

Brandon melaju, langkahnya mengikis aspal becek menuju pasar. Perutnya kosong melompong, tapi ampas wiski semalam masih membakar di nadinya, memberinya energi semu.
Sejak matahari terbit, ia sudah merasa ada yang aneh, tekanan di udara yang tak bisa dijelaskannya. Tapi Brandon takkan pernah mengakuinya.
“Brandon, ke mana saja kau baru nongol?!” Suara Billy, sahabatnya, memecah pagi. Dia sudah berdiri di depan kios sayur, gelisah.
Brandon hanya tersenyum kecut, tipis. “Kau berisik sekali, Billy.”
“Kau tidak takut lapak kita direbut James, Bran? Dia sudah mengintai sejak tadi!” Billy menunjuk ke arah ujung pasar, di mana beberapa siluet asing tampak berjaga.
“Siapa James? Aku tidak mengenalnya. Apa dia seorang yang perlu kita takuti?” Brandon menyeringai, tapi matanya mencari. Tekanan itu semakin kuat.
“Astaga! Kau sama sekali tidak mengenalnya? Dia punya anggota lebih banyak dari kita, Bran! Dan mereka bukan main-main!”
“Peduli setan dengan James dan anggotanya. Kemana sampah-sampah kita yang lain?” Brandon menatap tajam ke arah Billy, nada suaranya mengeras.
“Mereka baru saja pergi, Bran. Katanya sudah lelah menunggu. Aku sendiri ingin pergi dari sini, ini aneh.” Billy menelan ludah.
“Cepat, kita tagih uang keamanan pasar ini!” Brandon tidak memberi pilihan, menyeret Billy ke gang sempit antara deretan lapak. Bau amis ikan dan rempah-rempah yang busuk memenuhi udara.
Mereka baru melangkah beberapa meter ketika bayangan-bayangan itu bergerak. Bukan dari ujung pasar, melainkan dari balik tumpukan karung bawang dan kotak-kotak kayu. Empat sosok, bertubuh besar, dengan sorot mata dingin, menghadang mereka.
Salah satu dari mereka, yang bertubuh paling gempal, meludah di tanah. “Bos kami bilang, lapak ini sudah pindah tangan.”
Billy menciut, mundur selangkah. “Bran…”
Brandon mengabaikan Billy. Matanya menatap tajam pria di depannya.
“Pulang dan beritahu bosmu, kami tidak menyerahkannya.”
Pria itu menyeringai. “Itu bukan pilihan.”
Tekanan di dada Brandon kini bukan lagi firasat, melainkan ancaman nyata. Darahnya berdesir, bukan karena takut, tapi karena… sesuatu yang lain. Sesuatu yang terasa asing, namun juga begitu akrab. Ia bisa merasakan energi aneh yang memancar dari kelompok itu, dan ia menyadari, mereka juga merasakannya. Tapi yang paling mengejutkan, Brandon merasa ada sesuatu yang jauh lebih besar bergejolak di dalam dirinya sendiri, siap meledak.
“Kau terlalu banyak bicara,” kata Brandon pelan, suaranya lebih tenang dari yang seharusnya.
Dan saat itu, telapak tangannya terasa panas. Bukan panas biasa, tapi panas yang membakar, seolah ada api yang baru saja dinyalakan di sana.
Dia mengepalkan tangan, dan kilatan cahaya samar terlihat berdenyut dari sela-sela jarinya. Ia belum mengerti, tapi ia tahu, sesuatu telah terbangun.
Telapak tangan Brandon panas membakar, seolah api baru saja dinyalakan. Ia mengepalkan tangan, dan kilatan cahaya samar berdenyut dari sela-sela jarinya.
Ia belum mengerti, tapi ia tahu, sesuatu telah terbangun. Di depannya, pria gempal itu menyeringai, tidak menyadari apa yang akan terjadi.
“Bocah cengeng, ayo selesaikan ini!” kata si pria gempal, melangkah maju.
Brandon hanya terdiam, mengamati tangannya. Rasa panas itu menyebar ke seluruh tubuhnya, bukan rasa sakit, melainkan gelora energi. Rasanya seperti setiap sel di tubuhnya berteriak, terbangun dari tidur panjang. Ia merasakan dorongan, kekuatan yang belum pernah ia bayangkan.
Seringai di wajah pria gempal itu hilang. Ia bisa merasakan energi yang berbeda dari Brandon. Energi yang jauh lebih besar dan kuat dari apapun yang pernah ia rasakan. Matanya melebar, dan ia mundur selangkah.
Brandon mendongak, matanya berkilat. Ia menatap ke arah pria itu, dan saat itu juga, udara di sekeliling mereka menegang. Butiran-butiran pasir dan debu di tanah bergetar, lalu melayang-layang.
