

"Wooeey bang...minggir napa, tu moge jangan dipegangin, ntar lecet!" pekik seorang pemuda tajir, anak motor gede dengan helm mahal, attitude-nya terlihat lebih mahal lagi, sedang keluar dari pintu auto-closed minimarket merah.
"Nggak bang, cuma kagum aja...kapan aku bisa punya..."
"Gak bakalan, Bang. Orang kayak kamu takdirnya cuma sebates ngeliat dari jauh...megang aja bikin aura kamu nular. Jauhan sana!" potongnya dengan bentakan sambil ngelempar selembar lima ribuan lusuh ke tanah.
"Ganteng sih iya, nasibnya miskin," sambungnya nyinyir sambil ngegeber mogenya buru-buru pergi.
"Makasih bang," ucap Raga dongkol, meski ia sadar suaranya nggak bakalan kedengar pria sombong itu, sambil mungut uang yang dilempar di pelataran parkir.
Suara klakson beruntun jadi backsound siang yang membakar. Raga masih berdiri di depan minimarket, peluhnya bercucuran, rompi parkir sobek dikit di bahu karena seringnya kena panas matahari, tapi kulit Raga kayaknya udah kebal, cuma gosong warnanya.
"Mas Raga...kita putus!"
Suara ketus terlontar cukup keras dari salah seorang staf minimarket perempuan melengkapi suasana panas hatinya.
Orang-orang spontan menoleh. Termasuk Raga.
"Laras?"
Ia bengong, mulut menganga, suara moge masih kedengar menjauh.
Nggak ada hujan, gak ada badai, tapi rasanya kayak ada tower roboh di dada.
Dan semuanya meledak dalam satu momen kecil,
"Aku udah gak kuat, Mas. Masa depanku gak jelas jalan sama kamu."
"Tapi...aku cuma nunggu giliran sukses, Ras. Abis itu...".
"Minggir...! Mulai hari ini, aku yang antar jemput dia," sahut seorang lelaki turun dari motor sport, nyamperin dari belakangnya sengaja nyenggol bahunya keras. Raga hampir tersungkur.
"Kamu..." tangannya mengepal, amarahnya tersulut.
"Iya, kenapa? Udah miskin masih mau sok jagoan bikin kacau. Bener-bener berantakan hidupmu."
Orang-orang di sekitar kayak disuguhi tontonan drama, cuma sedikit yang simpatik ke Raga, sisanya masa bodoh. Malah ada yang ikut mencibir.
"Hey...stop, berhenti!" Darto, teman tukang parkirnya lari melerai lihat gelagat Raga, kalau dibiarin, watak badboy-nya pasti keluar. "Jangan ribut di sini."
Raga hampir saja meninju muka songong pemuda sok-sokan itu, kalau saja Darto nggak menghalanginya.
"Cih...kang parkir aja belagu, ngaca sana!" ejek pemuda itu meludah di depannya.
"Udah, Rag. Jangan ditanggapin. Kita di sini nyari makan. Jangan sampai diusir bos minimarket."
Raga baru aja mau buka mulut, tangannya udah gerak dikit siap melayangkan hook, tapi omongan Darto benar. Ia masih harus menghidupi seorang nenek di rumah yang sudah tua. Harapan satu-satunya hidup ya cuma dari lahan parkir ini, itupun harusnya gratis. Kalau bos minimarket marah area usahanya dibikin kacau, pasti langsung game over kerja markirnya.
Andai saja Darto pas gak di situ, habis tuh bocah.
Darto menariknya ngadem ke bawah pohon ketapang, duduk di tepian trotoar sambil ngasih bungkus rokok yang isinya tinggal sebiji.
"Sabar, Rag. Inget yang di rumah. Hidup masih harus move on."
Raga masih berusaha ngatur napasnya, matanya masih belum lepas ke lelaki yang barusan jemput pulang Laras, yang kini resmi jadi mantan pacarnya.
"Sialan. Kalau aja aku gak miskin, habis kamu," geramnya menahan amarah.
"Minum dulu, Rag, es teh plastikmu masih dikit tuh, rokoknya abisin aja."
Raga mendongak, matanya masih merah. Darto nyengir.
"Kirain utuh, To. Kurokok satu aja pasti abis udah. Tau gitu kulanjutin dramanya," balasnya menampakkan sedikit ujung giginya dengan senyum tipis. Es teh seuprit ngegantung di tangan.
"He...he..., senyum gitu dong, Rag. Fokus nyari receh biar bisa makan."
