

Hari itu, langit di Pasuruan tampak mendung sejak pagi. Arsa berdiri canggung di depan gerbang SMA Baruna, sambil memperbaiki seragam putih abu-abu yang masih terlihat kaku. Ini adalah hari pertamanya di sekolah baru—dia pindah dari Surabaya karena ayahnya mendapatkan penugasan baru.
Ia melangkah perlahan melintasi halaman sekolah yang sudah dipenuhi siswa. Suara tawa dari teman-teman barunya terdengar ramai, tetapi justru membuat Arsa merasa gelisah. Matanya aktif mencari tanda XII IPA 2 di barisan pintu kelas di lantai dua.
Akhirnya, ia berhenti di depan sebuah pintu kayu yang agak terkelupas. Ia menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk mengetuk. Namun sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, pintu itu terbuka lebih dahulu.
Seorang gadis berdiri di sana. Rambutnya panjang terikat kuda, kulitnya kuning langsat, dan senyumnya… hangat.
“Kamu murid baru, ya? ” tanyanya dengan santai, nada sedikit terkejut tetapi ramah.
“Iya… Arsa,” jawab Arsa pelan. Ia merasa jantungnya berdebar lebih kencang.
“Naya,” katanya sambil mengulurkan tangan, meski kemudian cepat ditarik lagi sambil tertawa kecil. “Silakan masuk, duduk di belakang. Kebetulan ada bangku kosong. ”
“Oh, terima kasih,” balas Arsa, melangkah masuk.
Suasana di dalam kelas cukup ramai, ada yang berbincang, ada yang bermain ponsel, dan ada juga yang memandang Arsa dengan rasa penasaran. Ia memilih duduk di bangku paling belakang, menaruh tas ransel hitamnya di samping meja, lalu menghela napas panjang.
Selama pelajaran pertama, ia lebih banyak menundukkan kepala. Sesekali, matanya tertuju pada punggung Naya yang duduk dua baris di depannya. Ada sesuatu dari senyumnya yang membuat Arsa merasa… sedikit lebih tenang.
Bel istirahat berbunyi. Arsa masih merapikan bukunya ketika Naya mendekat.
“Mau ke kantin? Ayo bareng,” ajak Naya dengan senyuman.
Arsa merasa terkejut sejenak, tetapi kemudian mengangguk. “Boleh. ”
Mereka berjalan beriringan di lorong sekolah. Aroma gorengan dari kantin tercium sampai ke sini. Naya mulai menceritakan tentang guru yang ketat, tempat duduk yang strategis di kelas, dan tentang ayam goreng di kantin yang katanya selalu cepat habis.
Arsa hanya tersenyum-senyum sambil berusaha menahan tawa. Biasanya ia sulit untuk akrab dengan orang baru, tetapi Naya tampaknya memiliki cara sendiri untuk membuat suasana menjadi lebih santai.
Setelah sekolah selesai, langit semakin gelap. Hujan gerimis berubah menjadi sangat deras. Arsa berdiri di teras sekolah, memegang gagang sepedanya. Jalanan mulai tergenang air, dan banyak siswa lain sudah dijemput.
“Arsa! ” panggil Naya sambil setengah berlari mendekat, rambutnya terlihat sedikit basah. “Kamu pulang naik apa? ”
“Sepeda…” jawab Arsa sambil menunjuk sepedanya.
Naya melihat ke arah hujan yang lebat. “Wah, sepertinya ini bakal lama… Mau nunggu bersama di kantin? ”
Arsa ragu sejenak, lalu mengangguk. “Boleh. ”
Mereka duduk di sudut kantin yang hampir kosong. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi teh hangat dari gelas plastik di tangan mereka.
Untuk pertama kalinya, Arsa berani bertanya, “Kamu memang selalu seceria ini, ya? ”
Naya tertawa kecil. “Tidak juga… Tapi aku tidak suka jika hari pertama terasa tegang. ”
Arsa ikut tertawa meski pelan. Entah mengapa, ia merasa lega. Mungkin hujan ini bukan hanya tentang langit yang basah—tetapi juga tentang bagaimana pertemuan pertama mereka dimulai.
Dan di tengah suara hujan, tawa, serta kehangatan yang singkat, Arsa merasa: pindah sekolah ini… mungkin bukan hal terburuk dalam hidupnya. Karena tanpa ia sadari, hari ini adalah titik temu pertama mereka.
Hujan di luar masih sangat deras, suara detak airnya menjadi latar belakang bagi percakapan mereka. Arsa memperhatikan air yang mengalir di kaca jendela kantin, sambil secara diam-diam menatap Naya yang duduk di depannya.
Naya membuka botol air mineral, meminum sedikit, lalu bersandar sambil menghela nafas. “Kamu pindah dari mana tadi, Arsa? ” tanyanya.
“Dari Surabaya,” jawab Arsa, tangannya meremas bungkus roti yang belum sempat disantap. “Ayahku dipindah tugaskan ke sini, jadi aku ikut. ”
Naya mengangguk. “Pasti terasa aneh, ya? Harus pindah di kelas dua belas. ”
“Lumayan sih,” Arsa tersenyum kecil. “Aku sudah nyaman dengan teman-teman lamaku. Sekarang tiba-tiba harus memulai semuanya dari awal. ”
Naya memiringkan kepalanya, menatap Arsa dengan ekspresi tulus yang belum pernah dilihatnya sebelumnya: penuh rasa ingin tahu. “Nggak apa-apa. Sini itu gampang kok untuk berteman. Selama bisa tahan sama omongan mereka,” ujarnya sambil tertawa.
