

Angin malam menggulung lembut di atas menara Astraell, membawa aroma dingin dari hutan hitam di kejauhan.
Di atas balkon tertinggi istana, Kael berdiri sendirian, memandang dunia yang besok akan menjadi miliknya. Cahaya bulan membelah wajahnya—wajah seorang pangeran berusia 700 tahun. Namun 700 tahun di sana setara dengan usia 23 tahun di dunia manusia. Usia yang terlalu muda untuk perang, namun terlalu kuat untuk ditaklukkan siapa pun.
Jubahnya berkibar. Pedang peraknya tergantung di pinggang, menandai statusnya sebagai pewaris kerajaan. Tubuhnya diselimuti cahaya biru yang berdenyut seperti makhluk hidup—cahaya yang mampu menelan jiwa siapa pun yang terlalu dekat. Saat ia membuka mata, kilatan biru itu menjalar di kulitnya seperti retakan petir kuno, mengisyaratkan kekuatan yang bahkan para dewa pun takut bangkitkan kembali.
Di bawahnya, kota menyala oleh obor-obor perayaan. Besok, ia akan dinobatkan sebagai Raja Astraell, pemimpin yang baru—dipuji di seluruh benua.
Kael mengembuskan napas panjang. “Ini akhirnya,” gumamnya. “Takdirku.”
Tapi ia tidak melihat bayangan yang mengintai dari balik pilar belakangnya.
Langkah-langkah berat mendekat. Suara yang sudah ia kenal sejak kecil bergema lembut, hampir seperti tepukan tangan seorang ayah.
“Kael.”
Pangeran itu berbalik, tersenyum kecil. “Paman Varrock.”
Lord Varrock, penasihat kerajaan, berdiri dengan jubah merah gelap dan tongkat batu hitam di tangannya. Ia selalu menjadi sosok yang kokoh, tenang, dan bijaksana. Setidaknya begitu yang Kael percaya selama ini.
“Upacara hampir dimulai,” kata Varrock, suaranya bagaikan serak dari usia, namun masih berwibawa. “Ada sesuatu yang harus kau lihat, sebelum dunia melihatmu sebagai raja.”
Kael mengangkat alis. “Apa?”
Varrock hanya tersenyum tipis. “Warisan.”
Kael mengikuti pamannya menuruni tangga batu menuju ruang ritual kuno di bawah menara. Ia tidak curiga. Varrock adalah orang yang paling ia percaya setelah ayahnya.
Pintu besar dari baja hitam terbuka, dan Kael merasakan hawa dingin menelan kulitnya.
Api hitam menyala di sekitar lingkaran batu.
Lantai dipenuhi simbol kuno yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Dan di tengah ruangan… altar.
Kael berhenti.
“Paman… apa ini?”
Varrock memutar tongkatnya, dan udara langsung bergetar oleh sihir kuno. “Ini adalah takdirmu yang sebenarnya.”
Kael sempat hendak meraih pedangnya, namun cahaya merah meledak dari tongkat Varrock. Tubuhnya terpaku di tempat, jantungnya meronta.
“Paman!” Kael berteriak.
Varrock menatapnya dengan mata yang bukan lagi milik manusia—mata hitam pekat tanpa pupil. “Kael Astraell. Kau terlalu kuat. Terlalu… berbahaya. Denganmu di atas takhta, aku tidak bisa menguasai dunia ini.”
Darah Kael membeku. “Jadi… semua ini? Semua pelatihanmu? Semua nasihatmu? Semua bohong?”
Varrock mendekat, bibirnya melengkung dalam ironi kejam. “Bukan kebohongan. Tapi persiapan.”
Kael merasakan tubuhnya dilempar ke altar. Rantai sihir membelit pergelangan dan kakinya, membakar kulitnya setiap ia bergerak.
Varrock memulai ritual.
Simbol-simbol di lantai menyala merah berdarah. Api hitam membesar. Bayangan-bayangan yang tidak memiliki bentuk berbisik di udara, menyebut nama Kael dengan nada lapar.
Kael menggertakkan gigi. “Kau pikir kau bisa mematahkan aku?”
“Aku tidak ingin mematahkanmu,” jawab Varrock. “Aku ingin menghancurkanmu… lalu memanfaatkan sisanya.”
