Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pendekar Matahari dan Bulan

Pendekar Matahari dan Bulan

Ombob | Bersambung
Jumlah kata
140.4K
Popular
156
Subscribe
67
Novel / Pendekar Matahari dan Bulan
Pendekar Matahari dan Bulan

Pendekar Matahari dan Bulan

Ombob| Bersambung
Jumlah Kata
140.4K
Popular
156
Subscribe
67
Sinopsis
FantasiFantasi TimurPendekarKekuatan SuperPewaris
Di Kampung kecil yang terletak tepat di kaki Gunung Purba, Lahirlah sepasang bayi kembar yang membawa tanda takdir. Mereka diberi Nama Jagatara dan Nawang, Jagatara lahir tepat saat matahari bertengger di ubun-ubun langit, dengan tanda bundar bagai surya di dadanya. Nawang lahir saat malam menutup hari, tepat di bawah sinar rembulan, dengan tanda bulan sabit di punggungnya. Orang-orang desa percaya, kelahiran mereka bukan kebetulan. Leluhur telah lama meninggalkan tutur tentang “dua cahaya kembar” — satu dari siang, satu dari malam — yang kelak akan menjadi penentu keseimbangan jagat. Bila bersatu, keduanya membawa terang bagi bumi; bila terpecah, hanya gerhana panjang yang menanti. Jagatara tumbuh dengan watak berani dan panas bagai api, selalu ingin maju tanpa ragu. Sebaliknya, Nawang lebih teduh, tenang, dan penuh hitungan, seperti hening malam yang diam-diam menyimpan kekuatan. Dua sifat yang bertolak belakang itu sering menimbulkan benturan, meski keduanya terikat darah dan takdir yang sama. Namun keseimbangan itu mulai terusik ketika sebuah aliran kuno, Paseban Gerhana, muncul dari balik bayangan. Mereka mengincar tanda lahir Jagatara dan Nawang untuk membuka jalan menuju kekuasaan gelap. Dari saat itu, kedua saudara kembar ini harus menempuh jalan sunyi para pendekar—bukan hanya untuk menjaga diri, tetapi juga untuk menjaga harmoni alam raya. Pertanyaannya tinggal satu: mampukah matahari dan bulan berjalan seiring, atau justru saling memadamkan?
Bab 1 – Kembar di Ujung Siang dan Malam

Di kaki Gunung Purba, kampung Kajar Alas terletak di antara sawah yang hijau dan sungai kecil yang berkelok, membelah desa menjadi dua. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan daun pepohonan yang bergesekan oleh angin, sementara suara burung dan binatang malam yang masih tersisa menambah ketenangan. Penduduk desa menjalani hidup sederhana, bergantung pada tanah dan sungai, namun malam itu dan siang berikutnya, dunia seakan menahan napas.

Di rumah bambu sederhana, seorang ibu muda bernama Sekar Ayu tengah menahan sakit melahirkan. Tubuhnya berpeluh, napasnya tersengal, namun matanya tetap menyimpan harapan dan keberanian. Di sekelilingnya, Suami, bidan desa dan beberapa tetua membacakan doa pelindung, menyalakan dupa, dan meletakkan sesaji kecil. Angin malam berdesir pelan, membawa aroma dupa dan bunga kamboja, menambah kesyahduan suasana.

Tak terasa pagi menyingsing sampai di pertengahan siang, saat matahari berada tepat di ubun-ubun langit, bayi pertama lahir dengan tangisan yang lantang. Tubuh mungilnya membawa tanda bundar keemasan di dadanya—seperti matahari yang bersinar terang. Tangisnya memecah keheningan rumah, menantang dunia, seakan bayi itu sadar bahwa takdirnya tak biasa. Bayi itu dinamai Jagatara.

Sekejap kemudian, malam menutup hari dengan lembut, bulan sabit menampakkan sinarnya di celah awan. Lahir bayi kedua, yang membawa tanda bulan sabit berpendar di punggungnya. Tangisnya lirih, lembut, bagai bisikan malam yang mengalir di sungai desa. Bayi itu diberi nama Nawang.