“Tahan gimana? ” Arsa ikut tertawa kecil.
“Ya… kadang mereka suka julid, kadang suka usil. Tapi sebenarnya baik-baik saja,” jelas Naya.
Percakapan mengalir dengan santai. Mereka bercerita tentang guru yang terkenal ketat, kantin yang pernah terkena banjir, hingga lomba futsal antar kelas. Setiap kali Naya berbicara, matanya bersinar dan tangan kirinya sesekali bergerak-gerak.
Arsa lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Bukan karena dia tidak tahu ingin berkata apa, tetapi karena ia menikmati mendengarkan. Setiap ucapan Naya terdengar seperti melodi—ringan, tetapi membuatnya merasa nyaman.
Setelah beberapa menit, Arsa menatap ke luar jendela. “Sepertinya hujannya belum akan reda,” gumamnya.
Naya ikut menengok. “Iya, dan mobil jemputanku juga belum datang. ”
Mereka bertukar pandangan dan kemudian tertawa. Lucu, pikir Arsa, baru beberapa jam mengenal satu sama lain, tetapi sudah terasa akrab. Seolah ada ikatan tak terlihat yang telah lama menyatukan mereka.
Kilas balik, sudut pandang Arsa:
Arsa teringat pagi ini, saat pertama kali melangkah ke gerbang SMA Baruna. Rasanya berat sekali. Dia selalu dianggap anak yang pendiam—bukan karena anti sosial, tetapi lebih suka mengamati daripada terlibat.
Di sekolah lamanya, dia memiliki sekelompok teman kecil: empat orang yang selalu makan dan belajar bersama. Pindah mendadak di kelas dua belas terasa seperti memulai buku baru di tengah cerita yang belum selesai.
Namun, pertemuan singkat dengan Naya… membuatnya merasa tidak sendirian.
“Kamu suka hujan, Sa? ” tanya Naya tiba-tiba, memecah lamungan Arsa.
“Lumayan. Kadang hujan itu menenangkan,” jawab Arsa sambil menoleh ke arah Naya.
“Aku sangat menyukainya,” kata Naya, matanya menatap jauh ke arah hujan. “Seperti… hujan memberi kita waktu untuk sejenak berhenti dan beristirahat. ”
Arsa mengangguk. “Benar juga. ”
Ada keheningan selama beberapa detik, tetapi bukan keheningan yang canggung. Lebih seperti dua orang yang merasa nyaman duduk berdua tanpa harus banyak bicara.
“Eh, apa aku boleh panggil kamu ‘Sa’? ” tanya Naya sambil tersenyum nakal.
“Gapapa. Teman-teman lamaku juga manggil aku gitu,” jawab Arsa, merasa sedikit lega.
“Baguslah,” kata Naya. “Jadi terasa lebih dekat, kan? ”
Arsa mengangguk lagi, meski wajahnya sedikit memerah. Dia menunduk, berpura-pura membenahi tali sepatunya.
Tiba-tiba, ponsel Naya berbunyi. Dia mengangkatnya dan berbicara sejenak. “Iya, Bu… Iya, hujannya masih sangat deras. Nggak, tidak masalah… Oke. ”
Dia mematikan telepon dan menghela napas. “Ibuku bilang sopirnya lagi dalam perjalanan ke sini, tetapi terjebak macet. ”
“Tenang saja, aku juga sedang menunggu hujan reda,” kata Arsa.
Naya tersenyum. “Eh, kamu pulang dengan apa tadi? ”
“Sepeda,” jawab Arsa.
“Wow… keren,” kata Naya. “Dekat rumahmu ke sekolah? ”
“Lumayan, sekitar dua kilometer,” kata Arsa.
Naya mengangguk, seolah sedang mencatat sesuatu dalam pikirannya. “Kalau ada apa-apa nanti, bilang saja ya. Aku juga pulang lewat jalan belakang. ”
Arsa sempat terdiam. Rasanya aneh ada orang yang baru dikenalnya tapi sudah peduli seperti itu. Namun, itulah Naya, pikirnya. Sepertinya dia memang bersikap begitu kepada semua orang.
“Eh, Arsa… terima kasih ya,” kata Naya tiba-tiba.
“Terima kasih untuk apa? ”
“Karena sudah mau diajak ngobrol. Biasanya, anak baru itu cenderung jutek, diam, atau terlihat malas. Kamu tidak seperti itu,” kata Naya sambil tertawa pelan.
Arsa juga tertawa. “Iya, sama-sama. ”
Mereka keluar dari kantin dan berjalan perlahan menuju bagian depan sekolah. Masih banyak genangan air di sana. Di depan gerbang, sopir keluarga Naya sudah menunggu di mobil hitam.
Naya berhenti sejenak, memandang Arsa. “Sampai jumpa besok ya, Sa. ”
Arsa mengangguk, menahan senyum. “Sampai jumpa besok, Nay. ”
Naya melanjutkan langkahnya, tetapi beberapa langkah kemudian ia menoleh dan melambaikan tangan kecilnya. Arsa membalas dengan melambaikan tangan.
Langkahnya menuju tempat parkir sepeda terasa lebih ringan. Langit masih tampak kelabu, tanah tetap basah, tetapi hati Arsa merasa lebih hangat.
Hari pertama di sekolah baru… tidak seburuk yang ia bayangkan.
Dan tanpa disadari, hujan di hari itu menjadi awal dari pertemuan—sebuah kisah yang bahkan Arsa sendiri tidak tahu seberapa panjang, seberapa bahagia, atau seberapa menyakitkannya kelak.