

Ponsel Rian bergetar terus-menerus bahkan sebelum azan Subuh selesai berkumandang. Ia baru saja menaruh kunci motor di atas meja makan kontrakan ketika layar menyala, notifikasi beruntun dari grup WhatsApp kantor. Tangannya yang besar dan penuh bekas kapalan meraih ponsel itu, alisnya langsung mengerut.
[Gudang Logistik]
“Truk telat berangkat. Klien ngamuk!”
“Dokumen gak jelas, ada nama RIAN di sini.”
“Lagi-lagi dia bikin repot.”
😂😂
Emoji tawa menyebar lebih cepat daripada klarifikasi. Dalam hitungan detik, foto surat jalan terunggah: kertas separuh basah, stempel buram, dan lingkaran merah tebal tepat di namanya. Rian.
Jantungnya menendang keras. Tenggorokan kering, padahal baru saja meneguk teh hangat buatan Sari. Punggungnya terasa panas, seperti disorot lampu sorotan. Ia tahu, di balik teks dan emoji itu ada mata-mata rekan yang menunggu ia jatuh.
Di kamar, Sari muncul dengan daster biru muda, rambut agak kusut menempel di pipi. Wajahnya masih pucat kantuk, tapi matanya langsung membaca guratan marah di wajah suaminya.
“Kenapa, Mas?” tanyanya pelan.
Rian mengangkat ponsel, layar masih berkilat dengan notifikasi.
Sari menelan ludah, mengalihkan pandangan ke dapur. Ia menyalakan kompor, menuang mie instan ke panci, seakan jawaban ada pada air yang mendidih.
Rian menghampiri, memeluknya dari belakang. Daster tipis itu menyentuh kulit lengannya yang hangat.
Sari terdiam, tubuhnya kaku sepersekian detik sebelum akhirnya melemas dalam pelukan itu. Ia tahu, pelukan suaminya bukan sekadar rindu, tapi sebuah permintaan diam-diam: jangan biarkan aku runtuh.
“Kalau mereka mau main begini lagi…” suara Rian serak, berhenti di tenggorokan. Ia menutupnya dengan satu ciuman singkat di leher Sari, sekilas, seperti kilatan listrik yang membuat istrinya menahan napas.
“Mas, makan dulu,” kata Sari, mencoba terdengar biasa. Tapi matanya saat menoleh—mata yang selalu jujur—kentara sekali menunjukkan kekhawatiran.
***
Di gudang, suasana pagi berubah jadi bisik-bisik. Saat Rian masuk, langkahnya otomatis diperhatikan. Bahunya tegap, kaos polos melekat di tubuhnya yang terlatih bukan karena gym, tapi karena bertahun-tahun angkat muatan.
Ada dua karyawan perempuan yang sempat saling melirik ketika ia melewati lorong; seorang sopir muda mendengus, pura-pura sibuk dengan clipboard.
“Eh, supervisor kita datang,” celetuk seseorang dengan nada lebih tajam dari sekadar sapaan.
Rian menoleh singkat. Tatapannya tenang tapi menusuk; cukup untuk membuat suara itu tercekat. Ia tidak perlu banyak kata—kadang diamnya lebih tajam daripada teriakan. Namun ia tahu, diam juga bisa jadi bumerang: mereka akan mengisinya dengan fitnah.
Seorang staf junior, Fitria, menyodorkan berkas sambil menunduk. “Pak… ini bukti loading kemarin. Sebenarnya bukan Bapak yang tanda tangan.” Suaranya hampir berbisik.
Rian menatapnya, garis rahangnya menegang. “Simpan baik-baik. Jangan hilang.”
Siang hari, rapat darurat digelar. Pak Arman, manajer logistik, berdiri di depan layar proyektor dengan senyum yang lebih mirip smirk. “Berdasarkan dokumen, keterlambatan pengiriman jelas ada di bawah tanggung jawab Pak Rian,” katanya sambil melirik ke arah Rian.
Beberapa kepala mengangguk setengah malas, beberapa pura-pura sibuk menulis. Rian merasakan semua mata menusuknya, bukan karena kesalahannya, tapi karena wibawanya yang selalu membuat iri.
