Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Masa Remaja yang Hilang

Masa Remaja yang Hilang

Draven | Bersambung
Jumlah kata
28.6K
Popular
100
Subscribe
14
Novel / Masa Remaja yang Hilang
Masa Remaja yang Hilang

Masa Remaja yang Hilang

Draven| Bersambung
Jumlah Kata
28.6K
Popular
100
Subscribe
14
Sinopsis
PerkotaanSekolahTime TravelCinta SekolahKarya Kompetisi
Putra Kusuma, seorang pria yang hidup dengan penuh penyesalan, bertemu dengan sebuah peristiwa misterius yang memberinya kesempatan untuk kembali ke masa lalu. Akankah kesempatan kedua ini memberinya kebahagiaan yang selama ini dia rindukan, atau justru membawa Putra pada penyesalan yang lebih dalam?
1. Penyesalan

Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk jendela apartemen sempit di lantai tiga. Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Putra Kusuma, pria berusia 32 tahun dengan rambut acak-acakan dan pupil agak kecokelatan itu duduk di kursi tua dengan tatapan kosong. Garis wajahnya menunjukkan kelelahan. Namun matanya tetap terjaga.

Jam tidurnya biasa berada pada pukul sembilan atau sepuluh malam. Paling telat pun, hanya pukul sepuluh lewat sedikit, tidak lebih dari pukul setengah sebelas, sebab pekerjaannya yang berhubungan dengan gudang, mengharuskannya sudah berada di kantor sebelum jam empat subuh.

Namun hari ini, sebelum pulang kerja, ada berita yang menggemparkan hatinya. Kata-kata yang masih membekas dalam ingatannya.

“Putra, Maaf. Perusahaan melakukan perampingan karyawan. Bukan berarti kinerjamu buruk, hanya saja perusahaan sedang memangkas biaya.”

Putra hanya dapat mengangguk waktu itu. Tangannya gemetar ketika menerima amplop cokelat berisi gaji terakhir dan sedikit pesangon. Uang itu mungkin hanya cukup untuk bertahan sekitar dua atau tiga bulan.

Putra meremas cangkir berisi kopi yang telah dingin, lalu meneguknya dalam dua tegukan. Dia kemudian memandang meja berantakan yang berisi tagihan listrik, air, serta cicilan lainnya.

Yang lebih mengerikan lagi ketika notifikasi pada smartphone-nya yang retak berdering. Itu berisi pemberitahuan bahwa tagihan pinjamannya akan segera jatuh tempo.

Raut wajah Putra menggelap. Setelah diperiksa ternyata lima aplikasi pinjaman lain juga hampir jatuh tempo.

Dengan uang gaji terakhir, pesangon, dan dengan sedikit tabungannya yang tersisa saat ini, jika dia lunaskan sebagian tagihan serta pinjaman, mungkin dia hanya dapat bertahan kurang dari satu minggu.

Jalan pintas yang dia ambil lima tahun lalu agar dapat membiayai operasi almarhum ayahnya itu benar-benar menghantuinya sekarang.

“Hidup macam apa ini?” Putra hanya bisa memijat keningnya sambil menghela napas lelah. Hatinya sungguh terasa tidak nyaman. Namun, dia cepat-cepat mensugesti dirinya agar tidak terhanyut. “Tidak ada gunanya bersedih. Hidup terus berjalan. Aku akan cari pekerjaan besok.”

Setelah merasa sedikit lega, pandangan Putra kini beralih pada lemari yang sedikit berdebu. Dia bangkit berdiri menuju lemari tersebut, membukanya perlahan, lalu menatap album foto yang tak pernah tersentuh selama bertahun-tahun. Dia ragu sejenak sebelum mengambil album itu dengan tangan gemetar.

Putra membuka isi halaman album itu. Tergambar jelas dirinya yang tersenyum hangat saat muda, bersama teman-teman yang kini sudah jadi orang sukses. Ada satu foto yang membuat pandangannya terhenti. Itu foto dirinya sedang bersama gadis cantik berambut panjang dengan kulit cerah yang mengenakan seragam putih abu-abu. Gadis itu tersenyum hangat seolah ditujukan padanya.

Kenangan lama mulai mengalir dalam pikirannya. Mengenang masa-masa indah bersama gadis yang bernama Aurelia itu, yang merupakan cinta pertamanya di bangku SMA. Putra tersenyum pahit ketika mengingat mereka pernah memimpikan untuk meraih masa depan bersama, namun janji itu harus kandas karena sebuah tragedi.

Putra menghela napas. Menutup album itu dengan gemetar, meletakkannya kembali di dalam lemari.

“Aurelia...” gumamnya lirih sambil tersenyum hampa, seolah nama itu masih memberi kehangatan dalam hatinya. Sudah puluhan tahun berlalu, tapi perasaan itu tak kunjung pudar.

Matanya berkaca-kaca. Semua yang dulu dia kejar terasa sia-sia. Dahulu, Putra pernah bermimpi memiliki keluarga bahagia, menjadi suami dan ayah yang bisa diandalkan. Namun setelah kehilangan cinta pertamanya, rasa sakit itu membuatnya memilih jalan lain.