Raga melengos...
"To, aku pulang dulu, ya. Lagi gak mood."
Darto gak sempat membalas, nasabah parkir berjubel harus diatur, ia lari sambil meniup peluit.
Dan Raga, dalam sekejap sudah menghilang di ujung gang, naik motor butut satu-satunya yang suara sama larinya gak sinkron, dunianya lagi gak baik-baik saja.
Ia ngerasa semesta gak adil, sial kayaknya udah jadi jebakan harian hidupnya. Jadi orang miskin selalu direndahin, dicemooh, cinta selalu aja kandas. Yang diliat orang selalu aja...harta.
Tanpa ia sadari, bos minimarket sudah memperhatikannya dari awal di balik kaca riben. Tangannya menopang dagu. Senyum samar tersungging di sudut bibirnya. Kali ini, Raga nyaris kejerat tambahan nasib sialnya.
-oOo-
Besok paginya...
“Ragaaa, bangun! Nasi goreng dingin nih!” pekik nenek nembus pintu yang tripleknya sudah bolong, suaranya melengking dan bergetar untuk ukuran lansia di atas tujuh puluh tahun, bikin Raga otomatis ngucek matanya ngumpulin nyawa.
“Bentar, Nek… badanku masih pegel.”
Ingatannya masih nempel di peristiwa siang kemarin. Tapi dongkolnya mulai ilang. Dia muterin badan, sarungnya kebalik, rambut acak-acakan, kaos oblongnya belel. Matanya mengerjap-ngerjap kayak lagi mikir soal ujian teori dunia lain, padahal cuma mau sarapan.
Nenek duduk di bangku plastik retak, tangannya sibuk nyampur sambal di atas meja berderit.
“Pegel? Pegel terus, tapi kerjaan gitu-gitu aja. Mimpi terus itu kamu, Nak?”
Raga cuma nyeletuk pake mode normal sambil mulai nyuap, jangan sampai nenek tahu kejadian kemarin dari ekspresi muka kusemnya dan caranya ia ngomong,
“Mimpiin nasi goreng paha ayam, Nek. Ehh, tapi semua awalnya dari mimpi lho, Nek. Dan aku harus lulus."
“Bisa aja!” nenek ketawa kecut, “Telur cuma satu, ayamnya lagi mogok bertelur lagi.”
Raga menoleh nyorot ayam di kandang belakang, yang tampak dari dalam rumah reyot yang cuma sepetak.
“Emang ayam bisa mogok?”
“Bisa. Kalau tuannya kelakuannya kayak kamu," sahut nenek ketus.
Dia ketawa kecil, sendok nabrak piring karena nasinya habis. Suara yang terlalu biasa tapi hidup terasa jalan.
Setelah itu, dia nyelonong ke halaman belakang, rumput meninggi, sumur tua nggak pindah, masih di pojokan. Ember retak di samping nggak bisa keisi air penuh.
“Nek, sumur ini masih bisa dipake nggak?” tanyanya setelah tahu dua hari ini air PDAM macet.
“Kalau mau nyungsep, bisa. Airnya udah kering dari zaman SBY,” nenek nyaut asal sambil ngelap tangan.
Raga jongkok, melongok ke dasar sumur. Hitam, gelap, bau tanah. Dia nyolek ember, cuma ada suara bergema sember.
“Nanti aku gali dikit, Nek. siapa tau masih keluar airnya.”
“Udahlah, jangan aneh-aneh, Rag. Jangan main di situ, entar kesambet beneran. Orang kampung bilang, sumur itu sumurnya Mbah Semar dulu,” nenek menegur sambil masuk dapur.
Raga ngakak. “Mbah Semar tinggal di belakang rumah kita sekarang, Nek?”
“Mulutmu itu, Nak, jangan ngasal. Kadang yang kamu anggap lucu, malah nyapa malem-malem.”
Dia masih ketawa, jongkok di tepian. Di sela batu yang lembab, ada sedikit pantulan cahaya dari kain lusuh, tapi Raga cuma ngelus-ngelus kucing yang pas lewat, pura-pura nggak peduli.
“Ragaaa!” nenek teriak lagi dari dapur. “Air wuduku abis, ambilin satu ember ke tetangga!”
“Iya, bentaran, Nek!” Raga balik, sambil terus nyengir.
"Sekalian kamu mandi, nanti kesiangan lagi kamu berangkat ke kantor dinas perhubungan, besok jadwalnya nyicil kredit panci, jangan sampe ditarik lagi, pantatnya udah gosong," sambung nenek.
