Pagi itu matahari baru saja menembus kaca jendela kelas. Cahaya keemasan berbaur dengan hiruk-pikuk suara murid yang mulai memenuhi ruangan. Bagi sebagian orang, hari Senin adalah permulaan yang melelahkan, tapi bagiku, hari itu tak ada bedanya dengan hari lain.
Aku duduk di bangku dekat jendela, membuka sebuah buku tebal yang sudah beberapa kali kubaca. Buku itu bukan pelajaran sekolah, melainkan novel lawas yang entah mengapa selalu bisa membuatku tenang. Di tengah keramaian, aku lebih suka menyelam ke dalam cerita orang lain, seolah melupakan diriku sendiri.
"Abid, kamu lagi baca buku lagi?" suara riang Fitri terdengar, memecah lamunanku.
Aku menoleh. Fitri berdiri di samping meja, membawa sebuah kotak makan berwarna oranye. Rambut panjangnya yang berkilau keemasan tergerai rapi, wajahnya penuh senyum. Dari dulu, Fitri memang selalu punya energi yang berbeda. Kehadirannya saja sudah cukup membuat suasana kelas terasa lebih hidup.
Aku tersenyum tipis. "Iya. Baca ulang. Kebetulan belum bosan."
Fitri terkekeh kecil. "Aku heran, kamu bisa berkali-kali baca buku yang sama tanpa ngantuk. Kalau aku, baru dua halaman udah pusing."
Sebelum sempat kujawab, dia menaruh kotak makan itu di mejaku. Aku memandangnya heran. "Ini apa?"
"Bekal," jawabnya singkat. "Aku buat tadi pagi. Aku tahu kamu biasanya nggak pernah bawa makan siang. Jadi... aku bawa lebih, buat kamu."
Aku terdiam sejenak. Kotak makan itu sederhana, tapi aroma makanan hangat perlahan menyebar. Ada nasi putih yang ditata rapi, beberapa lauk berwarna keemasan, dan sayuran yang masih segar.
"Fit, kamu nggak perlu repot-repot. Aku bisa beli di kantin."
Fitri menggeleng cepat. "Bukan repot kok. Aku memang mau. Lagian... lebih sehat kalau masakan rumah." Senyumnya merekah.
Entah mengapa, melihat senyumnya itu membuat dadaku sedikit hangat. Namun sebelum sempat kubuka kotak makan itu, sebuah suara dingin terdengar dari arah pintu kelas.
"Andi."
Aku menoleh. Dia berdiri di sana, tinggi, tegap, dengan rambut pirang yang sedikit berantakan. Wajahnya kaku, matanya menatap lurus ke arah kami.
Andi berjalan masuk, menyampirkan tasnya ke bangku, lalu melipat tangan di dada. Pandangannya jatuh pada kotak makan di mejaku, kemudian beralih ke Fitri.
"Kamu lagi-lagi bawain dia bekal, Fit?" suaranya terdengar menahan sesuatu.
Fitri terlihat kaget, lalu tersenyum kikuk. "Iya, kenapa? Kan dia sering nggak bawa makan."
Andi menghela napas, lalu duduk di kursinya dengan wajah muram. Aku tahu Andi dan Fitri sahabat sejak kecil. Mereka selalu terlihat bersama, seperti kakak dan adik yang tak terpisahkan. Tapi aku juga tahu, ada sesuatu di balik tatapan Andi setiap kali melihatku bersama Fitri. Sesuatu yang tak pernah benar-benar terucap, tapi bisa kurasakan jelas, cemburu.
Aku menutup buku, mencoba mencairkan suasana. "Andi, kamu udah ngerjain PR Matematika? Aku agak susah di nomor lima."
Dia menoleh sekilas, lalu menjawab dingin. "Udah." Setelah itu, dia tak lagi bicara.
Suasana kelas terus riuh dengan suara murid-murid lain, tapi di antara kami bertiga, ada keheningan yang menekan. Aku menatap keluar jendela, mencoba tak memikirkan banyak hal. Tapi dalam hati, aku tahu... hari-hari ke depan tidak akan mudah.
"Ding-Dong..."
Bel pulang sekolah berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar, sebagian menuju kantin, sebagian pulang, sebagian lagi ke lapangan untuk latihan olahraga. Aku memilih tetap di kelas, membaca buku sambil menyantap bekal yang tadi diberikan Fitri.
Aku baru saja menyuap sepotong nugget ketika Fitri kembali masuk ke kelas. "Eh, kamu belum pulang?"
Aku tersenyum. "Mau nunggu agak sepi dulu. Lagian makan duluan juga enak."
Fitri duduk di bangku depanku, menatapku sambil menopang dagu. "Gimana rasanya?"
