Rian mengira itu suara guntur. Namun, begitu ia membuka mata, ia sadar kalau ia salah besar.
Serangkaian letusan senjata menggema, asap dan api membumbung ke udara, tanah bergetar seperti dilanda gempa, dan dari kejauhan terdengar raungan pesawat tempur yang menukik tajam...
"Apa yang terjadi?" Refleks pertama Rian adalah berdiri untuk memeriksa keadaan. Namun, sebelum ia sempat bangkit, tubuhnya ditubruk oleh seseorang hingga terjatuh.
"Tiaraaaap!" teriak pria itu. Ia berwajah penuh debu, janggut tak terurus, dengan beberapa bercak darah mengering di pipinya.
"Apa kau gila?" bentak pria berjanggut itu sambil menahan Rian, "Tetap tengkurap kalau nggak mau mati!"
Rian tercengang. Ia ingat terakhir kali dirinya masih berseluncur di puncak Gunung Lawu, lalu entah bagaimana kini ia berada di tengah tempat asing ini.
Ia melirik ke sekeliling. Dalam hati, ia berharap semua ini cuma mimpi buruk. Namun suara peluru melesat, siulan tajam pecahan logam, serta cipratan darah yang beterbangan membuatnya sadar… ini nyata.
"Di mana ini?" seru Rian panik pada pria berjanggut itu. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Perang, Nak!" jawab pria itu cepat. "Musuh sudah datang!"
Perang? Musuh?
Rian menatap pria itu, lalu menunduk melihat dirinya sendiri. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa mereka berdua memakai seragam tentara ala zaman penjajahan dan semua orang di sekelilingnya juga sama.
Tiba-tiba, seseorang melayang di udara… atau lebih tepatnya terhempas. Kaki orang itu sudah hancur, tubuhnya berlumuran darah, dan matanya penuh putus asa. Dengan sisa tenaga, ia meraih ke arah Rian, tapi hanya sempat memuntahkan darah sebelum terkulai.
Tidak… ini bukan hal yang sanggup ia lihat!
Rian tak berani menutup mata, namun juga tak kuasa memandang. Ia hanya meringkuk, berusaha menekan tubuhnya sedalam mungkin ke tanah, mencoba menghilang dari dunia. Suaranya tercekat, mengerang tanpa sadar.
Entah berapa lama, suara ledakan akhirnya reda. Berganti dengan jeritan minta tolong dan rintihan kesakitan di segala arah.
Rian mengira semuanya sudah berakhir. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Tapi ia keliru.
"Musuh datang! Musuh datang!"
Refleks, Rian mengangkat kepala. Benar saja sekumpulan tentara bersenjata laras panjang bergerak dari kejauhan, maju dengan formasi tempur di tengah kabut asap.
Awalnya Rian tak peduli. Namun, ketika pria berjanggut di sampingnya menggenggam senapannya erat-erat, barulah ia sadar ini pertempuran hidup dan mati. Dan ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini.
"Ini bukan pertempuranku!" batin Rian kesal. Ia tak berpihak pada siapa pun, apalagi di tempat dan waktu seperti ini.
Maka ia hanya menunduk, berharap semua cepat berlalu… kalau saja kakinya tak lemas atau ia yakin aman melarikan diri, ia pasti sudah kabur dari parit ini.
Seorang perwira berseragam rapi dengan tanda pangkat di kerahnya berhenti ketika melihat Rian. Ia menatap tajam lalu memerintah tegas, "Angkat senjatamu, prajurit!"
"Dia cuma terluka ringan, Pak! Biar istirahat," sela pria berjanggut itu sambil menyodorkan senapan pada Rian.
Perwira itu tak banyak bicara. Ia mengeluarkan kartu identitas militer dari saku dada Rian, menatap sebentar, lalu mengembalikannya.
"Kalau lain kali kulihat kau diam tanpa senjata, kepalamu akan bolong!" katanya dingin sambil mengangkat pistol.
Rian tercekat. Bukan hanya karena ancaman itu, tetapi karena tatapan sang perwira sama sekali tak menunjukkan emosi—seolah menembak seorang prajurit hanyalah hal biasa.
Saat itulah ia sadar… ini benar-benar dunia yang berbeda.
Sejak saat itu, Rian paham satu hal: ini adalah medan perang, dan ada hukumnya sendiri. Siapa pun yang melanggarnya, nyawanya bisa melayang kapan saja.
Memikirkan itu, ia hanya bisa diam-diam mengangkat senapan di tangannya, membidik ke kejauhan.
Namun pria berjanggut di sebelahnya buru-buru mengingatkan, “Astaga, Rian! Senjatamu belum diisi peluru. Mau mati konyol, hah?”
Rian tersentak. Ya ampun… ia benar-benar lupa. Padahal di masa kini ia penggemar militer dan pernah latihan menembak di lapangan tembak modern. Tapi sekarang ia sadar lapangan tembak dan medan perang nyata adalah dua dunia yang sama sekali berbeda.
Saat ia kembali mengokang senjata, musuh sudah tinggal 500 meter dari posisi mereka.
Tentara Belanda itu tampak terlatih. Mereka bergerak dalam tim-tim kecil saling melindungi, sementara penembak senapan mesin dan mortir menempati ketinggian gedung dan bukit dengan perlindungan infanteri di bawah.
Hal itu membuat Rian tiba-tiba merasa bersalah. Di antara para pejuang yang ada di sini, masih banyak yang baru, bahkan mungkin sama tak berpengalamannya dengan dirinya.
Empat ratus meter.
Seorang komandan berdiri tegak di belakang parit, meniup peluit kecilnya dan berteriak lantang, “Saudara-saudara! Musuh datang menyerbu tanah kita dengan licik. Mereka pikir kita akan mundur. Ingat! Parit ini benteng kalian!”
Namun, belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, beberapa mortir menghantam tepat di dekatnya. Ledakan itu melontarkan sang komandan dan beberapa pejuang lain ke udara, menghantam tanah dengan keras.
Suara teriakannya tadi telah memberi tahu posisi mereka dan tentara Belanda tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memukul mental para pejuang.
Tiga ratus meter.
Langkah kaki musuh terdengar jelas, tapi komandan baru belum juga memberi perintah menembak.
Napas Rian semakin berat. Tangan yang menggenggam senapan sudah basah oleh keringat dingin.
Ia mengerti bahwa sang komandan ingin musuh semakin dekat baru ditembak, supaya tembakan para pejuang tak meleset. Banyak dari mereka memang baru belajar menembak.
Tapi Rian tahu… itu justru berbahaya.
Saat kuliah dulu, ia pernah mempelajari sejarah pertempuran zaman Agresi Militer Belanda, termasuk taktik dan perlengkapan mereka. Ia tahu bahwa tiap regu Belanda membawa mortir jarak sedang, dengan jangkauan efektif hingga 500 meter.
Bagi penembak mortir yang terlatih, jarak 300 meter adalah “pesta tembak”. Mereka bisa dengan mudah mematikan senapan mesin para pejuang sebelum sempat menembak balik. Ledakan yang barusan merenggut nyawa komandan mereka adalah bukti nyata.
Kemungkinan besar, sang komandan baru tidak menyadari hal ini. Ia malah berharap musuh lebih dekat lagi.
Memikirkan itu, Rian tak lagi ragu. Ia mengangkat senapannya, mengarahkan bidikan ke seorang serdadu Belanda yang sedang menyerbu, lalu menarik pelatuk.