Warga desa menatap kedua bayi itu dengan kagum dan rasa gentar. Ki Wiradipa, sesepuh desa, memandang mereka dengan mata yang tampak menembus waktu. “Dua cahaya… siang dan malam. Lahir pada waktu yang telah ditetapkan para leluhur,” gumamnya.

Orang-orang desa teringat pada ramalan kuno:

> “Akan lahir dua cahaya, satu dari siang, satu dari malam. Bila bersatu, mereka akan membawa terang bagi bumi. Bila terpecah, hanya gerhana panjang yang menanti.”

Ramalan itu diwariskan dari generasi ke generasi, tertulis dalam lembaran-lembaran kitab kuno yang tersimpan di lumbung desa, namun sebagian orang lupa maknanya. Kini, takdir itu kembali hadir dalam wujud Jagatara dan Nawang.

---

Hari-hari berlalu, Jagatara dan Nawang tumbuh dalam kasih ibu. Jagatara memiliki tubuh yang kuat, mata yang tajam, dan semangat yang tak pernah padam. Sejak kecil, ia selalu ingin melangkah, menantang dunia, bahkan terkadang tanpa pikir panjang. Ia seperti matahari yang menyinari segalanya dengan panasnya, memberi energi sekaligus menakutkan bagi siapa pun yang mendekat.

Sebaliknya, Nawang tumbuh tenang, penuh perhitungan, dan misterius. Setiap geraknya lembut, setiap kata yang diucapkan membawa berat arti. Ia suka duduk di tepi sungai atau di bawah pohon besar, menatap bulan atau langit malam, seakan mampu berbicara dengan angin, daun, atau bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit. Warga desa menyebutnya Anak Bulan, karena ketenangannya, sementara Jagatara dikenal sebagai Anak Matahari, penuh semangat dan gairah.

Meski terikat darah dan takdir yang sama, sifat mereka yang berbeda kerap menimbulkan benturan. Jagatara selalu ingin maju, melompat ke petualangan baru, sementara Nawang lebih menahan diri, mengamati, dan mencari jalan yang aman. Benturan ini sering membuat kedua kembar itu bertengkar ringan, namun darah dan ikatan takdir selalu menarik mereka kembali.

---

Sementara itu, dari balik bayangan Gunung Purba, sebuah aliran kuno yang dikenal sebagai Paseban Gerhana mulai bergerak. Mereka adalah kelompok yang percaya dunia hanya bisa seimbang jika matahari dan bulan tidak bersatu. Kelahiran Jagatara dan Nawang dianggap ancaman terhadap rencana mereka.

Di reruntuhan candi tua yang tertutup lumut dan akar, pemimpin Paseban Gerhana duduk bersila di tengah lingkaran lilin hitam. Wajahnya tertutup topeng gerhana, matanya hanya terlihat bersinar merah. Sekelompok pengikutnya menyalakan mantera, mengalungkan jimat-jimat kuno, dan membaca kidung yang sudah lama ditinggalkan dunia.

“Dua cahaya itu lahir, pemimpin. Mereka membawa terang yang bisa mengganggu keseimbangan,” kata salah seorang pengikutnya, suara bergetar karena takut sekaligus kagum.

“Jika ramalan benar, kita harus memisahkan mereka sejak dini. Hanya dengan begitu kekuasaan gelap bisa tercapai,” jawab pemimpin itu pelan, namun penuh keyakinan.

---

Usia Jagatara dan Nawang kini genap tujuh tahun. Tanda lahir mereka mulai bersinar, bukan setiap saat, tetapi pada waktu tertentu. Saat matahari berada di puncaknya, tanda di dada Jagatara berpendar kuat, membuat udara sekitarnya terasa panas. Begitu pula, saat bulan muncul penuh, tanda di punggung Nawang berpendar lembut, membawa ketenangan bagi siapa pun di dekatnya.