"Iya, Nek...siap."
"Dinas perhubungan apaan, orang cuma jagain parkir di tempat ilegal," gerutu Raga nyengir. Tapi ia langsung pergi nyambar handuk lusuh ke sumur tetangga.
Hidup di kampung memang absurd, kehidupan keras tapi dijalani santai, tiap pagi selalu ada cerita kecil yang bikin Raga Perkasa ketawa sendiri.
Siang belum genap, tapi aspal di depan Swalayan Merah sudah mengkilap kayak wajah pengantin yang kepanasan. Raga berdiri di bawah pohon ketapang, kantor resminya, sambil nyengir liat motor-motor keluar masuk.
Sesaat terbayang wajah Laras yang imut tapi ternyata sadis, perempuan gak cuma satu, yang suka aku banyak, pupusnya.
Dengan rompi pudar, bertuliskan yang harusnya “PARKIR RESMI”, sudah cuma tinggal “PA..K... RE..M.. ”, ia menaruh kardus bekas di depannya jadi kotak uang receh, diselipin batu biar gak kabur kena angin. Di dada kirinya tergantung peluit kecil, lebih sering buat gaya daripada fungsi.
“Ragaaa! Motor sebelah masuk tuh, jangan bengong!”
Teriakan itu datang dari rekan sesama penjaga parkirnya kemarin, Darto, yang lebih tua dikit tapi kebaikannya lebih banyak ngeprank.
Raga ngelirik malas. “Santai, To. Kalo rezeki emang buat kita, gak bakal dibawa kabur sama yang punya motor.”
“Bisa aja kamu ngomong, tapi tiap sore ngeluh duit kurang.”
“Ya makanya aku ngomong, bukan ngitung,” sahut Raga sambil tiup peluit asal-asalan, nyaring kayak bebek diseruduk.
Motor matic berhenti pas di depan, pengendaranya perempuan, muda, pakai seragam kasir swalayan, wajahnya baru keluar dari shift siang.
“Mas, parkirnya berapa?” tanya Santi, agak kaku.
Raga langsung pasang senyum sok ramah. “Sukarela aja, Mbak. Tapi kalo terlalu ikhlas, malah saya yang dosa.”
Cewek itu nyengir tipis, naruh dua ribu di kardus.
“Lumayan buat beli bensin peluit,” celetuknya, lalu ngegas cepat masuk gang sebelah.
Raga ngakak pelan, nyenggol Darto. “Lihat tuh, Mbak Santi udah mulai percaya karma. Dulu gak pernah senyum.”
“Lagian kamu kebanyakan gombal. Parkiran aja ilegal, tapi ngomongnya kayak punya franchise.”
Raga nyalain puntung rokok setengah, duduk di bangku kayu bekas peti.
“Ya kan hidup harus punya visi, To. Meski sementara ini visiku cuma jagain parkir gratis.”
Darto ngeludah ke arah selokan. “Gratis dari pemerintah, bukan dari kamu.”
“Ya tapi pemerintah gak nongkrong di sini, To. Aku yang dibakar matahari tiap hari. Jadi ya, semacam... izin semesta.”
Darto ngelirik sinis tapi akhirnya ketawa.
“Izin semesta apaan, Rag? Gak ada stempelnya juga.”
“Stempelnya peluh dan keyakinan,” jawab Raga, setengah bercanda setengah serius. “Yang penting orang rela, bukan terpaksa. Kalo rela, berarti berkah.”
Darto geleng-geleng. “Kamu tuh kayak ustaz yang nyasar ke lapangan parkir.”
“Eh, gak apa kan. Kadang yang keliatan nyasar malah paling nemu jalan,” katanya sambil menatap swalayan yang ramai keluar masuk, matanya redup sesaat.
Di antara deretan motor, ada satu motor bebek tua warna biru muda, bodinya penyok di sisi kanan, motor peninggalan almarhum kakeknya yang dulu tukang servis di pasar.
Raga nyandarkan tangan ke setangnya, menatap dalam, sebelum bergumam pelan, “Kakek aja bisa ngidupin bengkel dari nol, masak cucunya gak bisa hidup dari parkiran.”
Darto menepuk bahunya. “Yah, asal jangan dari tipu-tipu.”
“Tenang, To. Aku gak tipu siapa-siapa. Aku cuma mastiin orang ingat buat ngucap makasih.”
“Lalu?”
“Lalu mereka kasih uang receh.”
