunter Kenthir yang dijanjikan. Dengan sandal, bukan pedang atau sihir. Sangat orisinal.”
Kriwil akhirnya tenang, menatap Boto seakan mengakui kekacauan itu sebagai kemenangan. Sir Lodan, yang kebetulan mengikuti dari kejauhan, menepuk pundak Boto dengan serius. “Luar biasa. Kau memang Hunter Kenthir. Dunia ini… aman karena kau.”
Boto menelan ludah. “Eh… aman? Aku cuma menendang sandal… dan naga ini sekarang batuk-batuk…”
Tapi tak ada yang peduli. Dunia baru ini sudah menetapkan reputasi Boto: pahlawan yang konyol tapi efektif. Boto mulai merasa bahwa petualangan di dunia ini akan dipenuhi kesalahpahaman, kekacauan, dan—tentu saja—tumpukan situasi absurd yang menunggu untuk ia hadapi.
Sambil menatap langit yang mulai senja, Boto sadar satu hal:
Ia mungkin tidak tahu apa-apa tentang menjadi Hunter Kenthir, tapi setidaknya… ia masih hidup. Dan dalam dunia di mana naga bisa tersinggung oleh sandal, itu sudah cukup untuk hari pertama.
Dengan langkah gontai tapi penuh rasa penasaran, Boto, Mirra, Slimo, dan Sir Lodan melanjutkan perjalanan mereka. Di kejauhan, bayangan pepohonan tampak menari-nari, seakan dunia ini sendiri menunggu tawa dari Hunter Kenthir yang baru bangun dari kematian paling konyol di alam semesta.