Kabut tipis menggantung di lereng Gunung Sagara, menyelimuti pohon pinus yang berderet seperti pasukan yang diam. Embun menetes dari ujung daun, jatuh ke tanah basah, meninggalkan aroma tanah yang segar. Di halaman sebuah rumah panggung dari kayu jati tua, seorang pemuda berambut hitam acak-acakan sedang berjongkok di atas batu, memegang ramuan hijau kental di tangannya.
Arka Pratama mendesah pelan. “Kalau orang kota tahu ramuan ini dari daun ‘pahit maut’, mereka pasti langsung kabur,” gumamnya sambil mengaduk-aduk adonan dengan batang bambu kecil.
“Mulutmu itu dari dulu tidak pernah bisa diam, ya.”
Suara berat namun tenang itu datang dari belakang. Guru Santoso Wibawa, lelaki berusia senja dengan rambut putih tebal yang diikat rapi, berdiri dengan tangan di belakang punggung. Tatapannya tajam seperti pedang, tapi bibirnya tersungging tipis, seakan menikmati kegemasan muridnya.
Arka menoleh sebentar. “Guru, pagi-pagi begini sudah siap khotbah? Apa kali ini tentang ‘murid harus patuh’ atau ‘jangan banyak tingkah’?”
Santoso mendengus. “Kali ini, bukan khotbah. Aku punya perintah.”
Arka langsung memutar bola mata. “Perintah? Jangan bilang—”
“Kau turun gunung. Hari ini.”
Ramuan di tangan Arka hampir tumpah. “Apa?! Guru, saya baru saja sempurnakan teknik pernapasan tahap delapan, belum sempat uji coba. Kenapa harus turun sekarang?”
Santoso melangkah maju. “Karena waktumu di sini sudah cukup. Kau sudah menguasai ‘Martial Healing Arts’ dan teknik pengobatan yang bahkan dokter militer pun tak paham. Sekarang, ada orang yang membutuhkanmu di Kota Ardhana.”
Arka tertawa hambar. “Kota Ardhana? Guru lupa? Itu kota yang menelan masa kecil saya mentah-mentah. Kota yang membuat saya jadi yatim piatu—” ia berhenti sejenak, rahangnya mengeras. “Kota yang saya sumpahi tidak akan pernah saya datangi lagi.”
Santoso menatapnya lama. “Justru karena itu, kau harus kembali.”
“Guru, saya tidak tertarik. Kalau ini tentang pasien, kirim saja murid lain. Si Bayu itu—”
“Bayu tidak bisa. Ini bukan pasien biasa.” Santoso menghela napas, lalu duduk di bangku kayu dekat pintu, pura-pura bersedih. “Kakak seperguruanmu, Satria Wijaya, sedang dalam masalah besar. Dan ini terkait… Raina Kusuma.”
Nama itu seperti palu yang menghantam dada Arka. Matanya melebar, tapi ia cepat-cepat menutupi ekspresinya dengan senyum miring. “Guru, jangan bawa-bawa nama itu. Raina sudah masa lalu, kalau tidak salah, dia—”
“Buta,” potong Santoso cepat. “Diracun. Asal kamu tau, sumber racun itu mengarah ke RS Cahaya Abadi.”
Arka terdiam. RS Cahaya Abadi, tempat ayahnya dulu menghembuskan napas terakhir, serta merupakan pusat kekuasaan Ratna Dewi setelah merebut semua warisan.
“Ratna Dewi,” Arka berbisik, namanya terasa getir di lidah.
Santoso berdiri lagi, menatap muridnya lekat-lekat. “Arka, kau pikir aku tidak tahu alasanmu menghindari kota itu? Tapi dunia tidak peduli pada dendammu. Raina bisa mati kalau kau tidak turun tangan. Satria sudah berusaha, tapi dia butuh kamu. Ini takdir, mau kau terima atau tidak.”
Arka menghela napas panjang. “Takdir, takdir… Guru selalu bawa-bawa kata itu. Oke, tapi ada syaratnya.”
”Apa syaratnya? Belagu , kamu mau terima hukuman di sambar petir.” Santoso tidak mau kalah di balik pertanyaannya dia mengancam.
’Sial aku ngak bisa kasih syarat yang susah,nih,’ batin Arka.
Arka menghela napas panjang. ”Saya turun gunung bukan untuk nostalgia, bukan untuk keluarga tiri saya. Saya hanya—”
“—menyelamatkan Raina. Ya, aku tahu.” Santoso melemparkan sebuah peti kayu kecil yang diikat kain merah. “Bawa ini. Isinya akan kau mengerti nanti.”
‘Dasar Guru tidak punya perasaan, tua bangka. Selalu memotong perkataanku,’ umpat Arka dalam hati.