Ia mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi.
"Dengan darah pewaris Astraell, aku memanggil kutukan para leluhur!”
Cahaya merah meledak di tubuh Kael.
Tulang-tulangnya meregang.
Ototnya bergetar seperti hendak robek.
Kulitnya terkelupas sedikit demi sedikit.
Kael menjerit.
Suara itu bukan jeritan manusia.
“Aku… tidak akan… mati!” Kael menggeram, suara parau dan bergetar.
Varrock tertawa, bagaikan badai.
“Tidak. Kau tidak akan mati. Itulah inti kutukan ini.”
Tubuh Kael mulai berubah.
Jari-jarinya memanjang menjadi cakar.
Kulitnya menebal, berubah hijau gelap.
Sihir hitam merayap masuk ke hatinya, merusak, membunuh, menyiksa—namun tidak menghentikan hidupnya.
Di antara rasa sakit tak terbayangkan, Kael menyadari kebenaran paling mengerikan:
Ia sedang dikutuk menjadi goblin.
Makhluk paling rendah, paling hina, yang bahkan rakyat jelata jijik melihatnya.
Tidak bisa mati.
Tidak bisa kembali menjadi manusia.
Tidak bisa memimpin.
Tidak bisa diakui.
Ia berubah menjadi monster.
Varrock menunduk, berbisik pada telinganya yang kini cacat: “Kau akan hidup selamanya dalam bentuk ini. Kau akan merasakan rasa sakit tak henti selama dunia masih ada. Dan orang-orang akan meludah saat melihatmu.”
Kael—dengan sisa kekuatannya menggigit pergelangan Varrock.
Varrock menjerit. Darahnya menetes di altar.
Sihir liar meledak, mendorong Varrock mundur. Rantai sihir di tubuh Kael retak.
Kael mencoba bangkit, namun tubuh barunya terlalu sakit, terlalu asing, terlalu… rusak.
Varrock mengangkat tongkatnya lagi.
“Tidak masalah. Aku sudah menyiapkan rencana untuk makhluk sepertimu.”
Lingkaran kuno kedua muncul di bawah altar. Angin berputar kencang, membentuk pusaran gelap di lantai.
“Aku mengusirmu, Kael Astraell. Dari dunia ini. Dari takhta ini. Dari takdirmu.”
Kael meraih udara, mencoba memanggil pedangnya, mencoba bangkit, mencoba menyeret tubuh barunya—namun pusaran sihir menelannya.
Di saat terakhir, Varrock menatap Kael dengan kemenangan yang dingin. "Kau bukan lagi pewaris. Kau bukan lagi pangeran. Kau bukan lagi manusia. Kau hanyalah monster abadi tanpa tempat untuk pulang. Dan dunia akan melupakanmu.”
Kael menghilang ke dalam kegelapan.
Dan dunia Astraell kehilangan pewaris sahnya.
Ketika Kael terjatuh, ia tidak merasakan tanah kerajaan. Ia menabrak sesuatu yang keras—lantai batu. Punggungnya pecah, lalu sembuh lagi dalam hitungan detik yang menyakitkan.
Ia berusaha bangkit.
Di sekelilingnya ada bangunan tinggi aneh, cahaya terang, suara keras yang tak ia mengerti. Orang-orang menatapnya—atau lebih tepatnya, melintas tanpa melihatnya sama sekali.
Tidak ada sihir. Tidak ada sihir sama sekali.
Kael mencoba berteriak, namun tubuhnya berubah lagi—seperti ditekan, dipaksa, dipelintir. Wujud goblinnya tersedot, menghilang. Tubuhnya menyusut. Kulitnya menjadi pucat. Cakar hilang. Punggungnya membungkuk.
Dan ketika ia melihat pantulan dirinya di kaca gedung…
Wajah seorang pria lemah menatap balik.
Kurus. Berkacamata. Pucat. Tidak berwibawa.
Cupu.
Monster abadi… dalam tubuh manusia yang bahkan tampaknya bisa diinjak siapa pun.
Kael mengeraskan rahangnya.
"Aku tidak akan mati, pikirnya.
Aku tidak bisa mati."
Dan suatu hari…
Suatu hari ia akan kembali.
Dan Varrock akan menyesal pernah Mengkhianatinya.