Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pandora Boss, Mr. Arthur

Pandora Boss, Mr. Arthur

Shofi Nur Hidayah | Bersambung
Jumlah kata
97.6K
Popular
167
Subscribe
53
Novel / Pandora Boss, Mr. Arthur
Pandora Boss, Mr. Arthur

Pandora Boss, Mr. Arthur

Shofi Nur Hidayah| Bersambung
Jumlah Kata
97.6K
Popular
167
Subscribe
53
Sinopsis
18+PerkotaanAksiMafiaPria DominanKriminal
Arthur Moran Volkov, bos mafia Rusia yang namanya membuat dunia bawah tanah gemetar, menyimpan tujuan yang tak pernah ia lepaskan: menyingkirkan semua pengkhianat yang berani bermain di wilayah kekuasaannya dan memperluas imperium Volkov hingga tak tersentuh siapapun. Demi mempertahankan tahtanya, Arthur rela menumpahkan darah, menghancurkan lawan, bahkan mengorbankan orang-orang terdekatnya. Baginya, kelemahan adalah dosa, dan kasih sayang hanya akan menjadi racun. Namun segalanya mulai berubah ketika seorang pelayan baru bernama Arabella masuk ke mansion Volkov. Ia hanyalah bayangan kecil dalam dunia Arthur, tetapi langkah diamnya perlahan mengusik sang penguasa. Arabella, dengan rahasia yang tak terduga, justru menjadi bagian dari perjalanan Arthur untuk semakin kejam, semakin dingin, dan semakin berbahaya. Arthur Volkov bukan pria yang belajar mencintai, ia adalah pria yang belajar bagaimana tetap menjadi raja dalam dunia yang selalu ingin menjatuhkannya.
Bab 1 Sang Volkov

Moskow, tengah malam

Salju menutupi jalanan, udara menusuk tulang. Di sebuah gudang tua yang dipenuhi bau besi karat dan darah, puluhan pria bersenjata berdiri kaku, menunggu satu nama besar memasuki ruangan: Arthur Moran Volkov.

Pintu besi berderit keras ketika ia melangkah masuk. Mantel hitam panjangnya berayun, langkahnya tenang, tatapannya tajam. Tak ada suara selain hentakan sepatunya yang bergema. Para pria itu menunduk, sebagian bergetar, sebagian menahan napas.

Arthur menghentikan langkahnya di depan seorang pria berlutut, tangan terikat, wajahnya babak belur.

“Kau mencuri dari Volkov,” katanya dingin, aksen Rusia kental mewarnai suaranya. “Itu bukan sekadar pengkhianatan. Itu… bunuh diri.”

Pria itu memohon, suaranya parau. “Tuan Volkov, saya hanya—”

Arthur mengangkat tangannya, dan seluruh ruangan mendadak hening. Tatapan matanya menusuk, senyum tipis muncul di bibirnya, senyum tanpa kehangatan. Ia mengambil pistol perak dari meja, menodongkannya ke kepala pria itu.

“Dalam hidup ini, ada dua hal yang tak pernah bisa kau khianati,” ujarnya pelan, hampir berbisik, namun jelas terdengar oleh semua orang. “Keluarga… dan Volkov.”

Suara tembakan meledak, singkat dan mematikan. Tubuh pria itu ambruk, darah mengalir ke lantai dingin. Tak ada seorang pun berani bersuara.

Arthur menyerahkan pistol itu kepada tangan kanannya, Ivan Sandreas, lalu meraih gelas vodka di meja. Ia meneguknya perlahan, seolah baru saja menyelesaikan urusan sepele.

“Bersihkan tempat ini. Kirim pesan ke seluruh Moskow: tak ada ruang bagi pengkhianat.”

Ivan mengangguk. “Baik, Tuan Arthur.”

Arthur berjalan keluar dari gudang, salju kembali menyambutnya. Matanya menatap ke langit kelam yang dipenuhi butiran putih. Ia tahu, perang lebih besar menunggu. Musuh-musuhnya mengintai di setiap bayangan, mencoba menjatuhkan Volkov.

Sedan hitam ramping sudah menunggu ketika Arthur berjalan keluar dari Gudang. Pria dengan tato ular dilengannya itu melangkah dengan cepat. Mobil melaju sedang dijalanan Moskow yang mulai terutup salju.

“Bagaimana misi di Istanbul?” tanya Arthur pada Ivan yang memang satu mobil dengannya. Suaranya tenang, dan jernih meski menyimpan bobot keseriusan yang nyata dan tegas.

Ivan yang duduk disamping kemudi menoleh ke belakang. “Ada kendala, Arthur.” Pria yang lebihh tua dua puluh tahun dari Arthur itu bicara dengan tenang.

Arthur menaikkan sebelah alisnya, mencoba menelisik. “Jelaskan!” perintahnya singkat.

“Ada pengkhianat yang membocorkan jalur perdagangan senjata kita, berusaha mengambil alih dominasi Volkov di pasar Timur Tengah.” Ivan mejelaskan dengan rinci.

Tatapan Arthur menggelap saat mendengarnya, jari-jarinya mengetuk pelan jok mobil yang dia duduki.

“Senjata ini seharusnya didistribusikan ke Timur Tengah dan Afrika Utara melalui jalur Mesir.” Ivan menjelaskan lebih lanjut. “Terlambat satu hari saja kita bisa kehilangan pengaruh dalam mencengkeram kelompok lain, kekuatan dan kekuasaan Volkov akan dipertanyakan dalam semalam.”

