

Reihan Takahashi, yang akrab dipanggil Rei adalah seorang remaja laki-laki yang baru saja menduduki bangku kelas 10 SMA.
Di usianya yang masih belia, Rei sudah menunjukkan perbedaan yang mencolok dari mayoritas teman-teman sebayanya.
Kebanyakan remaja laki-laki di sekolah mungkin akan sibuk memilih ekstrakurikuler populer seperti bola voli, bola basket, atau kegiatan yang menuntut kerja sama tim dan interaksi sosial yang intens.
Namun, Rei justru memilih jalur yang sunyi dan personal. Dunianya lebih banyak dihabiskan dalam keheningan, ditemani oleh lembaran-lembaran buku.
Ia adalah seorang penyendiri sejati, yang menemukan kenyamanan dan stimulasi di dalam kata-kata tertulis.
Karena kebiasaannya yang tak terpisahkan dari buku, ia dijuluki sebagai kutu buku tanpa kacamata.
Julukan ini muncul bukan tanpa alasan. Rei memiliki prinsip kuat mengenai kesehatan mata.
Ia selalu menjaga jarak ideal saat membaca, baginya, kesehatan mata adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai.
Rei juga tidak memiliki ketertarikan pada hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan.
Keputusan ini bukan didasari oleh orientasi seksual yang berbeda, melainkan oleh sebuah keyakinan yang matang jika ia lebih memilih untuk fokus kepada dirinya sendiri dan menata kehidupannya dengan lebih baik.
Bagi Rei, menjalin hubungan dengan orang lain, yang secara otomatis menuntut perhatian, empati, dan pengorbanan waktu, hanyalah akan menjadi distraksi dari upaya utamanya untuk mengukir masa depan.
Mengapa harus mencurahkan energi dan kepedulian pada orang lain jika fondasi kehidupannya sendiri belum tertata kokoh?.
Di tengah lingkungannya yang ramai dan dinamis, Rei hanya memiliki satu orang teman yang sangat berarti, namanya Aiko.
Secara fisik, Aiko terlihat berlawanan total dengan citra remaja energik. Ia tampak gempal dan sering menunjukkan kemalasan dalam banyak hal.
Namun, bagi Rei, penampilan dan kebiasaan Aiko yang malas tidaklah penting. Yang terpenting adalah esensi dari pertemanan mereka.
Hubungan antara Rei dan Aiko adalah sebuah anomali di antara pertemanan remaja SMA pada umumnya.
Mereka berdua adalah pasangan yang sangat kontras, namun saling melengkapi. Rei yang rapi, disiplin, dan terfokus pada hal-hal intelektual, berpasangan dengan Aiko yang santai, berantakan, dan cenderung menghindari pekerjaan.
Interaksi mereka seringkali diwarnai oleh humor yang datang secara tidak sengaja dan kepedulian yang sudah jadi rutinitas bagi keduanya.
Di pagi hari, interaksi mereka biasanya dimulai di depan gerbang sekolah. Aiko, yang selalu datang nyaris terlambat, akan melihat sosok Rei yang sudah berdiri tegak, memegang buku, dan menunggu dengan sabar.
"Reeei! Aku datang!" seru Aiko dengan nafas terengah-engah, sambil menepuk punggung Rei dengan pelan, yang segera dihindari oleh Rei.
Rei menatap Aiko dengan raut wajah yang datar, "Aku selalu datang tepat waktu, Aiko. Kenapa kamu selalu terlambat? Ini sudah bulan kedua kita SMA."
Aiko hanya nyengir lebar, "Namanya juga hidup, Rei. Harus dinikmati dengan santai. Lagian, kalau aku datang pagi-pagi, kamu gak akan pernah menghirup udara segar pagi hari di sini. Secara gak langsung aku sudah membuat tubuhmu menjadi lebih bugar dan sehat”
Di situlah letak keunikan Aiko. Ia selalu memiliki cara untuk membalikkan kelemahan dirinya menjadi alasan untuk peduli pada Rei. Sementara Rei hanya berdehem karena berdebat dengan Aiko menurutnya seperti berdebat dengan sebuah batu.
Saat makan siang, Rei biasanya membawa bekal makanan sehat dan duduk di sudut kantin yang paling sepi, jauh dari keramaian dan tawa riuh siswa lain.
Sedangkan Aiko, ia lebih suka membeli makanan siap saji yang tidak sehat, seperti saat ini, ia membawa dua porsi besar, dan duduk di kursi depan Rei.