Tiba-tiba, Brandon mendorong tangannya ke depan. Sesuatu yang tak terlihat, tapi terasa kuat, menghempaskan pria gempal itu ke belakang. Tubuhnya melayang di udara, menabrak tumpukan karung bawang, lalu jatuh tak berdaya.
Ketiga antek lainnya terperangah. Mereka tidak melihat apa-apa, tapi mereka merasakan kekuatan itu. Kekuatan yang sama yang membuat mereka hampir tidak bisa bernapas. Billy, yang sejak tadi bersembunyi di belakang Brandon, kini menatapnya dengan pandangan campur aduk antara takut dan takjub.
“Sialan!” umpat salah satu antek.
Dua antek lainnya mencoba menyerang dari sisi. Mereka mengayunkan tinju, tapi serangan mereka tidak sampai. Brandon hanya berdiri, tanpa bergerak. Di sekitar tubuhnya, tampak ada semacam perisai tak terlihat, yang membuat tinju mereka terpental begitu saja.
Brandon melirik mereka dengan mata menyala. Dengan satu gerakan tangan, ia melepaskan gelombang energi. Gelombang itu tidak terlihat, tapi terdengar seperti ledakan sonik. Gelombang tersebut menghantam kedua pria itu, membuat mereka terpelanting dan jatuh.
Antek terakhir, yang masih berdiri, tidak berani melangkah. Ia menatap Brandon dengan ngeri.
Brandon kini melangkah maju. Setiap langkahnya terasa berat, seolah mengendalikan energi yang baru ia dapatkan. Ia menatap tajam ke antek terakhir.
“Sekarang, katakan padaku,” kata Brandon, suaranya dalam dan bergetar, “siapa James?”
Pria itu gemetar, melihat ke arah teman-temannya yang tergeletak tak berdaya. Ia menelan ludah.
“Dia… dia hanya bos kami,” ucapnya terbata-bata.
“Di mana aku bisa menemukannya?” tanya Brandon. Tekanan di sekitarnya semakin kuat.
“Di markasnya! Di gudang tua dekat pelabuhan!” teriak pria itu, ketakutan.
Brandon mengangguk pelan. Ia melirik ke arah Billy, yang masih berdiri mematung.
“Tinggalkan saja mereka,” kata Brandon. “Kita pergi sekarang.”
Brandon berjalan menuju arah yang ditunjukkan pria itu, meninggalkan gang sempit itu. Billy mengikutinya, masih dengan ekspresi tak percaya.
Mereka berjalan tanpa suara, keluar dari pasar, menuju jalan utama. Brandon masih merasakan energi itu bergejolak di dalam dirinya.
Rasanya seperti ada sesuatu yang baru, namun pada saat yang sama, terasa sudah ada di sana sejak lama.
Di tengah jalan, Billy akhirnya memecah keheningan. “Bran… apa itu tadi? Kau… kau punya kekuatan?”
Brandon tidak menoleh, matanya lurus ke depan. “Aku tidak tahu,” jawabnya. “Tapi aku akan mencari tahu.”
Mereka terus berjalan. Tujuan mereka kini jelas: gudang tua di dekat pelabuhan. Tempat di mana James dan anak buahnya menunggu.
Tapi mereka tidak tahu, James sudah menunggu kedatangan mereka. Dari kejauhan, James melihat mereka dari balik sebuah mobil. James menatap Brandon dengan senyum puas.
“Jadi kau sudah terbangun… Brandon,” gumam James. Ia menoleh ke arah seorang pria kurus yang berdiri di sampingnya. “Bersiaplah, kita akan menyambut tamu kita.”
Brandon dan Billy berjalan dalam keheningan, meninggalkan keriuhan pasar di belakang. Jalanan yang mereka lalui semakin sepi, gang-gang sempit berubah menjadi jalanan becek yang dipenuhi sampah.
Udara mulai terasa asin, bau laut yang pekat menusuk hidung. Di kejauhan, lampu-lampu kapal bersinar redup. Di tengahnya, siluet bangunan tua yang sangat besar tampak menjulang. Gudang tua dekat pelabuhan.
“Bran, kita tidak butuh rencana?” tanya Billy, suaranya bergetar.
Brandon tidak menoleh, pandangannya lurus ke depan.
“Rencana apa lagi?”
“Mereka bukan cuma orang biasa. Apa yang kau lakukan tadi… itu bukan sihir, kan?” Billy menelan ludah.
Brandon akhirnya menoleh, menatap Billy dengan dingin. “Itu bukan sihir. Itu sesuatu yang ada di dalam diriku. Dan aku akan mencari tahu.”
Billy terdiam. Ia tahu, tidak ada gunanya membantah.
Mereka tiba di depan gudang tua itu. Gerbang besi yang berkarat terbuka setengah, seolah mengundang mereka masuk. Bau besi tua, debu, dan lumut menyengat. Lampu-lampu di dalam gudang remang-remang, tidak cukup untuk menerangi seisi ruangan.
Billy berhenti melangkah. “Bran, ada yang salah.”