

Di pojok kamar rumah kontrakan berukuran dua kali dua setengah meter, Raden duduk bersandar pada tumpukan buku kuliah yang sudah berdebu. Sampul-sampulnya lusuh, beberapa kertas menguning, dan sebagian catatan masih penuh coretan ambisi lama yang kini hanya terasa asing. Usianya baru dua puluh dua, tapi sorot matanya sudah menanggung berat yang biasanya dimiliki orang yang jauh lebih tua.
Buku-buku itu pernah menjadi kebanggaannya. Simbol bahwa ia, anak seorang sopir angkot dan pedagang sayur keliling, bisa menembus bangku universitas negeri di Jakarta. Namun kebanggaan itu runtuh seiring menipisnya penghasilan keluarga. Ayahnya berhenti narik karena angkot tua mereka sudah tidak layak jalan. Ibunya yang biasanya mampu menopang dapur dari hasil berjualan sayur, kehilangan banyak pelanggan sejak pasar dekat rumah terbakar dan tidak kunjung direnovasi.
Tagihan demi tagihan menumpuk. Biaya kuliah yang dulu dicicil dengan susah payah akhirnya jadi beban paling berat. Raden sempat berusaha bertahan dengan mengerjakan tugas sambil bekerja paruh waktu, menahan lapar demi bisa membeli buku referensi. Namun ketika ibunya jatuh sakit dan biaya pengobatan membengkak, ia tahu harus membuat keputusan. Dengan berat hati, ia berhenti kuliah.
“Untuk apa gelar, kalau di rumah orang tuamu nggak bisa makan?” begitu kata-kata yang terus berputar di kepalanya sejak ia menandatangani surat pengunduran diri.
Sejak saat itu, hari-harinya hanya diisi dengan mencari pekerjaan serabutan. Jakarta, kota yang katanya menjanjikan mimpi, baginya lebih sering tampak seperti hutan beton yang dingin dan penuh arogansi. Pagi ia bisa jadi kuli panggul di pasar induk, siang mengantar paket sebagai ojek online pinjaman dari temannya, dan malam membantu warung kopi kecil di pinggir jalan. Uang yang ia dapat tidak banyak, bahkan sering tidak cukup menutup ongkos hidupnya sendiri.
Namun, menyerah bukan pilihan. Ia harus memberikan sebagian pendapatannya ke orang tuanya, sekecil apa pun itu, karena ia tahu ayah dan ibunya menggantungkan harapan padanya. Beban itu menyesakkan, tapi juga yang membuatnya tetap melangkah.
Di luar, suara klakson kendaraan bercampur dengan teriakan pedagang asongan menembus jendela kontrakan. Raden meraih salah satu buku di sampingnya, buku berjudul Teori Politik Kontemporer lalu meniup debu di atas sampulnya. Ia tersenyum miris.
“Entah kapan aku bisa kembali kuliah,” gumam Raden lirih.
Ia menutup buku itu dengan tegas, meletakkannya kembali di tumpukan. Jakarta menunggunya di luar sana, dan perut yang lapar tidak bisa ditunda dengan mimpi. Dengan langkah berat, Raden bangkit, meraih jaket lusuhnya, lalu keluar menuju keramaian kota, menjemput apa pun pekerjaan yang sudi menerima tenaganya hari ini.
***
Siang itu, udara Jakarta terasa pengap. Raden baru saja pulang dari mengantar barang, ketika ibunya memintanya membantu membersihkan kamar lama almarhum kakeknya. Ruangan itu jarang sekali dibuka, sudah bertahun-tahun hanya menjadi gudang, dipenuhi dengan kardus, kain usang, dan tumpukan barang yang tidak pernah lagi disentuh.
“Lumayan, Den,” ujar ibunya sambil mengikat rambutnya. “Siapa tahu ada yang bisa dijual, atau setidaknya diberesin biar nggak jadi sarang tikus.”
Raden mengangguk, meski tubuhnya masih lelah. Ia tahu ibunya berusaha keras menutupi kegelisahan soal uang, dan membersihkan gudang ini mungkin salah satu cara untuk merasa sedikit berguna. Dengan sapu dan kain lap seadanya, mereka mulai menggeser tumpukan kardus yang baunya menusuk. Debu beterbangan, membuat Raden beberapa kali terbatuk.
Setelah hampir satu jam, tangan dan bajunya dipenuhi kotoran. Namun, di pojok ruangan, tepat di bawah tumpukan kain lusuh dan koper tua, Raden merasakan sesuatu yang berbeda. Saat ia menarik koper itu, terdengar bunyi gesekan kayu dari bawah. Ia mengusap debu yang menempel, lalu mendapati sebuah peti kayu berukuran sedang, sekitar panjang lengan orang dewasa tersembunyi di lantai, seperti sengaja diletakkan di sana.
Peti itu tampak biasa, hanya papan kayu tua dengan besi berkarat di sudut-sudutnya. Namun, begitu tangannya menyentuh permukaannya, Raden merasakan sesuatu yang dingin dan aneh, seperti hawa yang tidak berasal dari ruangan pengap itu.