Ia ingin membantah, ingin menumpahkan amarah yang sudah menekan dadanya sejak pagi. Namun, ia teringat tiga kalimat yang pernah dibacanya dari sebuah ebook psikologi di ponselnya:
“Tunda respons. Dokumentasikan. Jaga wibawa.”
Rian merogoh saku, menyalakan ponsel. Jari-jarinya cepat meng-capture layar presentasi, menyimpan bukti. Lalu ia bersandar di kursi, suara rendahnya terucap mantap, “Saya sudah catat. Nanti kita bahas berdasarkan data, bukan dugaan.”
Seketika ruangan hening. Bukan karena semua percaya, tapi karena tak ada yang bisa menyepelekan ketenangannya. Pak Arman memicingkan mata; jelas ia tidak puas karena jebakannya tak meledak di tempat.
***
Malamnya, kontrakan itu kembali sunyi. Anak mereka sudah tidur, tubuh mungilnya bernafas pelan di kamar sebelah. Sari menunggu Rian di meja makan, dua piring nasi dan lauk sederhana sudah dingin.
“Capek?” tanyanya.
Rian duduk, mengusap wajahnya. “Bukan capek. Cuma … mereka main kotor.”
Sari menunduk, lalu beranjak ke belakang kursi suaminya. Tangannya mengusap bahu Rian, jari-jarinya menekan perlahan otot yang tegang. “Aku tahu Mas bisa hadapi. Jangan biarkan mereka lihat Mas marah.”
Rian menoleh, melihat wajah istrinya dari dekat. Garis lehernya samar tertutup daster, bayangan lampu membuatnya terlihat lebih lembut. Ada dorongan untuk sekadar menariknya lebih dekat, menenggelamkan segala amarah di pelukan itu.
Ia menahan diri, hanya mengangkat tangan, menggenggam jemarinya. “Kamu yang bikin aku kuat,” katanya.
Sari tersenyum tipis, menunduk, pipinya merona. Ada kilatan sensual ringan dalam kedekatan itu—bukan karena kata-kata manis, tapi karena rasa saling memiliki yang begitu nyata di antara keterbatasan.
Rian menatap piringnya, lalu mengambil buku catatan kecil dari laci. Ia menulis dengan pulpen murahan:
07.15 – grup WA. Nama ditandai. Screenshot disimpan.
13.00 – rapat. Tuduhan lisan. Foto presentasi disimpan.
Sari memperhatikan tulisan tangan itu. “Mas… ini serius sekali, ya?”
Rian menutup buku, menatap lurus pada istrinya. “Kalau aku diam, mereka akan hancurkan kita. Kalau aku bicara, aku harus hati-hati. Satu langkah salah, kita yang jatuh.”
Di luar, suara motor lewat, samar bersama gonggongan anjing. Kontrakan mereka seakan jadi benteng kecil di tengah malam yang dingin.
Rian meraih tangan Sari lagi. Kali ini genggamannya lebih kuat. “Aku janji, kita gak akan kalah.” Dan di matanya, janji itu bukan sekadar kata. Itu perang.
Sari meletakkan jemari di atas buku catatan yang baru saja ditutup Rian. “Kalau Mas tulis semua, apa mereka peduli?” suaranya lirih, hampir seperti takut terdengar anaknya yang sedang tidur.
“Bukan soal mereka peduli,” jawab Rian, menatapnya lekat, “tapi soal aku bisa buktikan kalau mereka salah. Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau lindungi kita?”
Sari mengangguk pelan. Ia duduk kembali di sampingnya. Lampu neon redup di atas meja makan membuat bayangan wajah mereka jatuh ke dinding sempit kontrakan, seolah memperlihatkan betapa terbatasnya ruang gerak mereka—namun juga betapa rapatnya kedekatan itu.
Rian menyuap nasi, mengunyah pelan, lalu menatap Sari. Garis rambut istrinya jatuh di pipi, ia mengusapnya dengan ibu jari. Sari menutup mata sebentar, menikmati sentuhan singkat itu. Bukan pelukan panjang, bukan rayuan manis, tapi isyarat bahwa dalam badai tuduhan, masih ada ruang untuk kelembutan.
Keesokan paginya, ketika ia menghidupkan motor tua di halaman kontrakan, tetangga sebelah sempat melirik. Bukan sekadar karena suara knalpot, tapi karena kehadirannya memang selalu mengundang perhatian.
