Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
DOKTER IBLIS KULTIVASI

DOKTER IBLIS KULTIVASI

Dranyyx | Bersambung
Jumlah kata
43.6K
Popular
100
Subscribe
30
Novel / DOKTER IBLIS KULTIVASI
DOKTER IBLIS KULTIVASI

DOKTER IBLIS KULTIVASI

Dranyyx| Bersambung
Jumlah Kata
43.6K
Popular
100
Subscribe
30
Sinopsis
18+PerkotaanSupernaturalDokter Genius21+Kultivator
Adrian adalah seorang dokter yang mencoba menghidupkan Adiknya dengan kekuatan Cincin Iblis! Ia berhasil Lolos dari percobaan Praktek ilegal yang membuatnya menjadi Supernatural. Di perjalanan ia bertemu para Kultivator, Menjadi lebih kuat untuk menyelamatkan nyawa adiknya.
Bab 1 : Cincin Iblis Warisan

Aku terbangun dengan kepala yang berkabut dan rasa logam di lidah. Cahaya lampu operasi yang terlalu terang menyilaukan mataku. Aku mencoba menggerakkan tangan, tapi tidak bisa. Pergelangan tangan dan pergelangan kakiku terikat erat ke meja operasi yang dingin. Aku mengenali langit-langit itu. Ini adalah ruang operasi di klinik pribadiku sendiri.

"Sudah sadar, Dokter Adrian?"

Suara itu familiar. Mataku berusaha menyesuaikan diri, dan kemudian aku melihatnya. Dr. Rina berdiri di sampingku, mengenakan seragam operasi hijau lengkap dengan masker yang melorot di lehernya. Di sebelahnya, Dr. Hari memandangku dengan ekspresi yang sulit kubaca.

"Apa... apa yang terjadi?" suaraku serak. Lidahku terasa tebal. Efek bius lokal masih kuat. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang lain. Sebuah rasa sakit tumpul di dadaku. Aku menundukkan kepala sebisa mungkin. Dadaku terbuka. Sebuah sayatan rapi, tapi dalam, memamerkan tulang rusukku yang pucat. Darah mengalir deras dari sana, membasahi sprei putih yang berubah menjadi merah kusam.

"Kamu sedang menjadi bagian dari kemajuan ilmu kedokteran, Senior," kata Dr. Hari. Suaranya datar, tapi matanya berkedip-kedip gugup.

"Kalian gila?" Aku menarik napas dalam-dalam, tapi itu hanya membuat sakit di dadaku semakin menjadi. "Lepaskan aku sekarang!"

Dr. Rina menghela napas, seperti seorang guru yang kecewa pada muridnya. "Kami sudah bilang, Adrian. Prosedur transplantasi jantung mini-invasif ini bisa memangkas waktu pemulihan hingga tujuh puluh persen. Tapi kamu tidak mau mendengar. Kamu terlalu kuno."

"Karena itu ilegal, Rina!" teriakku. Suaraku pecah. "Kalian ingin mencobanya pada pasien tanpa anestesi yang memadai? Itu bukan pengobatan, itu penyiksaan!"

"Dan lihatlah di mana idealismu membawamu sekarang," balas Rina dengan dingin. Dia mengambil sebuah alat bedah dari nampan. Aku mengenalinya. Itu adalah pisau bedah listrik. "Kami butuh subjek uji coba. Siapa yang lebih baik dari sang maestro sendiri? Jika berhasil pada dirimu, dengan bius parsial, maka kami bisa membuktikan keampuhannya."

"Ini tidak akan berhasil," desisku, mencoba menahan rasa panik yang mulai menguasai diriku. "Kalian bahkan tidak melakukan pra-prosedur yang benar. Aku bisa mati."

"Risiko yang sudah kami perhitungkan," sahut Hari cepat. Tangannya gemetar saat dia menyiapkan semprit berisi cairan bening. "Kami akan memantau detak jantungmu dengan ketat."

"Lepaskan aku!" Aku mulai menarik-narik ikatan di pergelanganku. Kulitku lecet, tapi tali itu tidak bergeming. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Aku bisa mencium bau disinfektan yang menusuk, bercampur dengan aroma besi darahku sendiri.