“Ibu…” panggil Raden lirih. “Ini… apa ya?”
Ibunya yang tengah menata tumpukan kardus mendekat. Ia tertegun sejenak, lalu mengernyit. “Ah, itu… peti lama. Punya kakekmu, kayaknya. Ibu juga lupa pernah ada di sini.”
Raden memperhatikan lebih seksama. Peti itu terkunci dengan gembok tua, berkarat namun masih cukup kuat. Ada ukiran samar di bagian atasnya, motif yang sudah terkikis waktu, entah pola bunga, entah simbol lain, sulit ditebak.
“Kenapa disembunyikan di bawah begini, ya?” gumam Raden.
Ibunya mengangkat bahu. “Entahlah. Kakekmu dulu orangnya tertutup soal banyak hal. Kalau memang nggak bisa dibuka, ya biarin saja. Lagian pasti cuma barang lama.”
Namun, Raden tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menjalari tubuhnya. Ada sesuatu pada peti itu, bukan sekadar kayu tua. Seolah-olah benda itu menyimpan cerita, atau rahasia yang selama ini terkubur bersama masa lalu keluarganya.
Ia meraba gemboknya. Besi berkarat itu dingin, menusuk kulit. Hatinya berdebar tak jelas. Dan untuk pertama kalinya sejak berhenti kuliah, Raden merasa seakan ada sesuatu di dunia ini yang menunggunya, bukan sekadar hidup yang pasrah, bukan sekadar kerja serabutan. Sebuah panggilan samar, yang entah akan membawanya pada jawaban… atau masalah yang lebih besar.
***
Sore merambat pelan, cahaya matahari masuk samar lewat celah jendela berdebu. Raden sudah duduk berjongkok di depan peti itu hampir setengah jam. Ibunya tadi sudah keluar untuk menyiapkan makan malam, meninggalkannya sendiri di kamar pengap peninggalan kakek.
Raden menatap gembok berkarat yang menahan peti. Ia mencoba menarik paksa dengan tangan kosong tapi sia-sia. Akhirnya, ia mengambil linggis kecil yang tergeletak di pojok ruangan. Dengan beberapa hentakan, besi karatan itu patah, meninggalkan bunyi krek! yang memecah keheningan.
Hati Raden berdegup kencang. Perlahan ia membuka penutup kayu itu. Engselnya berderit panjang, seolah sudah lama sekali tidak disentuh.
Di dalam peti, tidak ada tumpukan emas atau barang berharga seperti yang sering ia bayangkan dari kisah lama. Hanya sebuah benda yang tergeletak di atas kain beludru yang sudah pudar warnanya, sebuah kalung kuno dengan liontin logam berbentuk bulat pipih, dihiasi ukiran rumit khas Jawa. Motif itu tampak seperti aksara yang sudah jarang dipakai, bercampur simbol-simbol aneh yang tak ia kenali.
Raden mengernyit. “Cuma ini?” bisiknya, setengah kecewa. Namun semakin lama ia menatap, semakin kuat perasaan aneh itu menyeruak. Seolah liontin itu hidup.
Dengan hati-hati, ia mengangkatnya. Kalung itu terasa dingin, dingin sekali, jauh berbeda dari suhu kamar yang gerah. Di permukaan logamnya, cahaya samar berkilat meski sinar sore semakin meredup.
“Peninggalan kakek…?” gumam Raden. Ia menimbang-nimbang, lalu tersenyum kecil. “Ah, masa iya cuma kalung begini.”
Entah karena penasaran, atau sekadar main-main, Raden lalu mengalungkan benda itu ke lehernya. Awalnya, tidak terjadi apa-apa. Ia hampir saja tertawa sendiri, merasa bodoh karena berharap terlalu banyak.
Namun, beberapa detik kemudian, sesuatu bergetar halus di permukaan kulitnya. Liontin itu perlahan memanas, bukan panas biasa, tapi seperti ada denyut nadi yang menyatu dengan tubuhnya. Raden tertegun, jantungnya berdetak lebih cepat.
Lalu cahaya tipis keluar dari ukiran liontin, merambat ke kulit lehernya seperti garis-garis halus menyala. Raden terlonjak, panik mencoba melepasnya. Tapi rantai kalung itu seakan menempel kuat, tak bisa digerakkan.
“Ap—apa ini…?” suara Raden terdengar bergetar panik.
Ruangan seakan berputar. Debu-debu di udara bergetar ringan, tirai tua di jendela bergoyang meski tidak ada angin. Dan saat matanya kembali menatap liontin, ukiran di permukaannya berubah, bergerak seperti hidup, membentuk simbol baru yang bersinar semakin terang.
Raden tersentak, tubuhnya seperti tertarik ke dalam pusaran tak kasatmata. Ia mencoba berteriak memanggil ibunya, tapi suaranya tertelan cahaya yang semakin menyilaukan. Dalam sekejap, dunia sekelilingnya menghilang.
Raden hanya sempat melihat kilatan bayangan hitam dengan mata merah yang menatap tajam dari balik cahaya, sebelum kesadarannya lenyap begitu saja.