Tubuhnya tegap, wajahnya keras tapi bersih; ada aura yang membuat pria-pria lain menelan komentar, sementara seorang ibu muda di seberang jalan berpura-pura menjemur pakaian sambil curi pandang.
Rian merasakan itu, tapi tak pernah menanggapi. Ia tahu, daya tarik bisa jadi sumber gosip baru—dan ia sudah cukup dengan fitnah kantor. Ia hanya menunduk, mengenakan helm, lalu menyalakan motor.
Perjalanan ke gudang melewati pasar pagi. Suara pedagang sayur, aroma gorengan, dan teriakan tukang parkir berbaur dengan desiran angin.
Rian menatap sekilas keramaian itu, membayangkan bagaimana gosip di kantor bisa saja menyebar hingga ke telinga orang-orang di sini. Ia membayangkan Sari harus menahan pandangan tetangga jika benar-benar kabar buruk menimpa dirinya.
Di gudang, ia sengaja datang lebih awal. Ruangan masih setengah kosong, hanya beberapa staf yang menata barang.
Fitria, junior yang kemarin memberinya berkas, berdiri canggung sambil menatap layar ponsel. Begitu melihat Rian, ia menunduk dalam-dalam, pipinya merona.
“Pak … saya sudah print bukti tambahan,” katanya, dengan suara tergesa. Ia menyodorkan map berisi fotokopi dokumen. “Semoga bisa membantu.”
Rian menerimanya, sekilas melihat ke arah Fitria. Ada kerling malu-malu di matanya. Ia paham, bukan sekadar rasa hormat profesional; mungkin ada decak kagum yang lebih pribadi.
Namun Rian hanya mengangguk singkat. “Terima kasih. Simpan juga satu salinan untuk dirimu. Jangan percaya siapa pun.”
Fitria mengangguk cepat, lalu kembali sibuk menata kertas. Dari sudut ruangan, seorang sopir lain memperhatikan, ekspresinya jelas menyiratkan iri.
Rapat kedua berlangsung lebih panas. Pak Arman menekan, “Kalau kita tidak bisa temukan siapa yang salah, klien akan putus kontrak. Dan semua tahu siapa yang bertanggung jawab atas pengiriman ini.” Tatapannya kembali jatuh pada Rian.
Rian mengatur napas. Ia membuka map, menaruh fotokopi dokumen di meja. “Ini bukti kalau saya tidak menandatangani surat jalan itu. Ada perbedaan tanda tangan, dan jamnya tidak sesuai dengan shift saya.”
Suara gumaman terdengar. Beberapa karyawan mulai berbisik. Rian merasakan tatapan campur aduk: ada yang lega, ada yang makin iri, ada juga yang jelas-jelas ingin ia jatuh.
Pak Arman mengetukkan pena ke meja. “Bukti bisa diatur. Kita lihat saja nanti.” Senyumnya tipis, penuh tantangan.
Rian tak menjawab. Ia hanya menekan tombol rekam di ponselnya, meletakkannya di atas meja begitu saja—terlihat jelas, tapi seolah tak disengaja.
Beberapa pasang mata terbelalak; sebagian mengangkat alis. Itu cukup untuk membuat suasana rapat membeku sejenak.
Malam itu, ketika Rian pulang, Sari sudah menunggunya di ruang tamu. Ia mengenakan daster yang sama, tapi rambutnya kali ini diikat rapi. “Aku dengar gosipnya sampai ke tetangga,” katanya pelan.
Rian menghela napas panjang, lalu duduk di sampingnya. “Aku tahu.”
Sari menunduk, kemudian meraih tangan suaminya, meletakkannya di pangkuannya. Jemarinya mengusap bekas luka kecil di pergelangan Rian—luka lama karena mengangkat peti di gudang.
“Aku gak peduli orang bilang apa. Aku cuma peduli Mas pulang dengan kepala tegak.”
Rian menoleh, matanya bertemu mata Sari. Ada kehangatan bercampur ketegangan. Ia menggeser tubuh, mendekat, dan untuk sejenak, hanya suara napas mereka yang terdengar. Ciuman mereka singkat, namun sarat rasa takut sekaligus keberanian. Sebuah janji yang tidak diucapkan: mereka akan melawan bersama.