Rina tidak menghiraukanku. Dia menyalakan pisau bedah listrik. Bunyi dengungannya yang khas membuat seluruh tubuhku merinding. "Kita lanjutkan. Hari, pantau tekanan darahnya."

"Rina, mungkin kita hentikan dulu," kata Hari, suaranya bergetar. "Dia sudah kehilangan banyak darah. Wajahnya pucat sekali."

"Kita sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang," potong Rina dengan tajam. "Lakukan tugasmu."

Rasa dingin dari pisau logam itu menyentuh jaringan di dalam dadaku. Aku menjerit. Itu bukan lagi rasa sakit tumpul, tapi sebuah sengatan listrik yang tajam dan membakar yang menjalar ke seluruh sarafku. Aku bisa mendengar suara desis dagingku yang terbakar. Aku menggelepar, berusaha melepaskan diri, tapi semua sia-sia.

"Tahan dia!" seru Rina.

Hari menahan bahuku dengan kuat. "Maaf, Senior. Ini untuk kebaikan kita semua. Klinik ini butuh terobosan baru."

"Kalian... membunuhku..." napasku mulai tersengal. Aku merasakan sesuatu yang tidak beres di dalam. Sebuah rasa tertekan yang mengerikan di rongga dadaku. Seolah ada yang pecah. "Darah... di paru-paru..." Aku batuk, dan percikan darah menghiasi bibir dan daguku.

Rina mengutuk. "Aorta terkikis. Cepat, beri hemostatik!"

Tapi sudah terlambat. Aku bisa merasakan hidupku mengalir pergi bersama darah yang membanjiri rongga tubuhku. Penglihatanku mulai kabur. Suara mereka menjadi sayup, seperti dari ujung terowongan yang panjang.

"Aku... tidak percaya... kalian..." itu adalah semua yang bisa kuucapkan. Dunia di sekelilingku memudar menjadi bayangan abu-abu. Detak jantungku di monitor berubah dari bunyi bip teratur menjadi suara panjang yang mendatar.

"Aku bilang kita harus berhenti!" teriak Hari, suaranya penuh kepanikan.

"Diam! Coba lakukan CPR!" perintah Rina, tapi suaranya juga mulai goyah.

Tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan. Aku merasakan diriku tenggelam. Dingin. Sangat dingin. Aku tidak bisa lagi merasakan sakit. Hanya kehampaan yang luas dan gelap. Ini akhir, pikirku. Aku mati dikhianati oleh orang yang paling kupercayai.

Kemudian, sesuatu yang lain.

Sebuah kehangatan.

Bukan kehangatan yang menenangkan, tapi panas yang membara. Itu berasal dari jari manis kiriku. Cincin perak tua peninggalan kakekku terasa seperti besi membara di kulitku. Aku tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa merasakannya. Sebuah cahaya hitam? Itu mustahil, tapi itulah yang kurasakan. Sebuah cahaya yang gelap dan menyerap semua cahaya di sekitarnya, memancar dari cincin itu.

"Jangan biarkan mereka menang."

Suara itu bukan suara Rina atau Hari. Itu suara yang lebih dalam, bergema di dalam kepalaku sendiri. Suara yang asing, tapi sekaligus terasa tua dan familiar, seperti kenangan yang terlupakan.

Panaskan itu menyebar dari cincin, naik ke lenganku, memenuhi dadaku yang terbuka. Rasa dingin yang menghampiri jiwaku terhalau, digantikan oleh panas yang hampir tak tertahankan. Aku melihat, dari balik pandanganku yang kabur, luka di dadaku mulai menutup dengan sendirinya. Jaringannya bergerak, menyambung, seperti time-lapse video tentang penyembuhan. Darah berhenti mengalir.

"Ada apa dengan dia?" teriak Hari, suaranya nyaris menjerit. "Itu... itu tidak mungkin!"

Rina mundur selangkah, mata terbuka lebar penuh kengerian. "Apa yang terjadi?"

