

Di bawah atap ruko kosong, Reno dan teman-temannya duduk melingkar, botol-botol minuman keras terserak di tengah lingkaran seperti saksi bisu dari kebiasaan buruk mereka.
Reno menyandarkan punggung ke dinding yang lembap, menatap langit gelap tanpa minat.
Ia hanya ingin melupakan hari itu, hari ketika guru BK memarahinya, ketika ia bertengkar dengan ayahnya, dan ketika ia kembali menyadari bahwa hidupnya seperti jalan buntu panjang yang tidak pernah berubah.
"Ayo, Ren. Satu lagi biar anget," kata Dito sambil menyodorkan botol.
Reno meraihnya tanpa berkata apa-apa. Ia tak minum karena suka, ia minum karena ingin diam. Teman-temannya menyangka ia menikmati keseruan itu, padahal ia hanya tak punya tempat lain untuk pergi.
Botol itu baru menyentuh bibirnya ketika sesuatu terasa aneh. Bukan rasa alkoholnya, ia sudah terlalu sering merasakannya. Tapi ada sensasi dingin tiba-tiba yang menyusup dari telapak tangannya, menjalar naik ke lengan, lalu ke seluruh tubuhnya. Ia mengernyit.
"Eh, Ren? Lo pucet amat," kata Roni, memicingkan mata.
"Ada apa? Lo masuk angin?" tambah Dito.
Reno hendak menjawab, tetapi suaranya tertahan. Dunia seakan berputar. Lampu-lampu jalan terlihat lebih terang dari biasanya, garis-garis cahaya berpendar seperti tarikan kuas yang kasar. Suara hujan terdengar lebih tajam, seolah tiap tetesan memecah udara.
Jantungnya berdetak keras, begitu keras sampai ia yakin teman-temannya bisa mendengarnya.
"A...anjir, kepala gue." gumam Reno sambil memegang pelipis.
Ia mencoba bangkit, tapi lututnya goyah. Teman-temannya panik, namun tak sempat menolong. Cahaya putih, seperti kilatan kamera yang berulang-ulang, tiba-tiba memenuhi pandangan Reno.
Lalu semuanya gelap.
Ia tidak tahu berapa lama pingsan. Bisa beberapa menit, mungkin juga berjam-jam. Yang jelas, ketika membuka mata, dunia sudah berbeda.
Hujan telah berhenti. Udara terasa dingin dan segar, namun yang paling mencolok adalah keheningan. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada desingan angin, seolah seluruh kota menahan napas.
Reno bangkit perlahan, menepuk celana yang basah oleh tanah. Teman-temannya sudah tidak ada. Mungkin mereka panik dan membawanya pulang, atau mungkin mereka mengira ia hanya tidur karena mabuk. Reno tak terlalu memikirkan itu. Sesuatu yang lebih besar menarik perhatian.
Di ujung jalan, berdiri sosok hitam tinggi, terlalu tinggi untuk manusia. Tubuhnya kurus, seperti bayangan yang merenggang, dan matanya menyala merah samar. Makhluk itu tidak bergerak, hanya mengawasinya.
Reno mematung.
"H...apa itu?" bisiknya.
Makhluk itu tidak menjawab, namun tiba-tiba menggerakkan kepala, dan meski dari jauh, Reno bisa jelas mendengar bunyi retakan tulang.
Seketika tubuhnya merinding.
"Astaga."
Makhluk itu melompat.
Dalam sekejap, ia sudah berada beberapa meter dari Reno, bergerak dengan kecepatan yang mustahil. Reno hendak berlari namun kakinya terpaku. Semua instingnya menjerit untuk kabur, tapi tubuhnya tak mau bergerak. Ketika makhluk itu meluncur lagi ke arahnya, Reno hanya sempat menutup mata.
Dan sesuatu terjadi.
Dentuman keras terdengar. Reno merasakan hembusan angin kuat melewati dirinya. Ia membuka mata dengan gemetar, dan baru menyadari bahwa makhluk itu terpental beberapa meter, tubuhnya menghantam dinding ruko hingga membentuk retakan besar.
"Ap...apa tadi?"
