Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Kebangkitan Sang Pewaris Yang Tertindas

Kebangkitan Sang Pewaris Yang Tertindas

Dezzweet | Bersambung
Jumlah kata
104.0K
Popular
845
Subscribe
139
Novel / Kebangkitan Sang Pewaris Yang Tertindas
Kebangkitan Sang Pewaris Yang Tertindas

Kebangkitan Sang Pewaris Yang Tertindas

Dezzweet| Bersambung
Jumlah Kata
104.0K
Popular
845
Subscribe
139
Sinopsis
18+PerkotaanAksiMiliarderBalas DendamPewaris
Wiratama Rajendra— seorang kurir paket, memergoki istrinya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri di apartemen mewah. Detik itu juga dia kehilangan rumah, harga diri, dan semua yang pernah ia perjuangkan. Diusir, dihina, dan dianggap tak berguna. Wiratama membuka kembali akun bank rahasia warisan orang tuanya. Dalam sekejap, keberadaannya terdeteksi oleh lima bibi angkatnya—wanita-wanita kuat yang selama ini mencari keberadaannya. Satu hal yang mereka tuntut darinya, yaitu balas dendam pada mereka yang sudah menghancurkannya.
001 || Wiratama Rajendra

Hujan malam itu turun tanpa kompromi. Deras, menusuk kulit, seolah langit ingin menenggelamkan seluruh kota Pandora.

Wiratama Rajendra— 26 tahun, berlari kecil di trotoar, jaket tipis yang menempel di tubuhnya sudah tak mampu menahan dingin. Rambutnya basah kuyup, air menetes dari dahinya, masuk ke dalam mata, bercampur dengan keringat. Nafasnya memburu, tapi langkah kakinya tak berhenti.

Di punggungnya, tas besar berisi paket-paket pelanggan. Ia menunduk, melihat satu nama di layar ponsel retak yang digenggamnya erat—“Cahya, Apartemen El Royale, kamar 1809.”

Nama itu asing. Tapi baginya, pelanggan tetaplah pelanggan. Tidak peduli siapa mereka, apa statusnya, selama paket sampai tujuan, upah hari ini bisa ia bawa pulang. Dia ingat istrinya— Nayla di rumah menginginkan baju yang harganya sangat mahal di toko orange. Sehingga dia harus membelikannya agar wanita itu senang.

Wira berhenti di depan pintu besar bernomor emas 1809. Nafasnya tercekat. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena tubuhnya yang sudah terlalu lelah. Ia menekan bel, lalu berteriak parau,

“Paket! Atas nama Cahya!”

Sunyi beberapa detik. Lalu suara langkah mendekat.

Pintu terbuka. Dan dunia Wira berhenti.

Seorang pria muncul di hadapannya, hanya mengenakan boxer, tubuh bagian atas telanjang, keringat menetes dari dada bidangnya. Wira butuh waktu sepersekian detik untuk mengenali wajah itu, tapi ketika kesadaran menghantam, kotak di tangannya hampir terlepas. Wajahnya tak asing di penglihatannya.

“Adam ...?”

Belum sempat pikirannya menyusun alasan, suara tawa kecil terdengar dari dalam. Disusul suara anggun yang sangat ia kenali.

“Adam sayang, siapa yang datang?”

Sejenak kemudian, muncul seorang perempuan dari balik tubuh Adam. Rambut panjangnya kusut, pipinya bersemu merah, dress yang ia kenakan hanya menutupi separuh tubuh, jelas tak dipakai dengan rapi.

Wanita itu menoleh menatap dirinya dengan sorot terkejut.

“Nayla ….”

Suaranya pecah. Dunia seakan runtuh, hancur berkeping-keping di hadapannya. Istrinya— Nayla Cahya Pratama, 25 tahun. Berada di apartemen bersama sahabatnya. Di tempat tidur yang bukan milik mereka. Tidak perlu ditanya apa yang mereka lakukan di dalam apartemen, Wiratama sudah dapat menyimpulkan apa yang terjadi di antara mereka. Melihat kondisi keduanya yang tampak kacau saat ini.

Bukannya panik, bukannya menyesal, Nayla justru melotot. “Wira? Kamu ngapain di sini?! Astaga, jangan bilang kamu ngikutin aku?”

“Ngikutin? Ak-aku nganter paket atas nama Cahya ....” Sara Wira tercekat. “Tapi aku justru nemuin kamu sama Adam di sini?”

Adam dengan cepat merebut paket yang berada di tangan Wiratama.  Ekspresi wajah Adam tampak canggung, dia mengusap tengkuknya sambil menatap Wiratama.

Wiratama menatap keduanya secara bergantian. Dia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat sampai kubu jarinya memutih.

“Nayla, kenapa kamu ngelakuin ini di belakang aku? Kamu tau kalo Adam adalah sahabat dekat aku.”

Suara Wiratama bergetar. Perasaannya campur aduk antara tak percaya, kecewa, dan sakit hati.

Nayla mendengus, lalu tertawa hambar. “Wira, kamu sadar nggak sih, kalo kamu nggak berguna sebagai suami! Bahkan selama ini pun kamu nggak bisa memenuhi kebutuhanku. Lihat dirimu! Basah, lusuh, miskin. Kamu pikir aku bahagia hidup dengan pria miskin kaya kamu?!”

Wira terdiam. Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada hujan di luar.