Arka menangkap peti itu dengan satu tangan. “Kalau ternyata isinya cuma sandal jepit, saya kembalikan, Guru.”
Santoso tersenyum tipis. “Mulutmu… Semoga kau masih bisa tertawa setelah sampai di kota.”
Arka terdiam kilas masalalu mengelayut di benaknya.
Hujan deras mengguyur halaman rumah besar keluarga Pratama. Arka, remaja 15 tahun waktu itu, berdiri basah kuyup di depan pintu, menunggu ayahnya pulang dari perjalanan bisnis. Namun yang datang justru Ratna Dewi wanita bergaun hitam, bibirnya tersenyum sinis.
“Ayahmu… tidak akan pulang lagi, Arka,” katanya datar.
“Apa maksud Ibu?!”
Ratna Dewi berjalan mendekat, mengusap bahunya seolah penuh kasih. “Kecelakaan. Mobilnya rem blong. Tapi kau jangan khawatir, semua harta, saham, dan rumah ini… akan aku urus.”
“Urusi? Itu warisan Ayah untuk saya!”
Ratna menatapnya seakan melihat serangga. “Kau anak kecil. Tidak mengerti bisnis. Lagipula, aku punya anak kandung yang lebih pantas. Kau? Lebih baik keluar sebelum aku menyuruh orang membuangmu.”
Keesokan paginya, Arka benar-benar diusir. Tanpa uang, tanpa arah, ia terlunta di jalanan sampai bertemu Guru Santoso yang sedang mengobati warga di pinggir kota.
”Argh!” Rasa sakit dari bahunya mengembalikannya ke realita. Sebuah pukulan dari Santoso menyadarkannya.
Arka mengangkat ranselnya yang sudah lusuh, menghela napas. “Oke, Guru. Saya pergi. Tapi kalau nanti saya pulang, jangan kaget kalau saya bawa masalah.”
Santoso mengangguk. “Bawalah masalah itu. Aku akan siap menampungnya.”
Arka menuruni jalan setapak berbatu. Kabut mulai menipis, memperlihatkan hamparan lembah hijau di bawah. Sepanjang jalan, ia menyapa beberapa warga desa yang sudah mengenalnya.
“Lho, Arka mau pergi?” tanya Pak Darmin, penjual kelapa.
“Mau ke kota, Pak. Doakan saya tidak hilang arah dan tidak ketemu mantan,” jawab Arka sambil nyengir.
Warga tertawa, tapi Arka tahu di dadanya ada beban berat. Ia melangkah terus, menatap samar-samar bayangan kota di kejauhan, tempat semua dendamnya bermula.
Jalan setapak akhirnya berubah menjadi aspal retak ketika Arka sampai di kaki gunung. Di sana, sebuah bus tua berwarna biru dengan tulisan “Sumber Jaya – Kota Ardhana” sudah siap berangkat. Sopirnya, pria berkumis tebal, sedang sibuk merokok sambil menatap ponsel.
Arka melangkah masuk, membayar tiket, dan memilih kursi di dekat jendela. Bau solar bercampur wangi kemenyan dari gantungan kabin memenuhi hidungnya.
Baru duduk, seorang nenek-nenek di kursi sebelahnya menatap ranselnya.
“Mau merantau, Nak?”
Arka tersenyum. “Bisa dibilang begitu, Nek. Merantau ke medan perang.”
Nenek itu tertawa kecil, mengira Arka bercanda. Walau faktanya itu benar, dia tidak tau apa yang akan terjadi setibanya di kota.
Bus berhenti di sebuah pasar kecil. Seorang anak lelaki membawa keranjang penuh pisang goreng naik dan berkeliling menjual.
“Kak, mau beli? Panas-panas ini,” tawarnya.
Arka merogoh saku, memberi uang lebih dari harga. “Ambil sisanya buat beli buku sekolah.”
Anak itu bengong, lalu senyum lebar. “Makasih, Kak!”
Nenek di sebelahnya mengangguk setuju. “Jarang anak muda baik hati begini sekarang.”
Arka hanya tersenyum samar. Kebaikan kecil seperti ini yang dia pelajari dari Guru Santoso obat tidak hanya dari ramuan, tapi juga dari perbuatan.
Begitu bus memasuki gerbang kota, suara klakson, teriakan pedagang, dan deru motor menyerbu pendengarannya. Gedung-gedung menjulang, papan iklan berkedip, dan aroma asap knalpot bercampur wangi sate dari pinggir jalan.
Terminal Ardhana ramai luar biasa. Sopir ojek online menawarkan jasanya, pedagang asongan berteriak menjajakan minuman dingin. Arka turun, menenteng ranselnya, menatap hiruk pikuk itu dengan wajah datar.