"Aku beli nasi goreng spesial hari ini," kata Aiko sambil menyendokkan nasi ke mulutnya.
"Tapi aku lihat bekal kamu... kayaknya cuma sayur doang. Nih, coba dikit. Biar otak kamu nggak tegang terus karena buku-buku itu." ucap Aiko seraya bersiap untuk menyuapi Rei, namun Rei menghindar dengan menggeleng kepalanya pelan, "Terima kasih, tapi aku harus menjaga pola makan." tolaknya halus.
"Rei, pola makan yang sehat itu juga butuh keseimbangan jiwa," balas Aiko dengan nada sok bijak. "Dan keseimbangan jiwa itu datang dari makanan enak.”
“Enggak, makan saja punyamu. Aku akan makan punyaku sendiri” balas Rei dengan singkat yang membuat Aikoi tertawa sesat.
Pada dasarnya, Aiko adalah jembatan Rei menuju dunia luar. Ketika teman-teman lain melihat Rei sebagai sosok dingin dan antisosial, Aiko dengan sepenuh hati berteman dengan Rei dan selalu memberitahukan informasi-informasi yang penting untuk Rei yang sungkan bertanya.
Ia tidak pernah memaksa Rei untuk berubah atau ikut kegiatan kelompok. Aiko hanya menawarkan kehadiran tanpa menuntut imbalan dari Rei.
___
Meskipun Rei terkenal sebagai sosok yang jarang bersosialisasi dan lebih suka menyendiri, ia secara mengejutkan diangkat menjadi ketua kelas.
Ironisnya, alasan di balik penunjukannya sangat sederhana, dia adalah satu-satunya yang paling rajin di antara teman-teman laki-lakinya.
Ketika teman-teman lain sibuk mencari alasan untuk menghindari tugas-tugas sekolah dan perintah dari guru, Rei selalu hadir dan siap menghadapi semuanya.
Rei adalah satu-satunya murid yang paling menurut untuk disuruh-suruh guru melakukan sesuatu.
Meskipun ia masih tergolong murid baru, baru dua bulan di kelas 10. Rei sudah sering menjadi "utusan" guru.
Statusnya sebagai ketua kelas menjadikannya target utama untuk segala macam tugas yang membutuhkan ketelitian dan tanggung jawab.
Seperti hari ini, Rei sekali lagi menjalankan perannya sebagai ketua kelas merangkap asisten guru tak resmi.
Ia terlihat berjalan di koridor sekolah dengan beban di kedua tangannya, tumpukan buku yang tebal dan menjulang tinggi, yang harus ia bawa dari ruang kelas ke kantor guru.
Gerakannya terlihat hati-hati, menjaga keseimbangan tumpukan buku itu.
Hingga akhirnya tiba di dalam kantor guru. Ruangan itu terasa sepi dan dingin, hanya terdengar suara ketikan keyboard dari beberapa guru yang sedang sibuk.
Ia segera mencari meja guru yang diperintahkan oleh guru yang saat ini mengajar di kelasnya untuk menaruh di sana.
Setelah menemukan meja yang dimaksud, Rei berjalan lurus dan perlahan-lahan menaruh tumpukan buku tersebut dengan sangat hati-hati di salah satu sudut meja kerja guru.
Ia memastikan tumpukan itu diletakkan dengan rapi dan tidak akan jatuh.
Setelah tugasnya selesai, Rei seharusnya langsung berbalik dan meninggalkan kantor guru.
Namun, matanya secara tidak sengaja tertuju pada sebuah objek di meja samping meja tempat ia meletakkan tumpukan buku tadi.
Terdapat sebuah bingkai foto berukuran sedang. Di dalamnya, terpampang foto seorang perempuan yang memancarkan aura pemikat yang mampu membuat Rei tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Rei yakin betul bahwa foto itu adalah milik guru yang sudah lama mengambil cuti, guru yang kabarnya harus absen karena alasan pribadi.
“Jadi…Itu gurunya? Kenapa dia bisa secantik itu,” ucap Rei tanpa sadar.
Wajahnya yang biasanya datar dan tanpa ekspresi kini menunjukkan sedikit rona merah.
Rei, sang kutu buku yang tak tertarik pada asmara, baru saja dibuat terpana oleh sesosok perempuan yang bahkan belum pernah ia temui secara langsung.