Reno menatap tangannya. Ada cahaya tipis, seperti aliran listrik lembut yang menyelimuti kulitnya. Ia tidak ingat memukul. Ia bahkan tidak ingat menggerakkan tubuhnya. Namun tubuhnya bergerak sendiri, seolah ada naluri lain yang bangkit dari dalam.
Makhluk itu bangkit lagi, kali ini lebih marah. Suara geramannya seperti dua besi beradu.
"Oh gila."
Reno berbalik dan berlari.
Kakinya bergerak lebih cepat daripada yang pernah ia rasakan. Jalan yang biasanya membutuhkan dua menit untuk ditempuh kini hanya seperti tiga langkah besar. Ia hampir melayang. Semakin ia berlari, semakin tubuhnya terasa ringan, seolah energi baru mengisi seluruh darah dan ototnya.
Namun makhluk itu tetap mengejarnya, melompat dari dinding ke dinding seperti monster dalam mimpi buruk. Reno mendengar suara cakarnya mencabik angin, semakin dekat, semakin jelas.
Ketika ia belok di antara dua bangunan sempit, makhluk itu melompat lagi, kali ini tepat berada di atasnya.
"Gila, jangan deket!"
Tanpa sempat berpikir, Reno menendang ke atas.
Bukan tendangan biasa.
Udara meledak. Terdengar seperti palu besar menghantam baja. Makhluk itu terpental tinggi ke udara dan menghantam tanah beberapa meter jauhnya.
Reno berdiri membeku, menatap kakinya sendiri.
"A...apa yang terjadi sama gue.?"
Makhluk itu merayap, mencoba bangkit, tapi kali ini tubuhnya retak, seperti kaca yang hampir pecah. Cahaya merah dari matanya meredup.
Dalam geraman terakhir, tubuhnya berubah menjadi kabut hitam dan menghilang.
Reno hanya bisa menggeleng, napasnya tersengal. Ia terjatuh duduk, pandangannya kabur, antara kaget, takut, dan bingung.
Ia tidak bermimpi.
Ia tidak mabuk.
Ia benar-benar memukul makhluk itu, dan menang.
Ketika ia sampai rumah, langit sudah mulai terang, warna jingga melapisi gedung-gedung tua. Ayahnya sudah berangkat kerja, ibunya tertidur di ruang tamu. Reno melangkah pelan menuju kamar, mencoba tidak menimbulkan suara.
Begitu pintu tertutup, ia langsung berkaca.
Wajahnya sama. Matanya sama. Tidak ada tanda-tanda aneh.
Tapi di belakang dirinya, ia bisa melihat bayangan lain.
Bukan bayangannya sendiri.
Bentuknya samar, seperti sosok manusia yang diselimuti asap gelap. Makhluk yang bukan manusia.
Reno membalik tubuh, tapi tidak ada siapa pun.
Ketika ia kembali menatap cermin, sosok itu tetap ada.
"Jadi cuma gue yang bisa lihat."
Dadanya berdebar.
Ia ingat bagaimana makhluk tadi menyerangnya, bagaimana tubuhnya bergerak sendiri, bagaimana kekuatan itu muncul tanpa ia pahami. Dan sesuatu memberinya firasat bahwa apa yang baru terjadi hanyalah permulaan.
"Kenapa gue.?"
Pertanyaan itu terlintas, namun belum sempat ia memikirkannya lebih jauh, suara berbisik muncul dari belakang telinganya.
"Karena kau terpilih."
Reno membalik dengan panik.
Tidak ada siapa pun.
Namun aroma dingin, seperti udara dari lorong gelap, mengalir memasuki kamarnya. Lalu suara itu hadir lagi, lebih jelas.
"Kekuatanmu baru bangun. Dan mulai hari ini… kau tidak lagi hidup sebagai manusia biasa."
Reno memejamkan mata, tubuhnya gemetar.
Ia tidak tahu dari mana kekuatan itu datang, atau siapa yang berbicara. Tapi satu hal ia tahu. hidupnya telah berubah selamanya.
Dan jalan menuju dunia yang tidak pernah ia ketahui, baru saja terbuka.