Cahaya hitam dari cincinku kini menyebar, membayangi seluruh ruangan. Lampu operasi mulai berkedip-kedip, lalu padam, digantikan oleh cahaya darurat merah yang menciptakan siluet menyeramkan. Bayangan-bayangan di dinding bergerak sendiri, merangkak seperti makhluk hidup.

Kekuatanku kembali. Dengan mudah, aku merenggangkan tali yang mengikat pergelangan tanganku. Kayu pada tempat tidur operasi itu retak dan patah. Aku duduk. Rasa sakit sudah hilang. Yang tersisa adalah sebuah energi baru, asing, dan gelap yang mengalir dalam nadiku.

Kemudian, sebuah wujud muncul dari bayangan di sudut ruangan. Itu bukan bentuk yang jelas, lebih seperti kabut hitam yang pekat yang mengambil siluet manusia. Wajahnya berubah-ubah, tapi untuk sesaat, aku melihat wajah kakekku. Tapi matanya... matanya adalah dua titik merah menyala.

"Adrian Wijaya," suaranya bergema di kepalaku, menghilangkan semua suara lain. "Darah leluhurmu memanggilku. Kamu berada di ambang kematian."

"Kakek?" bisikku, bingung.

"Bukan," jawab suara itu. "Aku adalah yang dipanggil oleh darah dan keputusasaanmu. Kamu memiliki pilihan."

Aku memandang Rina dan Hari yang kini terduduk lemas di lantai, ketakutan, tidak mampu bergerak. Mereka melihatku, lalu melihat bayangan itu, mata mereka hampir melotot keluar.

"Pilihan apa?" tanyaku, suaraku kini kuat dan penuh keyakinan. Energi gelap itu memberiku kekuatan, tapi juga memberiku kemarahan. Kemarahan yang membara terhadap pengkhianatan ini.

"Buatlah kontrak dengan aku," kata suara itu. "Hidupmu akan kembali. Lebih dari itu, aku akan memberimu kekuatan. Kekuatan untuk membalas dendam pada mereka yang mengkhianatimu. Kekuatan untuk tidak pernah menjadi korban lagi."

"Dan apa yang kau minta sebagai gantinya?" tanyaku. Logikaku sebagai dokter memberitahuku bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini.

"Pengorbanan," jawabnya singkat. "Jiwa dan moralmu. Kamu akan menjadi perpanjangan tanganku di dunia ini. Aku akan memberimu apa yang kau inginkan, tapi pada akhirnya, aku akan mengambil apa yang kau miliki."

Aku melihat Rina dan Hari. Wajah Rina yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi ketakutan murni. Hari menggigil, air mata mengalir di pipinya. Mereka berdua pantas menerima balasan atas apa yang mereka lakukan.

Tapi, kontrak dengan iblis? Itu adalah jalan kegelapan. Tapi, apa pilihanku? Mati di sini, sebagai orang bodoh yang dikhianati, membiarkan mereka yang jahat berkuasa? Atau hidup, dengan kekuatan untuk membalas dan memastikan keadilan ditegakkan, meski harganya adalah jiwaku sendiri?

Bayangan itu mendekat, seolah bisa membaca pikiranku. "Pilih, Adrian. Hidup dengan kekuatan dan tujuan, atau mati dalam pengkhianatan dan dilupakan."

Aku menarik napas dalam-dalam. Udara terasa berbeda sekarang, penuh dengan energi listrik gelap. Aku memandangi kedua mantan anak buahku itu sekali lagi. Kemudian, aku menatap bayangan itu.

"Ya," kataku, suaraku tegas dan jelas, menggema di ruangan sunyi itu. "Aku terima."

Seketika, bayangan itu menyembur ke arahku, memasuki tubuhku melalui dadaku yang baru saja sembuh. Rasanya seperti disetrum oleh satu juta volt, tapi juga seperti pulang ke rumah setelah perjalanan panjang. Aku mendongak, dan sebuah teriakan yang bukan sepenuhnya suaraku sendiri keluar dari mulutku.

Ruangan itu dipenuhi oleh cahaya hitam yang final, dan yang terakhir kudengar sebelum segalanya menjadi gelap adalah jeritan ketakutan Rina dan Hari.

Lanjut membaca
Lanjut membaca