Aku berhenti sejenak, lalu menatapnya. "Enak. Terima kasih."
Matanya berbinar. "Syukurlah. Aku takut kamu nggak suka."
Ada kehangatan yang sulit dijelaskan di antara kami. Namun, di balik itu semua, aku merasakan sepasang mata yang memperhatikan dari luar kelas. Aku menoleh cepat, dan sekilas melihat sosok Andi berdiri di koridor, menatap kami dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Dia segera berbalik dan pergi.
Fitri tak menyadarinya, tapi aku tahu, tatapan itu bukan tatapan biasa. Itu tatapan seseorang yang merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Malamnya, aku duduk sendirian di kamar sempitku. Ruangan itu sederhana, hanya ada kasur tipis, meja belajar kecil, dan rak kayu berisi beberapa buku. Aku menyalakan lampu redup, lalu membuka sebuah laci tersembunyi.
Di dalamnya, tersimpan sebuah cincin perak tua dengan ukiran lambang yang tak pernah kulupa. Aku menatapnya lama, perasaan campur aduk kembali menghantam.
Cincin itu satu-satunya peninggalan dari kehidupan yang sudah lama kutinggalkan. Kehidupan yang tidak boleh diketahui siapa pun di sekolah. Kehidupan yang, jika terbongkar, akan menyeretku kembali ke dunia yang selama ini kuhindari.
Aku menggenggam cincin itu erat, lalu mengembalikannya ke tempat semula.
"Belum saatnya," gumamku pelan.
Aku kembali ke meja, mencoba mengalihkan pikiran dengan buku. Tapi, di kepalaku, bayangan wajah Fitri dan tatapan tajam Andi terus berulang. Seperti dua sisi berbeda yang siap menarikku ke arah yang berlawanan.
Keesokan harinya, suasana kelas lebih ramai dari biasanya. Guru mengumumkan bahwa akan ada lomba antar-kelas di bidang olahraga dan seni. Semua siswa terlihat antusias, termasuk Fitri yang langsung menepuk pundakku.
"Bid, kamu ikut lomba menulis, ya? Aku tahu kamu pasti bisa."
Aku menggeleng. "Aku nggak yakin. Lagian siapa yang mau baca tulisanku?"
"Eh, jangan gitu. Tulisannya kamu selalu bagus. Kamu cuma kurang percaya diri." Fitri menatapku sungguh-sungguh.
Sebelum aku sempat membalas, Andi ikut menyahut dari belakang. "Kalau lomba basket, aku yang ikut. Kamu, Fitri, jangan paksa Abid. Dia nggak suka tampil."
Nada suaranya terdengar menusuk, meski seolah biasa saja. Fitri hanya mendesah kecil, lalu tersenyum canggung.
Hari itu berjalan seperti biasa, tapi aku bisa merasakan jarak yang semakin lebar antara aku dan Andi. Dia tidak lagi bicara banyak denganku. Bahkan saat kami berpapasan di lorong, tatapannya seakan penuh pertanyaan tak terucap.
Aku tahu, lambat laun, keadaan ini akan meledak.
Sore itu, setelah latihan basket, aku melewati halaman belakang sekolah. Suasana sepi, hanya ada suara burung yang berterbangan. Saat itu, aku mendengar dua suara asing dari balik gedung. Aku berhenti, mencoba mendengarkan.
"Dia pasti ada di sekolah ini."
"Kita sudah mencari ke banyak tempat. Anak itu nggak mungkin hilang begitu saja."
Aku tertegun. Jantungku berdegup kencang. Suara itu bukan suara siswa, melainkan orang dewasa, suara berat, tegas, penuh tekanan.
Aku mendekat perlahan, tapi tidak cukup dekat untuk terlihat. Dari celah dinding, aku melihat dua pria berpakaian rapi, seolah sedang mencari seseorang.
"Kalau kita temukan dia, segera laporkan. Tuan besar menunggu. Pewaris itu harus kembali."
Aku merinding. Kata-kata itu menghantam dadaku seperti palu.
Tanpa menunggu lebih lama, aku mundur perlahan, lalu berlari meninggalkan tempat itu.
Saat sampai di jalan besar, aku berhenti, mencoba menenangkan diri. Nafasku memburu.
"Jadi mereka sudah mulai mencariku lagi..." gumamku pelan.
Aku menatap langit senja yang berwarna jingga. Di tengah segala hal yang terjadi di sekolah, bekal hangat Fitri, tatapan penuh dendam Andi, ada bayangan besar yang diam-diam mendekat.
Bayangan dari masa laluku.
Dan aku tahu, cepat atau lambat, aku tidak bisa terus bersembunyi.