Arthur mengangguk pelan, kepalanya sudah penuh dengan rencana terorganisir. Menyadari betapa krusialnya jalur Istanbul bagi bisnis Volkov.

“Kehilangan jalur di Istanbul sama saja dengan kehilangan milyaran dolar dan merusak reputasi Volkov dimata dunia bawah,” gumam Arthur, terdengar dingin dan mengandung kemarahan yang tertahan.

Ivan mengangguk, membenarkan. “Benar, barang yang kita kirim baru saja meninggalkan laut hitam dan tiba di Istanbul siang ini. Seharusnya barang kita sudah mulai bergerak malam ini. Namun kita tertahan karena ada seseorang yang membocorkan jadwal pengiriman.”

“Hanya ada satu orang yang bertugas mengatur jadwal pengiriman AK-47 dan senapan sniper Dragunov ke Timur Tengah.” Arthur menghela nafas berat, mengingat detail informasi yang ada dikepalanya.

Rahangnya mengeras, menyadari adanya pengkhianat berada di Volkov. “Percepat mobilnya, malam ini juga kita terbang ke Istanbul.”

Perintah Arthur mutlak, tidak menyisakan sedikitpun ruang berargumen. Supir langsung menginjak pedal gas, membawa mereka dalam kecepatan yang tidak wajar. Sementara Ivan mengangguk patuh, meski ada banyak pertanyaan yang akan dia utarakan.

Dua puluh menit kemudian, di mansion Volkov. Setelah mobil terparkir, Arthur langsung turun dan melangkah cepat menuju mansionnya yang merupakan jantung kekuasaan Volkov.

“Siapkan jet pribadi dalam setengah jam, tidak perlu bawa anggota lain.” Arthur memerintah dengan cepat tanpa menoleh pada Ivan yang berjalan mengikutinya.

“Baik, Tuan.” Ivan mengangguk khidmad. Mempertahankan posisinya seebagai tanda hormat kepada Arthur yang bergegas untuk perjalanan. Setelah melihat Arthur berjalan cepat menuju lantai dua, barulah Ivan berbalik untuk melakukan tugasnya.

Setengah jam kemudian, Arthur sudah melangkah cepat. Turun dari lantai dua setelah menelipkan beberapa senjata dibalik pakaiannya. Ketika pria itu melangkah mantel hitam panjangnya berkibar mengikuti irama langkah. Suara ketukan sepatunya bergema di marmer putih, menandai ketegasan yang tak bisa dihalangi siapa pun. Ivan, tangan kanannya, sudah menunggu di pintu utama dengan ekspresi serius.

“Jet pribadi sudah siap. Nak,” kata Ivan, menundukkan kepala.

Arthur tidak menjawab, hanya mengangguk ketika panggilan akrab itu disebut oleh pira yang jadi tangan kanan serta mentornya. Sebaliknya, Arthur sibuk menyelipkan sebatang rokok di bibirnya, menyalakannya dengan satu gerakan tenang. Tatapannya lurus, tanpa ragu sedikit pun.

Saat itu juga, pandangannya sempat berhenti. Ada sosok asing berdiri agak jauh, di sisi aula. Seorang gadis muda dengan seragam pelayan sederhana, wajahnya menunduk, tubuhnya kaku seakan sadar sedang diawasi. Rambut cokelat gelapnya tersapu cahaya lampu, dan mata cokelatnya sekilas bertemu dengan tatapan dingin Arthur.

Arthur berhenti sepersekian detik. Mata kelamnya menelusuri gadis itu, tidak dengan penasaran, tapi dengan insting seorang predator yang selalu mengenali wajah baru di teritorinya.

“Siapa dia?” tanya Arthur dengan suaranya yang rendah, hampir seperti gumaman.

Ivan segera menoleh, memberi penjelasan singkat.

“Pelayan baru namanya Arabella. Sudah seminggu bekerja di mansion, dia tenang, dan latar belakangnya bersih.”

Arthur mengisap rokoknya, lalu membuang abu dengan gerakan malas bahkan sebelum asap tembakau menghilang disekelilingnya. Ia tidak mengatakan apa pun lagi, hanya memberi lirikan terakhir pada gadis itu. Arabella menunduk makin dalam, seolah ingin menghilang dari pandangan.

“Tidak penting,” balas Arthur akhirnya menutup percakapan itu, suaranya dingin, datar. “Fokus kita malam ini hanya Istanbul.”

Tanpa menunggu jawaban, ia kembali melangkah. Pintu besar dibuka, udara dingin menerpa wajahnya. Salju terus jatuh, menutupi halaman batu dan sebuah jet pribadi telah menunggunya di depan.

Arthur masuk ke dalam jet, meninggalkan Arabella yang masih berdiri di aula, jantung gadis itu berdegup tanpa alasan yang jelas.

Jet pribadi Volkov sudah menyala di landasan, lampu sorot menusuk langit malam. Dalam sekejap, Arthur duduk di kursi kulit hitamnya, menyalakan tablet yang berisi rute pengiriman senjata. Tatapannya tajam, penuh konsentrasi.

Bagi Arthur Moran Volkov, malam ini hanya ada dua hal: Istanbul, dan darah yang harus dibayar demi mengamankan jalur emas dalam bisnis Volkov.

Lanjut membaca
Lanjut membaca