Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Rahasia Raka

Rahasia Raka

Jana Indria | Bersambung
Jumlah kata
22.6K
Popular
401
Subscribe
60
Novel / Rahasia Raka
Rahasia Raka

Rahasia Raka

Jana Indria| Bersambung
Jumlah Kata
22.6K
Popular
401
Subscribe
60
Sinopsis
18+PerkotaanSupernaturalMisteriDunia Masa DepanKonglomerat
Raka, 29 tahun, seorang CEO yang mulai naik daun, semakin berkibar perusahaan Mega Synchro Corp di bawah kepemimpinannya. namun, di balik itu semua sikap dan watak CEO muda ini pun berubah. Raka selingkuh, dan melakukan bawahan dan orang orang di sekitarnya dengan se mena mena. hingga suatu hari Raka pulang dan seolah menjadi Raka yang baru. kenapa Raka berubah? ada apa dengan Raka? Rahasia Raka ....
1. Damar

“Damar! Buka pintunya, Mar! Ini aku, Raka! Penting!” ujar Raka dengan tangan berulang kali memukul pintu rumah Damar.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki dan kunci diputar. Pintu terbuka, menampakkan wajah Damar yang mengantuk dan kebingungan. Ia mengenakan kaus oblong dan celana pendek.

“Rak? Ada apa malam-malam begini?” tanya Damar, matanya menyipit mencoba fokus. “Kamu kelihatan… kacau. Apa yang terjadi?”

Raka tidak menjawab. Ia menerobos masuk, mendorong Damar sedikit ke samping, dan langsung mengunci pintu di belakangnya. Ia bersandar di pintu, terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat.

“Raka, kamu membuatku takut. Ada apa?” Damar kini sepenuhnya sadar, nada suaranya berubah menjadi khawatir. Ia melihat penampilan sahabatnya—rambut acak-acakan, wajah pucat pasi, dan tatapan mata yang liar.

“Aku… aku…” Raka mencoba bicara, tetapi kata-kata itu tersangkut. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu kecil Damar. “Aku butuh bantuanmu, Mar.”

“Bantuan apa? Duduk dulu, tenang,” kata Damar, menunjuk ke arah sofa tua yang nyaman. “Kamu mau minum?”

“Tidak! Aku tidak butuh minum!” bentak Raka, lalu segera menyesalinya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.

“Maaf. Maafkan aku, Mar. Aku panik.”

Damar menghela napas, memilih untuk bersabar. Ia sudah mengenal Raka cukup lama untuk tahu kapan sahabatnya itu berada di ambang batas.

“Oke. Ceritakan pelan-pelan. Apa ini soal Lina? Kalian bertengkar?”

Raka berhenti mondar-mandir dan menatap Damar. “Lebih buruk dari itu. Jauh lebih buruk.” Ia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering seperti gurun.

“Aku… dalam perjalanan ke sini… aku menabrak orang, Mar.”

Wajah Damar langsung berubah. Kekhawatiran di matanya berganti dengan keterkejutan.

“Apa? Menabrak orang? Di mana? Bagaimana keadaannya? Kamu sudah panggil ambulans?”

Rentetan pertanyaan itu membuat kepala Raka pusing. Pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya ia tanyakan pada dirinya sendiri.

“Aku tidak tahu,” jawab Raka, suaranya nyaris berbisik. “Aku… aku tidak berhenti.”

Damar terdiam. Ia menatap Raka seolah baru pertama kali melihatnya. Ada jeda panjang di antara mereka, diisi hanya oleh suara detak jam dinding murah di dapur.

“Kamu… kabur?” tanya Damar akhirnya, nadanya datar, penuh ketidakpercayaan.

Raka tidak menjawab. Keheningannya adalah sebuah pengakuan.

“Raka!” Suara Damar meninggi, campuran antara ngeri dan marah.

“Bagaimana bisa kamu lakukan itu? Bagaimana kalau orang itu sekarat? Dia butuh pertolongan!”

“Aku panik, oke?!” balas Raka, suaranya pecah.

“Aku tidak berpikir jernih! Semuanya terjadi begitu cepat!”

“Itu bukan alasan, Rak! Kamu harus kembali ke sana sekarang juga! Atau setidaknya telepon polisi!” Damar sudah meraih ponselnya di atas meja.

“JANGAN!” teriak Raka, melompat dan merebut ponsel itu dari tangan Damar.

“Kamu tidak mengerti!”

“Apa yang tidak aku mengerti?” tantang Damar, matanya menyala karena marah.

“Bahwa sahabatku baru saja meninggalkan seseorang untuk mati di jalanan?”

“Aku tidak bisa terlibat dalam hal ini, Mar!” seru Raka, nadanya putus asa.

“Jika berita ini keluar, aku hancur! Perusahaan hancur! Nama baik keluarga Santoso hancur! Ayahku… kondisi jantungnya, Mar! Berita seperti ini bisa membunuhnya!”

Damar tampak goyah. Amarahnya sedikit mereda, digantikan oleh kebingungan.