Darto ngakak. “Filsafat parkir, level kampung!”
“Lebih baik daripada filsafat utang,” timpal Raga santai.
Mereka ketawa berdua, suara tawa campur suara peluit dan deru motor, jadi orkes aneh khas siang di parkiran swalayan merah, tempat absurd tapi nyata, di mana Raga Perkasa mencari rezeki dengan cara paling manusiawi yang bisa dia pikirkan.
Tapi ia kembali gak sadar, sepasang mata tajam mengamatinya dari balik kaca, senyumnya sinis penuh rencana yang akan semakin memperparah kehidupannya.
-oOo-
Langit sore di kampung itu warnanya kayak teh basi, keruh tapi entah kenapa adem. Raga duduk di kursi plastik di depan rumah, ngitung uang receh hasil parkir seharian. Koin berserakan di lantai, beberapa masih bau aspal panas.
“Dua puluh, lima puluh, tujuh puluh ribu…” gumamnya. “Lumayan. Besok bisa beli beras, minyak goreng trus makan ayam mogok bertelur.”
Dia ketawa sendiri, terus nyelipin uang ke kaleng biskuit bekas yang tulisannya udah pudar. Dari dalam rumah, suara nenek nyanyi pelan ngikutin lagu dari radio tua yang suaranya serak, kayak orang batuk sambil nyanyi dangdut.
“Nak, udah mandi? Badanmu itu bau terik matahari,” teriak nenek dari dapur.
“Bau rezeki, Nek,” balas Raga.
“Rezeki apaan, kalau uangnya recehan semua!”
Dia cuma nyengir. Nyamperin dapur, bantuin ngulek sambal. Kadang tangannya nyolek, dan malah ngambil tomat mentahnya buat dimakan.
“Ngapain kamu makan mentah, Rag?” tanya nenek.
“Biar kayak orang kota, Nek. Katanya sehat.”
“Yang sehat tuh yang kerja, bukan yang gaya.”
"Aku kan kerja beneran, Nek."
"Iya, moga aja kamu segera dapet kerja lainnya, terus nikah, umurmu udah dua puluh lima, Nak."
Kali ini Raga diam disentil nenek soal nikah. Bukannya Raga gak mau atau cewek yang suka gak ada, cuma...ia sulit menyimpulkan.
Sambil makan malam seadanya, Raga sesekali nyolek ikan asin nenek, terus pura-pura nggak bersalah. Nenek pura-pura nggak lihat, padahal tahu semua gerak-geriknya.
Malam makin turun. Lampu lima watt menyala redup di ruang tengah. Radio tua masih nyala, muter lagu lawas, volumenya naik-turun sendiri kayak ada tangan lain yang mainin.
Raga jalan ke belakang buat cuci piring. Daster bolong nenek tergantung di jemuran, diam di udara lembab. Dia sempat berhenti. Entah kenapa, setiap liat itu, hatinya kayak digelitik halus.
“Daster itu lebih rajin kerja daripada aku,” katanya pelan. “Nemenin nenek dari zaman radio masih siaran Orde Baru. Aku belum menyapa dunia.”
Begitu ngomong gitu, radio di ruang tengah tiba-tiba bunyi lebih keras. Lagu berubah. Bukan dangdut, tapi tembang Jawa lama kayak pentas wayang yang biasa dinyanyiin nenek waktu masak.
“Nek!” seru Raga dari belakang. “Nenek ganti lagu ya?”
Nggak ada jawaban.
Dia masuk ke ruang tengah. Nenek udah ketiduran di kursi, kepalanya miring, radio masih nyala di sebelahnya.
Raga pelan-pelan nurunin volumenya, ngelihat wajah neneknya yang keriput tapi tenang banget.
“Tidurlah, Jenderal dapur,” bisiknya.
“Besok aku cari kerjaan beneran. Janji.”
Dia matiin radio lalu kembali beresin piring. Tapi waktu mau masuk kamar, tiba-tiba klik, radio nyala lagi. Lagu yang sama.
Dari luar, angin pelan lewat. Daster nenek di jemuran bergerak sedikit, kayak melambai.
Raga berhenti di depan pintu, nahan napas.
“Nek…” katanya pelan, “itu... tadi aku janji beneran, lho, gak bohong.”
Dia senyum kecil, separuh takut, separuh kangen.
Lalu matanya menatap daster itu agak lama, sebelum akhirnya masuk kamarnya beneran. Suara radio dibiarin terus nyanyi sampai pagi.