

Pagi itu, matahari baru saja muncul di balik gedung-gedung tua Kota Jaya. Di sudut kota, jauh dari hiruk pikuk pusat bisnis, ada sebuah kampung padat penduduk dengan jalan becek dan rumah-rumah reyot dari kayu dan seng. Bau sampah menusuk hidung setiap kali angin lewat.
Di sanalah seorang anak lelaki berusia dua belas tahun, Satria—yang lebih sering dipanggil Andi oleh orang-orang kampung—berjalan pelan mendorong gerobak kecil penuh botol plastik dan kaleng bekas. Bajunya lusuh, penuh noda tanah.
“Cepet, Andi! Kalau telat, nggak laku tuh botol-botol!” teriak seorang pria tua dari warung kopi, namanya Pak Rohim, tetangga yang sering jadi tukang ejek.
Satria menoleh sebentar, wajahnya dingin. “Saya bukan telat, Pak… saya cuma ngumpulin lebih banyak.”
Tawa kasar terdengar dari bangku warung. “Hahaha, denger tuh! Ngumpulin lebih banyak sampah biar bisa jadi raja sampah, ya?!”
Orang-orang lain ikut tertawa. Satria hanya menggigit bibir, menahan rasa malu yang membakar dada.
Di dekat pasar, ia bertemu sahabat kecilnya, Bayu, anak sebayanya yang juga hidup susah, tapi lebih ceria.
“Pagi, Tri! Banyak juga botolmu hari ini,” kata Bayu sambil menepuk bahu Satria.
“Lumayan. Kalau laku semua, bisa buat beli buku bekas di pasar loak,” jawab Satria pelan.
Bayu terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Kamu ini aneh, Tri. Anak lain kalau punya uang lebih pasti beli jajan. Kamu malah beli buku. Emang nggak capek sekolah sambil ngumpulin sampah?”
Satria menatap botol-botol di gerobaknya. “Kalau aku berhenti belajar, aku bakal selamanya di sini, Yu. Aku nggak mau jadi orang yang direndahkan terus.”
Bayu terkekeh, lalu mengangkat dua jempol. “Keren! Tapi hati-hati kalau ketemu sama anak-anak geng kampung sebelah. Mereka suka ngerjain kita, apalagi kalau lihat kamu bawa banyak barang.”
Benar saja. Belum jauh mereka berjalan, tiga anak remaja muncul dari gang sempit. Pemimpinnya, Rudi, terkenal suka mengganggu.
“Eh-eh, lihat siapa yang lewat. Raja sampah Kota Jaya!” ejek Rudi dengan tawa mengejek.
Anak-anak lain ikut terbahak.
Satria mencoba menunduk dan lewat begitu saja, tapi Rudi menghalangi dengan kedua tangannya.
“Mau ke mana? Setor dulu dong. Botol-botol ini pasti laku. Biar aku yang jualin buat kamu,” katanya sambil menarik salah satu karung dari gerobak.
Satria menahan erat. “Jangan ganggu, Rud. Aku capek ngumpulin ini.”
“Wih, berani dia!” Rudi mendorong Satria sampai hampir jatuh.
Bayu melangkah maju. “Udah, Rud. Cari urusan sama yang lain aja!”
Tapi Rudi malah menertawakannya. “Kalian berdua ini emang cocok, ya? Satu pemulung, satu badut.”
Satria mengepalkan tangan, tapi menahan diri. Ia tahu kalau melawan, ia bisa babak belur.
Akhirnya ia hanya berkata lirih, “Suatu hari nanti, kalian bakal lihat siapa yang benar-benar rendah.”
Malam itu, di rumah gubuknya, Satria duduk bersama ibunya, Bu Ratna, seorang penjual gorengan yang tangguh meski tubuhnya kurus.
“Andi…” ibunya menatap penuh kasih, “…capek ya nak?”
Satria tersenyum kecil, “Enggak, Bu. Aku cuma mikir… kenapa orang-orang suka banget merendahkan kita.”
Bu Ratna terdiam, lalu mengelus kepala anaknya. “Karena mereka nggak tahu rasanya jadi kita. Ingat ya, Nak… kalau kamu mau dihargai, bukan mulutmu yang harus banyak bicara. Tapi kerja kerasmu yang akan jawab semua hinaan mereka.”
Satria menatap mata ibunya, lalu mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia berjanji: Aku akan buktikan. Aku akan jadi orang besar. Suatu hari nanti, mereka yang merendahkan akan menunduk padaku.
Malam semakin larut di Kampung Rawa Jaya, tempat Satria tinggal. Lampu jalan redup, sebagian mati, hanya menyisakan cahaya temaram dari warung kopi yang masih buka. Bau gorengan dan asap rokok bercampur di udara.
Satria duduk di depan rumah gubuknya yang berdinding seng karatan. Ia merapikan buku-buku bekas yang dibelinya di pasar loak siang tadi. Buku itu sudah usang, kertasnya menguning, tapi baginya, buku itu harta yang lebih berharga dari apapun.
“Triii!” suara Bayu memanggil dari kejauhan. Anak itu berlari sambil membawa kantong plastik.
“Apa, Yu?” Satria menoleh.
Bayu mengangsurkan plastik itu. “Ibuku nyuruh kasih ini. Katanya buat makan malam. Nasi sisa jualan warung.”
Satria terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Makasih ya, Yu. Ibumu baik banget.”
Bayu menggaruk kepala. “Ah, biasa aja. Lagian kalau kamu sakit karena nggak makan, siapa yang bakal nemenin aku cari barang bekas besok?”
Mereka berdua tertawa kecil. Tapi tiba-tiba tawa itu terhenti saat terdengar suara-suara berisik dari arah gang.
Beberapa anak remaja, dipimpin Rudi, muncul lagi. Mereka membawa minuman botol murahan, wajahnya merah karena mabuk.
“Heh, pemulung!” Rudi menunjuk ke arah Satria. “Ngapain lo masih melek jam segini? Mau belajar jadi profesor sampah?”
Anak-anak lain tertawa terbahak-bahak. Bayu langsung berdiri, melindungi Satria.
“Udah, Rud. Cari ribut mulu kerjaanmu!”
Rudi mendekat, mendorong bahu Bayu. “Minggir lo! Gue lagi ngomong sama si Andi ini.”
Satria menutup buku di pangkuannya, menatap lurus ke arah Rudi.
“Aku nggak ganggu kalian. Pergi aja.”
Rudi mendengus. “Wih, berani sekarang. Dulu paling cuma diem. Eh, jangan-jangan kamu lagi mimpi mau jadi orang kaya?”
Tawa pecah lagi.
Satria menarik napas panjang, menahan emosi. “Aku nggak mimpi. Aku cuma berusaha.”
Rudi menunduk ke arahnya, wajahnya menyeringai. “Berusaha? Dari sampah kayak lo? Denger ya, Andi. Orang kayak lo dilahirkan cuma buat jongkok di bawah kaki kita.”
Bayu hampir melawan, tapi Satria menahan lengannya. Dengan suara tenang tapi penuh tekad, ia berkata:
“Kita lihat nanti, Rud. Mungkin sekarang aku rendah. Tapi suatu hari, kamu bakal nyari-nyari aku, dan waktu itu… aku nggak akan sama lagi.”
Sejenak suasana hening. Anak-anak Rudi terdiam, tak menyangka Satria bisa bicara begitu tegas.
Rudi mendengus sinis, lalu meludah ke tanah. “Bocah tengil! Ingat kata-kata gue… lo nggak akan jadi apa-apa!”
Mereka pergi sambil tertawa, meninggalkan Satria dan Bayu.
Bayu menoleh cemas. “Tri, kenapa kamu ngomong gitu? Takutnya mereka makin dendam sama kamu.”
Satria menatap langit malam yang bertabur bintang samar di balik kabut kota.
“Karena kalau aku diam terus, Yu, aku akan terus diinjak. Aku nggak mau lagi.”
Bayu menatap sahabatnya dengan kagum. Ia tahu, ada sesuatu yang berbeda di dalam diri Satria.
Tak lama, ibunya keluar dari rumah membawa pelita kecil.
“Andi… ayo masuk, Nak. Malam makin dingin.”
Satria mengangguk, lalu masuk bersama ibunya.
Di dalam rumah sempit itu, Bu Ratna menatap anaknya dengan senyum lembut.
“Andi, jangan hiraukan orang-orang yang merendahkanmu. Orang yang benar-benar kuat bukan yang punya banyak harta, tapi yang bisa tetap berdiri meski dihina.”
Satria mengangguk, menggenggam buku bekasnya.
“Bu… aku janji. Aku akan bikin Ibu bangga. Aku nggak mau selamanya disebut anak pemulung.”
Air mata Bu Ratna menetes, setengah karena haru, setengah karena khawatir. Ia tahu jalan anaknya tidak akan mudah. Tapi ia juga melihat api besar di mata Satria api yang tak akan padam meski diterpa badai.