“Tapi, Nay. Aku udah berusaha menjadi suami yang baik buat kamu selama tiga tahun kita menikah. Aku udah ngelakuin pekerjaan rumah tangga dari mencuci baju, piring, memasak, mengepel, bahkan mencuci kaki kamu dan Ibumu, apakah semua itu belum cukup?”

Adam menepuk bahu Nayla dengan santai, lalu menatap Wira dengan tatapan penuh kemenangan. “Seharusnya kamu sadar dari dulu, Wira. Kamu memang nggak pantas buat Nayla. Selama tiga tahun kalian menikah, Nayla nggak pernah ngeliat kamu sebagai suami. Bahkan Nayla selalu bersamaku sejak awal pernikahannya dengan kamu!”

****

Wiratama tidak sanggup berdiri terlalu lama di depan Nayla dan Adam. Ia memutuskan untuk pulang dengan langkah gontai, pakaian basah menempel di tubuh. Lampu rumah keluarga Pratama masih menyala. Di ruang tamu, Ratih Prameswari—ibu mertuanya, sedang duduk dengan wajah anggun namun dingin. Di dekatnya terdapat sebuah koper miliknya

Saat langkahnya semakin mendekat, Wira dikejutkan dengan Ratih yang melempar koper tersebut tepat di hadapannya. Koper itu terlempar ke tanah yang basah— langsung terkena air hujan.

Wiratama menatap Ratih yang kini berdiri dengan angkuh satu meter di depannya.

“Aku tahu hubungan Nayla dengan Adam. Bahkan aku merestuinya. Karena hanya Adam yang pantas untuk putriku. Laki-laki kaya, mapan, bisa memberi masa depan cerah. Bukan kamu, Wira.” Tatapannya tajam menusuk, dingin dan menghina. “Sejak awal, pernikahanmu dengan Nayla hanyalah beban bagi keluarga kami. Kamu bukan menantu, Kamu adalah aib. Jadi dengarkan aku baik-baik. Tinggalkan rumah ini, ceraikan Nayla, dan jangan pernah kembali.”

Hatinya hancur. Tidak hanya Nayla, bahkan keluarga yang selama ini ia anggap rumah pun menolaknya. Tanpa suara, Wira melangkah pergi.

Malam semakin larut. Hujan masih deras. Wira duduk sendirian di halte kosong, tubuhnya menggigil.

Tangannya merogoh ponsel tuanya. Ada satu aplikasi yang selama ini ia abaikan—akun bank peninggalan orang tuanya. Akun yang ia sumpahi tak akan pernah ia sentuh, karena ia memilih hidup sederhana.

Tapi malam ini, setelah semuanya direnggut darinya. Ia membuka kunci itu.

Layar ponsel berpendar. Angka-angka nol berderet. Jumlah yang mustahil bagi pria yang baru saja diusir sebagai “miskin tak berguna.” Namun itu nyata. Itu miliknya.

Angka itu terus menari di layar ponselnya. Nol demi nol berderet, membuat matanya perih seakan tak percaya. Punggungnya menempel pada kursi halte besi yang dingin, hujan yang menetes dari atap bocor menambah gigil tubuhnya.

Selama ini ia sengaja menutup mata dari kenyataan bahwa darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah orang biasa. Ayahnya meninggalkan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar rumah sederhana dan warung kecil. Tapi Wiratama menolak semua itu. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa bertahan dengan keringat sendiri.

Namun malam ini, prinsip itu hancur berantakan. Semua harga diri yang ia jaga diinjak-injak orang yang ia cintai. Nayla dengan tawa dinginnya, Adam dengan pengkhianatan busuknya, Ratih dengan kalimat yang menusuk lebih tajam daripada pisau.

Hatinya bergetar. Pandangannya kosong menembus layar ponsel, hingga ia melihat bayangannya sendiri di sana—wajah pucat, bibir membiru, mata merah karena air hujan bercampur air mata. Itu bukan lagi wajah yang sama dengan pria yang masih percaya cinta bisa menyelamatkan segalanya.

Tangan kirinya menutup layar ponsel, sementara tangan kanannya mengepal sampai buku jarinya putih. Napasnya berat, seakan setiap tarikan membawa beban berton-ton.

Hujan masih berjatuhan deras, seolah langit ikut menertawakan kebodohannya malam ini. Wira mengangkat wajah, membiarkan tetesan air membasuh pipinya yang sudah basah entah oleh hujan atau air mata. Di kejauhan, lampu jalan berkelip samar, buram oleh kabut air.

Ponsel tua di tangannya masih menyala, angka-angka itu tak berubah—deretan nol yang mampu membeli dunia yang baru saja menghancurkannya.

Senyum pahit menyelinap di bibirnya. Andai Nayla tahu.

Andai ibu mertuanya tahu. Andai Adam tahu. Andai mereka semua yang menghinanya tahu.

Mereka menyebutnya miskin, tak berguna, pecundang. Mereka mengusirnya, meludahinya dengan kata-kata yang lebih tajam dari pisau. Padahal, tanpa mereka sadari, satu sentuhan jarinya bisa membalikkan segalanya.

Suara guntur membelah langit. Wira terpejam, dada naik turun tak beraturan. “Lihat nanti, kalian semua akan menyesal atas apa yang terjadi malam ini!”

Lanjut membaca
Lanjut membaca