

Abra Prasetio menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang sudah retak di pojok kanan. Angka saldo aplikasi ojek online miliknya hanya tersisa Rp23.500. Hari ini, dari pagi sampai malam, ia hanya dapat empat orderan. Semua sudah ia habiskan untuk bensin dan makan seadanya.
Motor tua supra X kesayangannya pun sudah beberapa kali mogok. Ban belakang botak, rantai berdecit, lampu depan redup seperti hidupnya sendiri—remang dan sering diremehkan orang.
“Mas, jangan kebanyakan alasan ya. Kalau telat lagi, saya kasih bintang satu!” suara penumpang barusan masih terngiang di telinganya.
Abra tidak marah. Ia sudah terbiasa. Sejak kecil hidupnya memang penuh hinaan dan diremehkan. Ayahnya meninggalkan keluarga saat Abra masih SMP, ibunya meninggal karena sakit, dan sejak itu ia hanya bergantung pada dirinya sendiri.
Malam itu, ia berhenti di pinggir jalan dekat lampu merah, menyalakan rokok murahan, menatap kota yang gemerlap. Gedung-gedung tinggi menjulang di kejauhan, penuh lampu neon yang memancarkan kemewahan.
“Dunia ini nggak adil…” gumamnya lirih.
Ia bukan tak punya mimpi. Abra pernah bercita-cita jadi arsitek. Tapi kuliahnya terhenti di semester empat karena biaya. Semua temannya sudah punya karier bagus, sedangkan ia masih berkutat dengan motor tua dan penghasilan tak menentu.
Tiba-tiba...
Suara aneh menggema di dalam kepalanya.
Seolah berasal dari speaker yang menembus kesadaran.
“Selamat! Host terpilih: Abra prasetio.”
“Sistem pahlawan kota telah diaktifkan.”
Abra tersentak, matanya membelalak.
“Apaan barusan?!” Ia refleks menepuk-nepuk kepalanya, mencari earphone atau suara dari sekitar. Tapi jalanan lengang. Hanya ada suara motor lewat dan klakson mobil.
Lalu muncul panel transparan di depan matanya, seolah layar hologram:
SISTEM PAHLAWAN KOTA
Status: Pemula
Misi Pertama: Tolong seorang ibu yang kesulitan di dekat Pasar Cempaka.
Hadiah: Rp10.000.000 + Peningkatan Fisik Level 1
Abra mengucek matanya. “Gila, gue halu ya? Atau kecapean?”
Namun layar itu tetap melayang, nyata, tidak hilang meski ia menggelengkan kepala.
Ia menatap instruksi itu. Pasar Cempaka hanya berjarak sekitar satu kilometer dari tempatnya sekarang.
“Sepuluh juta? Meningkatkan fisik? …Ini kayak di drama-drama atau novel fantasi yang sering gue baca.”
Awalnya ia ragu. Tapi entah kenapa, hatinya terdorong. Ia menyalakan motor tuanya dan melaju ke arah pasar.
Di pasar cempaka
Jam menunjukkan pukul 11 malam. Pasar sudah sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang berkemas. Lampu jalan temaram, udara dingin menusuk.
Abra menurunkan kecepatan. Dari kejauhan, ia melihat seorang ibu tua mendorong gerobak penuh sayur. Raut wajahnya lelah, tubuhnya gemetar menahan berat.
Tanpa pikir panjang, Abra turun dari motor.
“Ibu, saya bantu ya.”
Awalnya ibu itu menolak, “Nggak usah, nak, saya bisa sendiri.”
Namun Abra tetap mendorong gerobak itu bersama-sama hingga sampai ke rumah kontrakan ibu tua tersebut.
Begitu selesai, ibu itu tersenyum sambil meneteskan air mata.
“Terima kasih banyak, Nak. Jarang sekali ada anak muda yang mau nolong orang tua begini. Semoga rezeki kamu lancar.”
Tiba-tiba panel sistem muncul lagi:
Misi Pertama Selesai.
Hadiah Diterima:
+ Rp10.000.000 (saldo rekening)
+ Peningkatan Fisik Level 1
Abra merasakan tubuhnya hangat, seolah aliran energi mengalir di seluruh otot. Ia mengepalkan tangan. Tenaganya bertambah, tubuhnya terasa ringan dan bertenaga.
Dengan gemetar, ia membuka aplikasi mobile banking di ponselnya. Angka saldo yang tadinya hanya Rp23.500 kini berubah jadi Rp10.023.500.
Abra ternganga. “Ini… nyata?! Bukan mimpi?!”
Ia memandang langit malam dengan mata berkaca-kaca.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hidupnya punya cahaya harapan.
Keesokan Harinya
Abra terbangun dengan energi baru. Saat berkaca, ia mendapati wajahnya lebih segar, matanya tidak sembab, tubuhnya berotot sedikit lebih kencang.
Ketika keluar untuk mencari orderan, beberapa orang menoleh padanya. Bahkan pedagang warung nasi uduk yang biasanya cuek menyapa ramah.
“Mas Abra, kok kelihatan beda ya? Seger banget mukanya sekarang.”
Abra hanya tersenyum. Dalam hatinya ia tahu, ini berkat sistem misterius itu.
Panel muncul lagi:
Misi berikutnya:
Lindungi seorang wanita dari gangguan preman di Jalan Mawar.
Hadiah: Motor sport baru + Rp5.000.000
Abra menatap panel itu dengan tegang.
“Preman? Lindungi wanita? Jangan-jangan ini… awal dari petualangan gila gue.”
Abra menatap panel hologram itu dengan jantung berdebar.
“Lindungi seorang wanita dari gangguan preman di Jalan mawar. Hadiah: Motor sport baru + Rp5.000.000.”
Ia mengusap wajahnya. “Wanita? Preman? Gue harus jadi jagoan sekarang?”
Sistem itu seperti mendengar gumamannya, lalu suara mekanis muncul di kepalanya:
“Tingkat kesulitan: Menengah. Hadiah sesuai risiko. Waktu pelaksanaan: 30 menit.”
“APA?!” Abra panik, langsung menyalakan motor bututnya. “Jalan Mawar itu kan dekat kampus lama gue…”
Jalan mawar, 15 Menit Kemudian
Suasana lengang. Lampu jalan hanya beberapa yang menyala, membuat bayangan panjang menari di aspal. Dari kejauhan, Abra mendengar suara gaduh: teriakan pria bercampur suara perempuan.
Abra memacu motornya lebih cepat.
Begitu sampai, ia melihat tiga pria preman menghadang seorang gadis muda bergaun putih. Gadis itu memeluk tasnya erat, wajahnya pucat.
“Udah deh, Neng, ikut aja sama abang-abang ganteng ini. Kita anterin pulang, kok.” Preman pertama meraih lengannya.
“Lepaskan! Jangan sentuh saya!” Gadis itu berusaha melepaskan diri.
Abra menelan ludah. Ia tahu tubuhnya memang terasa lebih kuat setelah peningkatan fisik, tapi melawan tiga preman? Apa dia sanggup?
Namun, bayangan Rp5 juta dan motor sport baru langsung menguatkan nyalinya.
Ia turun dari motor, suara knalpot tuanya menggelegar keras.
“Oi!” teriak Abra. “Kalau berani, hadapin gue!”
Ketiga preman itu menoleh.
“Siapa lu, hah? Mau sok jadi pahlawan?!” salah satunya menyalakan rokok.
Abra melangkah maju. “Kalau cowok sejati, jangan ganggu perempuan. Lawan gue aja.”
Pertarungan pertama
Preman pertama menyerang dengan pukulan lurus. Abra refleks menghindar, lalu membalas dengan satu pukulan ke perut. Bughh! Preman itu terjungkal dua meter, mengerang kesakitan.
Abra terkejut. “Gila… tenagaku segini kuatnya sekarang?!”
Preman kedua maju dengan kayu. Abra menangkis, kayu patah, lalu ia mendorongnya hingga terhantam dinding.
Preman ketiga mulai ciut. “S-sial, anak ini bukan orang biasa!” Ia kabur terbirit-birit.
Dalam hitungan menit, Abra berdiri tegap. Dua preman tersungkur, satu kabur.
Gadis itu menatap Abra dengan mata berbinar. Nafasnya tersengal, wajahnya penuh rasa syukur.
“Terima kasih… kalau tidak ada kamu, aku—”
Abra terdiam. Wajah gadis itu begitu familiar. Hatinya bergetar.
“Q… Aqela?”
Gadis itu menutup mulutnya kaget.
“Abra prasetio?!”
Pertemuan kembali
Mereka saling terdiam beberapa detik. Bayangan masa lalu berkelebat di kepala Abra. Aqela lestari—teman kuliah yang dulu selalu mendukungnya, meski semua orang meremehkannya.
Namun, setelah Abra drop out, mereka terpisah.
Dan malam ini, takdir mempertemukan mereka kembali.
Abra tersenyum kaku. “Nggak nyangka ketemu kamu di sini… dalam kondisi kayak gini lagi.”
Aqela mengangguk, wajahnya masih pucat tapi ada secercah kelegaan.
“Aku habis dari kampus, mau pulang… tiba-tiba preman-preman itu muncul. Untung kamu datang tepat waktu.”
Abra menoleh ke arah preman yang pingsan. “Ya, kebetulan lewat aja.”
Panel sistem kembali muncul:
Misi kedua selesai.
Hadiah: Motor Sport Baru + Rp5.000.000.
Abra terhenyak. Tiba-tiba di seberang jalan, sebuah motor sport hitam berkilau muncul entah dari mana, lengkap dengan kunci yang tergantung di stangnya.
Aqela membelalak. “I-itu… motor kamu?!”
Abra gugup. Ia tak mungkin menjelaskan tentang sistem.
“Eh… iya. Baru… beli.”
Aqela menatapnya penuh tanda tanya, namun tidak bertanya lebih jauh.
Hati yang bergetar
Malam itu, Abra mengantar Aqela pulang dengan motor sport barunya. Angin malam menerpa wajahnya, tapi jantungnya justru berdetak kencang.
Aqela duduk di belakang, tangannya memegang jaket Abra erat-erat. Aroma samar parfumnya membuat hati Abra campur aduk.
“Aku masih nggak percaya ini kamu, Bra…” ucap Aqela pelan di tengah perjalanan.
“Kamu berubah. Dulu kamu selalu terlihat lelah, putus asa. Sekarang… entah kenapa, kamu terlihat lebih kuat.”
Abra tersenyum tipis. “Mungkin karena takdir ngasih aku kesempatan kedua.”
Dalam hati, ia bertekad. Kesempatan ini nggak boleh aku sia-siakan. Aku akan buktiin ke semua orang, terutama ke diriku sendiri, kalau aku bisa lebih dari sekadar tukang ojek yang diremehkan.
Di depan rumah Aqela
Begitu sampai, Aqela turun dari motor, lalu menatap Abra lama.
“Terima kasih sekali lagi, Bra. Kamu benar-benar penyelamatku malam ini.”
Abra mengangguk. “Sama-sama. Hati-hati, ya. Jangan pulang malam sendirian lagi.”
Aqela tersenyum manis. Senyuman yang membuat dada Abra hangat.
“Kalau kamu sempat, mainlah ke kampus. Banyak teman lama pasti kangen.”
Abra hanya mengangguk. Dalam hati ia tahu, sejak malam ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Panel sistem muncul terakhir kali sebelum menghilang:
Host berhasil menyelesaikan 2 misi.
Level meningkat ke: Level 2.
Akses misi baru akan dibuka.
Abra mengepalkan tangan, menatap ke arah kota yang gemerlap.
Dari orang yang selalu diremehkan… kini langkah pertama menuju takdir baru sudah dimulai.