Sekarang, dia hanya ingin fokus pada dirinya sendiri menjadi seseorang yang kuat, mandiri, dan bisa menghadapi dunia tanpa tergantung pada orang lain. Tapi kenyataan menampar keras, dia sekarang hanyalah seorang pengangguran yang terlilit utang.

Petir menyambar di luar, menerangi wajahnya yang letih. Padahal, Putra sudah menutup album itu, tapi pikirannya tidak bisa berhenti mengembara ke masa remaja. Masa di mana segalanya terasa mungkin, di mana hidup belum menjerat dengan beban tagihan dan cicilan.

Dia membenamkan kepalanya, menghela napas keras.

Tiba-tiba, pandangannya jatuh pada sebuah buku lusuh yang ada di lemari tersebut. Putra ingat buku itu adalah pemberian dari seorang pengemis tua yang aneh.

Putra teringat jelas kejadian itu. Sekitar beberapa tahun lalu, saat dia pulang kerja dengan tergesa-gesa. Di pinggir jalan dekat lampu merah, seorang pengemis tua dengan pakaian compang-camping menghampirinya.

Rambut pengemis itu panjang dan memutih, janggutnya juga putih, agak acak-acakan. Matanya redup tapi tetap tajam. Bau aneh yang menusuk hidung membuat suasana di sekitarnya terasa tidak nyaman.

Putra adalah tipe orang yang lemah melihat hal seperti ini, khususnya pada orang tua yang sudah berumur. Dia mulai merogoh saku dan memberikan selembar 5.000 rupiah.

Pengemis itu menatap uang tersebut lama sekali, lalu tersenyum lebar, memperlihatkan gigi kuningnya yang tersisa beberapa.

“Terima kasih, Nak... terima kasih. Kau tidak tahu seberapa besar arti selembar uang ini bagiku.” Pengemis itu sungguh bersyukur.

Putra mengangguk sambil tersenyum. Ketika dia hendak bergegas pergi, tangan keriput pengemis itu menahan lengannya.

“Nak, bolehkah aku memberimu sesuatu sebagai balasan?” tanya pengemis itu dengan suara serak.

Putra mengernyitkan dahinya. “Tidak perlu, Pak. Saya ikhlas.”

Pengemis itu menggeleng, matanya menatap tajam. “Nak, aku bisa melihat masa depanmu. Hidupmu akan berat... sangat berat. Kau akan jatuh, dipukul keadaan, kehilangan arah. Tapi ingat, takdir selalu memberi...” Matanya berkilau sesaat. “Jalan kedua.”

Mendengar perkataan aneh sang pengemis, Putra hanya dapat menghela napas dalam hati. ‘Omong kosong macam apa ini?’

Pengemis tua itu lalu mengeluarkan sebuah buku tua bersampul hitam, yang berasal dari karung yang dia bawa.

“Ambillah. Terima ini.”

“Buku apa ini?” Putra menatapnya bingung.

“Bukan apa-apa. Itu hanya buku yang berisi pintu yang bisa kau pilih untuk dibuka.” Pengemis itu tersenyum samar sebelum melanjutkan, “Satu lagi. Jangan kau buka sekarang. Simpan sampai waktunya tiba. Saat kau berada di titik terendah dalam hidupmu... buku ini akan memberimu secercah harapan.”

Sebelum Putra sempat bertanya lebih jauh, lampu hijau menyala, membuatnya harus menunggu lagi untuk menyebrang. Dan ketika dia menoleh lagi, pengemis itu sudah lenyap dari pandangan. Hanya buku hitam itu yang tersisa di tangannya.

Sebenarnya Putra pernah berniat membuka buku itu. Namun entah kenapa peringatan dari pengemis itu membuatnya ragu. Lagipula, dia bukanlah orang yang percaya akan hal mistis, jadi dia tidak terlalu memusingkannya.

Putra tetap menyimpan buku itu untuk menghargai sang pengemis. Bertahun-tahun berlalu dan dia pun sebenarnya sudah melupakannya.

Namun hari ini, setelah diterpa badai hidup, hati Putra sedikit tergerak saat melihat buku itu kembali. Buku dengan sampul hitam tanpa judul, penuh simbol-simbol yang tidak pernah benar-benar dia pahami.

Entah dorongan apa yang membuatnya meraih buku itu malam ini. Jari-jarinya membuka halaman pertama. Bau kertas tua yang sudah menguning itu menyeruak, bersama barisan kata-kata yang tampak seperti mantra.

Awalnya Putra tidak mengerti dengan kata-kata, simbol, tanda, dan goresan aneh yang tercantum dalam buku. Tetapi tiba-tiba pikirannya mulai dibanjiri informasi.

‘Apa ini?’ batin Putra bergejolak. Dia bisa merasakan kalau saat ini, pengetahuan aneh telah merasuki pikirannya.

Saat hujan informasi itu berakhir dalam pikirannya, mata Putra memancarkan cahaya merah. Dia mulai dapat memahami arti tulisan aneh yang tertera dalam buku. “Bahasa Hermes?”

Lalu Putra mulai membaca secara perlahan isi buku tersebut.

“Ritual pemanggilan Dewa Aion?”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca