

Langit di atas Sektor 9 Jakarta Baru selalu tampak seperti memar yang tak kunjung sembuh campuran warna abu-abu kotor dan ungu gelap, sisa-sisa radiasi mana yang bocor dari Great Cataclysm lima ratus tahun lalu. Hujan turun miring, tajam seperti jarum, menghantam aspal yang retak dan helm-helm baja para Hunter yang berkilauan di bawah lampu neon jalanan.Di pinggiran kerumunan itu, jauh dari tenda-tenda hangat milik Guild besar yang menyediakan kopi panas dan pemanas portabel, Arion berdiri menggigil.Dia tidak mengenakan baju zirah mythril yang ringan namun sekeras berlian, ataupun jubah penyihir yang ditenun dari sutra laba-laba Abyss.
Pakaian Arion adalah definisi dari menyedihkan: sebuah jaket kanvas militer bekas yang sudah pudar warnanya, ditambal di bagian siku dengan lakban hitam, celana kargo yang terlalu longgar, dan sepasang sepatu bot safety murah yang solnya sudah mulai menganga seperti mulut ikan yang lapar.Di punggungnya, terikat dengan tali nilon kasar, bertengger sebuah tas ransel raksasa seukuran kulkas mini. Tas itu kosong sekarang, tapi ukurannya saja sudah cukup membuat punggung orang biasa patah. Itu adalah tas dimensional-storage versi terendah, tipe reject pabrikan yang hanya mampu mengurangi berat barang sebesar 10%. Bagi seorang Hunter tipe tempur, tas seperti itu adalah sampah. Bagi Arion, itu adalah aset termahal yang ia miliki alat kerjanya sebagai kuli panggul.Sebagai Porter.
"Hei, lihat itu. Tikus got sedang mencari remah-remah lagi." Suara tawa yang kasar memecah suara hujan. Arion tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.
Aroma tembakau mahal dan parfum maskulin yang menyengat hidung sudah cukup memberitahunya. Itu rombongan dari Guild 'Iron Fist', sebuah guild menengah yang terkenal arogan.
"Minggir, Rank F!" Sebuah dorongan keras menghantam bahu Arion. Bukan dorongan biasa. Itu adalah dorongan dari seseorang yang memiliki stat Kekuatan (STR) setidaknya di atas 50. Bagi Hunter Rank F seperti Arion yang stat fisiknya nyaris sama dengan manusia biasa—mungkin sedikit lebih kuat dari atlet lari maraton, tapi tidak lebih—dorongan itu terasa seperti ditabrak sepeda motor.Arion terpelanting. Kakinya tergelincir di genangan minyak bercampur air hujan.
Ia jatuh tersungkur dengan keras, wajahnya nyaris mencium aspal basah. Tas ransel besarnya menghantam punggungnya, menekannya ke tanah seperti kura-kura terbalik.Gelak tawa meledak di sekelilingnya.
"Aduh, hati-hati dong," ucap si pendorong dengan nada mengejek yang dibuat-buat. Dia adalah seorang pria kekar dengan plate armor merah menyala, memegang sebuah kapak besar di bahunya seolah itu hanya ranting kayu.
"Mata lo rabun atau gimana? Jalanan selebar ini masih aja ngalangin jalan orang." Arion merasakan darah panas naik ke wajahnya. Rasa malu membakar telinganya, lebih panas dari dinginnya hujan.
Namun, ia tidak melawan. Ia tidak membalas tatapan mereka. Ia tahu posisinya. Di dunia ini, hukum rimba berlaku mutlak. Yang kuat adalah raja, dan yang lemah adalah pijakan kaki.Dengan napas tersengal, Arion menekan telapak tangannya ke aspal kasar yang mengikis kulitnya. Ia mendorong tubuhnya bangkit, melawan berat tas dan rasa sakit di pinggangnya. Lututnya gemetar. Bukan karena takut, tapi karena ia belum makan dengan layak selama dua hari. Roti kadaluarsa dan air keran bukanlah bahan bakar yang cukup untuk tubuh seorang Hunter, bahkan yang terlemah sekalipun."Maafkan saya, Tuan Hunter," gumam Arion pelan, kepalanya tertunduk dalam-dalam.
"Saya tidak melihat Anda."
"Cih," pria berarmor merah itu meludah tepat di depan sepatu butut Arion.
"Rank F... Dasar parasit. Kenapa Asosiasi masih membiarkan sampah sepertimu masuk ke area Gate? Kalian hanya menghabiskan jatah oksigen."
"Sudahlah, Bos. Jangan buang tenaga buat ngurusin sampah," teman di sebelahnya menimpali, seorang wanita dengan busur panjang bercahaya.
"Inilah kenapa dunia manusia jadi lemah. Terlalu banyak benalu yang berharap dapat keajaiban awakening kedua."
Rombongan itu berlalu, meninggalkan Arion yang masih menunduk. Sepatu-sepatu mahal mereka memercikkan air lumpur ke celana Arion, seolah dia hanyalah bagian dari trotoar yang kotor.Arion mengepalkan tangannya. Kukunya menancap ke telapak tangan hingga memutih. Sabar, batinnya berteriak. Telan saja. Kau butuh uang ini. Kau butuh uang ini.Ia mengangkat wajahnya perlahan, menatap punggung para Hunter itu yang berjalan menuju gerbang dimensi—sebuah pusaran energi berwarna biru neon yang berputar di tengah lapangan parkir tua itu. Itu adalah Gate Rank C.
Bagi mereka, itu adalah ladang uang, tempat berburu yang mudah. Bagi Arion, jika ia masuk ke sana, itu adalah neraka di mana satu kesalahan kecil berarti kematian.Arion menghela napas panjang, uap putih keluar dari mulutnya. Ia merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah kartu identitas yang sudah lecek.
Nama : Arion
Rank : F
Class : None (Civilian Type)
Skill : None
Afiliasi: Freelancer
Hanya sepotong plastik, tapi kartu itu adalah vonis seumur hidup. Di dunia di mana Status Window menentukan segalanya, Arion berada di dasar rantai makanan. Ketika resonansi mana terjadi padanya tiga tahun lalu, ia sempat berharap. Ia berpikir nasibnya akan berubah, bahwa ia akan menjadi pahlawan seperti di komik-komik lama. Tapi kenyataan menamparnya keras. Resonansinya sangat rendah. Kapasitas mananya hanya 15 poin, jumlah yang bahkan tidak cukup untuk menyalakan korek api sihir. Dia adalah "The Failure". Kegagalan.
"Arion? Masih di situ?" Suara serak membuyarkan lamunannya. Seorang pria paruh baya dengan rompi petugas Asosiasi melambaikan tangan dari pos pendaftaran. Pak Burhan, satu-satunya orang di tempat ini yang tidak memandang Arion seperti kotoran.Arion menyeret kakinya mendekat.
"Pagi, Pak Burhan. Ada... ada slot kosong?
"Pak Burhan menatap Arion dengan pandangan iba yang justru membuat hati Arion semakin sakit. Pria tua itu membolak-balik tablet elektroniknya. "Susah, Nak. Hari ini kebanyakan Guild bawa porter internal mereka sendiri. Atau mereka pakai robot carrier model baru buatan Jepang itu. Kamu tahu kan, lebih efisien, nggak perlu dikasih makan, nggak bakal ngeluh capek."
"Saya lebih murah dari robot, Pak," potong Arion cepat, nadanya sedikit mendesak. "Robot sewanya 5 juta per raid. Saya... saya mau dibayar 1 juta saja. Nggak, 800 ribu juga boleh. Asal dibayar tunai hari ini."Pak Burhan menghela napas, melepas kacamatanya dan memijat pangkal hidungnya. "Arion, kamu kelihatan pucat. Bibirmu biru. Kapan terakhir kamu tidur? Kamu yakin kuat bawa beban 40 kilo?""60 kilo pun saya kuat, Pak," Arion berbohong. Tulang punggungnya terasa nyeri hanya dengan berdiri tegak, tapi ia memaksakan senyum. Senyum yang menyedihkan. "Adik saya... tagihan rumah sakitnya jatuh tempo besok pagi. Kalau saya nggak bayar, mereka akan memindahkan Nami dari ruang isolasi mana ke bangsal umum. Bapak tahu kan apa artinya itu?"Wajah Pak Burhan berubah muram. Dia tahu. Semua orang tahu.Kutukan Abyss. Penyakit yang muncul 20 tahun lalu, menyerang mereka yang memiliki sensitivitas mana tinggi namun tubuh fisiknya lemah. Mana di udara mengkristal di dalam darah, perlahan mengubah organ dalam menjadi batu kristal. Itu adalah kematian yang lambat dan sangat menyakitkan. Pasien harus berada di dalam Mana Isolation Chamber tabung kaca khusus yang menyaring mana dari udara untuk memperlambat proses kristalisasi. Jika dipindahkan ke bangsal umum, di mana udara tercemar mana bebas... Nami akan mati dalam hitungan minggu dalam rasa sakit yang luar biasa.
"Sialan," umpat Pak Burhan pelan, bukan pada Arion, tapi pada nasib. Jarinya mengetuk layar tablet dengan ragu.
"Dengar, ada satu slot. Tapi aku nggak menyarankan kamu ambil ini."
Mata Arion berbinar, mengabaikan peringatan itu. "Di mana, Pak? Tim mana?"
"Tim Investigasi Pemerintah. Divisi 4," jawab Pak Burhan dengan nada berat. "Mereka mau masuk ke Dungeon 'Gua Laba-laba Batu' di Sektor 12. Rank C."
Arion menelan ludah. Divisi 4 Pemerintah terkenal buruk. Mereka bukan Hunter elit. Mereka biasanya terdiri dari birokrat yang kebetulan Awakened, atau Hunter buangan yang bekerja demi pensiun pegawai negeri. Mereka sering ceroboh, pelit, dan menjadikan porter sebagai tameng hidup jika keadaan mendesak.
"Mereka butuh porter tambahan karena porter langganan mereka kabur kemarin," lanjut Pak Burhan.
"Bayarannya tinggi. 3 juta per kepala. Tapi risikonya... yah, kau tahu reputasi Kapten Guntur.
"Tiga juta.Angka itu berdenging di telinga Arion. Tiga juta rupiah. Itu cukup untuk membayar tagihan isolasi Nami selama seminggu penuh, dan masih sisa sedikit untuk membeli makanan kaleng dan mungkin sepotong cokelat yang disukai Nami.
Rasa takut akan kematian seketika terhapus oleh bayangan wajah adiknya yang tersenyum.
"Saya ambil," kata Arion tegas.
"Arion, pikirkan lagi. Laba-laba Batu punya racun neurotoksin. Kalau kau tergores sedikit saja tanpa antidote kelas tinggi..."
"Saya ambil, Pak. Tolong daftarkan saya."Pak Burhan menatap mata pemuda itu. Mata yang cekung, dengan lingkaran hitam tebal di bawahnya, namun memiliki sorot tekad yang menakutkan. Akhirnya, pria tua itu mengalah. Dia menempelkan stempel digital pada data Arion.
"Semoga Tuhan memberkatimu, Nak," bisik Pak Burhan sambil menyerahkan lencana akses sementara.Arion mengambil lencana itu, menggenggamnya erat seolah itu adalah jimat kehidupan. "Tuhan sudah lama meninggalkan kita, Pak. Tapi terima kasih." Arion menjawab dengan nada pasrah
Rumah Sakit Pusat Harapan Hunter, Lantai 4, Bangsal Penyakit Khusus Mana.
Sebelum menuju lokasi pertemuan tim Divisi 4, Arion menyempatkan diri singgah sebentar. Ia tidak boleh masuk ke dalam ruangan biaya sterilisasi baju pengunjung terlalu mahal. Jadi, ia hanya berdiri di balik kaca tebal ruang isolasi nomor 404.
Di dalam sana, di tengah ruangan yang serba putih dan penuh mesin berbunyi bip-bip berirama, terbaring seorang gadis remaja yang terlihat seperti boneka porselen retak.
Nami. Adiknya. Satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah orang tua mereka tewas dalam Dungeon Break di Surabaya sepuluh tahun lalu.Tubuh Nami kurus kering, terhubung dengan berbagai selang transparan yang mengalirkan cairan biru muda—larutan penetral mana. Kulitnya pucat nyaris transparan, memperlihatkan jaringan pembuluh darah di bawahnya yang tidak lagi berwarna merah, melainkan ungu gelap bercahaya. Di leher dan lengan kirinya, bercak-bercak kristal hitam mulai tumbuh seperti jamur parasit, tanda bahwa Kutukan Abyss semakin menyebar.
Arion menempelkan keningnya ke kaca dingin. Ia bisa merasakan getaran mesin penyaring udara dari balik dinding.
"Maafkan Kakak, Nami," bisiknya, suaranya parau. "Kakak belum bisa membelikanmu Elixir itu. Kakak belum bisa membawamu melihat laut seperti janjiku."
Elixir of Life. Obat legendaris yang dibuat oleh ras High Elf di dimensi lain. Konon, satu tetes saja bisa menyembuhkan segala penyakit, meregenerasi anggota tubuh yang hilang, bahkan memperpanjang umur hingga ratusan tahun. Itu satu-satunya obat yang bisa menghilangkan Kutukan Abyss secara total.
Harganya?
Dua puluh miliar rupiah di pelelangan pasar gelap terakhir.Jumlah uang yang tidak akan pernah bisa dikumpulkan oleh seorang Porter Rank F seumur hidupnya, bahkan jika dia bekerja tanpa tidur selama seribu tahun.
Di dalam ruangan, Nami bergerak sedikit. Matanya yang sayu terbuka perlahan. Dia menoleh ke arah jendela kaca, seolah merasakan kehadiran kakaknya. Meski terhalang masker oksigen, Arion bisa melihat sudut mata adiknya melengkung membentuk senyuman lemah. Tangan kurusnya terangkat sedikit, melambai pelan. Hati Arion remuk redam melihatnya. Nami tidak pernah mengeluh. Tidak pernah menangis meski rasa sakit akibat kristalisasi organ dalam itu dikatakan setara dengan ditusuk ribuan jarum kaca setiap detik.
"Jangan khawatir, Kak," Arion membayangkan suara adiknya.
"Aku kuat." Arion memaksakan senyum terbaiknya, mengangkat jempolnya tinggi-tinggi.
Ia menyentuh saku celananya, memastikan jatah makan siangnya sebuah apel merah yang ia curi dari pohon tetangga pagi tadi masih ada di sana. Ia meletakkannya di kotak deposit barang untuk perawat nanti.
"Tunggu aku pulang, Nami. Hari ini Kakak dapat pekerjaan bagus. Kita akan bayar tagihan itu. Kita akan makan enak malam ini.
"Ia berbalik dengan cepat, tidak ingin Nami melihat air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Langkah kakinya berat saat meninggalkan lorong rumah sakit yang berbau antiseptik dan kematian itu.Tekadnya sudah bulat. Ia akan masuk ke Dungeon itu. Ia akan mengangkat beban seberat apapun, menahan hinaan sekejam apapun, bahkan merangkak di dalam lumpur dan kotoran monster. Asalkan ia bisa membawa pulang uang itu. Asalkan Nami bisa bertahan satu hari lagi.
Lokasi Pertemuan: Gerbang Selatan Sektor 12. Pukul 09.00 WIB.
Suasana di depan Dungeon 'Gua Laba-laba Batu' jauh lebih tegang daripada di pusat kota. Area ini dikelilingi pagar kawat berduri setinggi lima meter, dijaga oleh militer bersenjata senapan sihir.Tim Divisi 4 sudah berkumpul. Ada tujuh orang Hunter. Dan seperti dugaan Pak Burhan, mereka terlihat... tidak meyakinkan.
Pemimpin mereka, Kapten Guntur, adalah pria gemuk dengan armor yang terlihat terlalu sempit untuk perutnya. Dia adalah Hunter Rank C tipe Tanker, tapi perisainya terlihat kusam dan jarang dirawat. Sisanya adalah campuran Hunter Rank C bawah dan Rank D. Mereka merokok, tertawa keras, dan memamerkan senjata mereka seolah sedang piknik, bukan akan memasuki sarang monster.
"Ah, ini dia kuli kita!" seru Kapten Guntur saat melihat Arion mendekat. "Siapa namamu tadi? Onion? Orion?"
"Arion, Pak," jawab Arion sambil membungkuk sopan. Ia segera menyadari tatapan meremehkan dari anggota tim lainnya.
"Oke, Arion. Dengar baik-baik," Guntur menepuk tumpukan kotak logistik logam yang menggunung di tanah. Ada tiga kotak besar, masing-masing setinggi pinggang orang dewasa.
"Tugasmu simpel. Bawa ini semua. Jangan sampai tertinggal. Jangan sampai rusak. Dan yang paling penting, kalau ada monster yang lolos dari kami..."Guntur menyeringai, memperlihatkan gigi kuningnya. "Lari. Atau mati. Kami nggak dibayar buat nyelamatin porter. Paham?"
"Paham, Pak," jawab Arion datar. Ini adalah klausul standar. Klausul tak tertulis yang diketahui semua porter: Nyawamu tidak termasuk dalam asuransi misi.
Arion mulai mengikat kotak-kotak itu menjadi satu menara yang menjulang di punggungnya. Beratnya luar biasa. Kakinya langsung amblas beberapa sentimeter ke dalam tanah lunak saat ia mencoba berdiri. Urat-urat di lehernya menonjol, keringat dingin langsung membasahi punggungnya meski udara dingin. Total beban ini pasti hampir 80 kilogram.
"Hahaha! Lihat kakinya gemetar!" seorang Hunter wanita tipe Mage tertawa cekikikan sambil membenahi tongkat sihirnya.
"Yakin dia nggak bakal pingsan di tengah jalan, Kapten?"
"Biarin aja. Kalau dia mati, kita tinggal ambil barangnya dan tinggalkan mayatnya. Hemat biaya kremasi," sahut Hunter lain yang memegang tombak.
Mereka tertawa lagi. Tawa yang kejam dan tanpa empati.Arion tidak mendengarkan. Ia memusatkan seluruh fokusnya untuk menjaga keseimbangan. Satu langkah. Satu langkah lagi. Demi Nami."Baiklah, cukup main-mainnya!" teriak Guntur. "Waktu adalah uang. Buka gerbangnya!"Petugas gerbang memutar tuas. Energi biru berputar semakin kencang, menciptakan lubang hitam di tengah udara yang menyedot cahaya di sekitarnya. Suara gemuruh rendah terdengar dari dalam, seperti suara perut bumi yang lapar.
"Masuk!" perintah Guntur.
Satu per satu Hunter melangkah masuk ke dalam pusaran cahaya itu, menghilang ditelan dimensi lain. Arion menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara dunia manusia untuk terakhir kalinya hari ini. Aroma hujan, aspal, dan knalpot kendaraan. Ia akan merindukan bau ini jika ia mati di dalam sana.Dengan langkah berat dan tertatih, Arion melangkah maju. Cahaya biru menyelimuti pandangannya, sensasi mual akibat perpindahan dimensi memutar isi perutnya.Ia telah masuk.
Di dalam sana, tidak ada hukum manusia. Di dalam sana, di kegelapan gua yang lembap itu, takdir sedang menunggunya. Bukan takdir sebagai porter yang akan mati konyol, melainkan awal dari sebuah legenda yang akan mengguncang tiga dunia.
Namun saat ini, Arion belum mengetahuinya. Yang ia tahu hanyalah rasa sakit di pundaknya dan harapan agar ia bisa pulang hidup-hidup dengan uang tiga juta rupiah di tangannya.Cincin dewa perang yang tersembunyi jauh di dalam Double Dungeon itu mulai bergetar pelan, merasakan kehadiran jiwa yang putus asa namun memiliki api kecil yang menolak untuk padam.Langkah pertama menuju neraka telah diambil.
[Akhir Bab 1]Statistik Arion Saat Ini:
Rank: F
Strength: 8 (Rata-rata pria dewasa: 10)
Agility: 9
Stamina: 7
Mana: 15
Skill: -
Equipment: Jaket Bekas, Tas Porter Modifikasi, Pisau Lipat Berkarat.