Suatu sore, di tepi sawah yang luas, kedua kembar itu bermain. Jagatara memanjat pohon kelapa, tertawa lantang ketika berhasil mencapai pucuk. Nawang duduk di bawah, menatap saudaranya dengan tenang, menunggu ia turun. Langit jingga menambah indahnya pemandangan, membuat daun dan rerumputan berkilau seperti emas.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan, beberapa sosok muncul. Lelaki berwajah seram, berpakaian gelap, dengan mata menyala seperti bara. Mereka adalah utusan Paseban Gerhana, datang untuk menguji dan mungkin menculik kedua kembar itu.

Jagatara, tak menyadari bahaya, tersenyum dan menantang mereka. “Siapa kalian? Pergi dari sini!” teriaknya. Nawang berdiri pelan, menatap mereka dengan mata yang berkilau lembut.

Salah seorang penyusup melompat, hendak meraih tangan Jagatara. Saat itu, sesuatu yang aneh terjadi. Tanda di dada Jagatara menyala terang, sementara tanda di punggung Nawang berpendar lembut. Dua cahaya itu bertemu sejenak, memancar ke segala arah, membuat utusan Paseban Gerhana terpental dan terhuyung, tak mampu mendekat.

Jagatara dan Nawang terjatuh ke tanah, gemetar. Jagatara menatap Nawang, matanya melebar. “Apa… apa yang barusan terjadi?”

Nawang hanya menggeleng. “Sepertinya… kita dilindungi sesuatu… sesuatu yang lebih besar dari kita sendiri.”

Dari kejauhan, Ki Wiradipa yang kebetulan melihat kejadian itu, menutup mata. Napasnya tertahan. “Gerhana akan segera mencari mereka lebih keras. Tapi cahaya pertama sudah bangkit.”

---

Beberapa hari berikutnya, Jagatara dan Nawang mulai merasakan hal-hal aneh. Jagatara kerap merasakan panas yang aneh saat emosinya memuncak, sementara Nawang mampu mendengar bisikan-bisikan lembut di malam hari—suara angin, sungai, bahkan getaran tanah. Kedua anak itu mulai sadar bahwa mereka bukan anak biasa, meski masih belum mengerti sepenuhnya.

Sekar Ayu, ibu mereka, selalu cemas. Ia membawa keduanya menemui Ki Wiradipa, berharap sang sesepuh bisa memberi jawaban. Ki Wiradipa menatap mereka dengan serius. “Anak-anakmu membawa takdir, Sekar. Mereka bukan sekadar manusia biasa. Dunia akan segera menuntut mereka, dan jalan yang mereka tempuh tidak akan mudah.”

Di desa, orang-orang mulai berbicara tentang kedua anak itu dengan rasa kagum dan takut. Beberapa menasihati Sekar Ayu agar menjaga mereka, sementara yang lain merasa terpesona dengan aura yang terpancar dari kedua kembar itu. Ada yang percaya mereka akan menjadi penentu keseimbangan alam, ada pula yang takut jika dua cahaya itu kelak membawa malapetaka.

---

Malam itu, Sekar Ayu duduk di teras rumah, memeluk kedua putranya. Bulan sabit tergantung rendah di langit, menyorot lembut wajah mereka. Ia menatap Jagatara, lalu Nawang, dengan mata berkaca-kaca.

“Jagatara… Nawang… semoga kalian tetap berjalan seiring. Jangan biarkan perbedaan memisahkan kalian. Sebab bila kalian terpecah, aku takut dunia ini tak akan sanggup menanggungnya,” bisiknya lirih.

Keduanya hanya menatap ibu mereka, tanpa kata-kata. Namun di dalam hati mereka, ada rasa hangat dan perlindungan yang aneh—seolah mereka sudah merasakan kekuatan yang menyatukan mereka sejak lahir.

Di ujung desa, di balik hutan lebat, Paseban Gerhana merencanakan langkah berikutnya. Mereka tahu bahwa cahaya pertama telah bangkit, dan dua kembar itu akan menjadi fokus mereka.

Namun dunia masih tenang, malam itu, matahari dan bulan masih beriringan, menyorot bumi kecil Kajar Alas. Dua cahaya kembar, Jagatara dan Nawang, masih berada di bawah perlindungan alam, belum mengetahui sejauh mana takdir akan menuntun mereka.

Lanjut membaca
Lanjut membaca