“Lalu… apa rencanamu?” tanya Damar hati-hati. “Kamu tidak bisa sembunyi selamanya. Mobilmu… pasti ada yang melihat.”

Raka menatap lurus ke mata sahabatnya.

“Itu sebabnya aku di sini,” kata Raka dengan suara rendah yang bergetar.

“Aku tidak punya pilihan lain. Kamu satu-satunya yang bisa menolongku.”

Damar mengerutkan kening. “Menolong bagaimana? Menyembunyikanmu? Itu sama saja dengan bersekongkol, Rak.”

“Bukan hanya itu,” Raka mengambil napas dalam-dalam.

“Aku butuh lebih dari itu. Aku butuh… alibi. Aku butuh seseorang untuk…”

Ia tidak sanggup menyelesaikannya. Tapi Damar, dengan kecerdasannya, mulai mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Wajahnya memucat.

“Tidak,” bisik Damar, mundur selangkah. “Jangan katakan itu. Kamu tidak mungkin memintaku untuk…”

“Aku butuh kamu mengaku kalau kamu yang menyetir mobil itu, Mar,” kata Raka cepat, kata-katanya meluncur deras sebelum ia kehilangan keberanian.

Damar tertawa. Tawa yang kering dan tanpa humor.

“Kamu gila. Raka. Aku? Mengaku melakukan tabrak lari? Itu kejahatan! Aku bisa dipenjara bertahun-tahun!”

“Tidak akan!” potong Raka cepat, melangkah maju, meraih kedua bahu Damar.

Matanya memancarkan keyakinan yang dibuat-buat.

“Dengarkan aku. Ini hanya kecelakaan, bukan pembunuhan. Pengacaraku yang terbaik di negara ini. Aku akan menjamin kamu keluar dengan uang jaminan secepatnya. Mungkin hanya beberapa hari di kantor polisi untuk formalitas. Aku akan atur semuanya!”

“Aku tidak peduli!” Damar menepis tangan Raka.

“Aku membusuk di penjara untuk kejahatan yang kamu lakukan! Bagaimana dengan keluargaku? Ibuku? Adikku? Apa yang harus kukatakan pada mereka?”

Keluarga. Titik terlemah sekaligus kekuatan terbesar Damar.

“Justru karena keluarga kamulah kamu harus melakukan ini,” kata Raka, suaranya kini melunak, berubah menjadi nada seorang manipulator ulung.

“Dengarkan aku, Mar. Pikirkan baik-baik. Ini bukan hanya menolongku. Ini adalah kesempatan.”

“Kesempatan?” Damar menatapnya dengan jijik.

“Kesempatan untuk apa? Menjadi kambing hitam?”

“Kesempatan untuk mengubah hidup keluargamu selamanya,” lanjut Raka, matanya berkilat.

Damar diam. Raka telah menembak tepat di sasaran.

“Aku tidak hanya akan memberimu uang, Mar. Itu terlalu menghina persahabatan kita,” kata Raka, nadanya penuh kepalsuan.

“Anggap ini investasi. Kamu membantuku melewati badai ini, dan sebagai balasannya, aku akan memastikan keluargamu tidak akan pernah mengkhawatirkan uang lagi seumur hidup mereka.”

“Aku tidak mau uang harammu,” desis Damar, tetapi keyakinannya mulai goyah.

“Ini bukan uang haram!” sergah Raka. “Ini adalah uang terima kasih! Pikirkan, Mar! aku yang akan menanggung biaya hidup keluargamu! Aku janji itu!!”

Tawaran itu begitu besar, begitu nyata, begitu memabukkan.

“Kenapa kamu melakukan ini?” bisik Damar, lebih pada dirinya sendiri.

“Karena kamu sahabatku!” jawab Raka penuh semangat, seolah itu adalah jawaban yang paling tulus.

“Kita sudah bersama sejak SMP. Siapa lagi yang bisa kupercaya selain kamu? Aku tahu aku brengsek, Mar. Aku tahu aku sering egois. Tapi aku tidak pernah melupakan siapa sahabatku. Tolong aku sekali ini saja. Demi masa lalu kita. Demi masa depan keluargamu.”

Damar memalingkan wajah, menatap sketsa bangunan di mejanya. Sketsa impiannya. Ia memikirkan wajah lelah ibunya, wajah penuh harap adiknya. Ia terjebak. Di satu sisi ada prinsip dan hukum. Di sisi lain ada jalan keluar dari semua kesulitan hidupnya. Raka tidak menawarinya pilihan, ia menawarinya takdir yang berbeda.

“Aku… aku tidak bisa,” gumam Damar, tetapi suaranya terdengar lemah.

“Kamu bisa,” desak Raka, mendekat lagi.

“Ini hanya sebentar. Beberapa minggu, mungkin sebulan paling lama. Aku bersumpah, aku akan mengeluarkanmu. Pengacaraku bisa memutarbalikkan fakta. Mereka akan bilang kamu panik karena tidak punya SIM, atau apa pun itu. Hukumannya akan ringan. Aku akan pastikan itu. Sementara itu, keluargamu akan hidup seperti raja. Mereka akan bahagia, Mar. Bukankah itu yang paling penting?”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca