Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Kembalinya Identitas Tersembunyi Sang Pecundang

Kembalinya Identitas Tersembunyi Sang Pecundang

Nanad Velyns | Bersambung
Jumlah kata
69.1K
Popular
135
Subscribe
63
Novel / Kembalinya Identitas Tersembunyi Sang Pecundang
Kembalinya Identitas Tersembunyi Sang Pecundang

Kembalinya Identitas Tersembunyi Sang Pecundang

Nanad Velyns| Bersambung
Jumlah Kata
69.1K
Popular
135
Subscribe
63
Sinopsis
18+PerkotaanAksiBela dirikebangkitan pecundangbalas dendamidentitas tersembunyiMafiaBalas DendamAnak Yatim PiatuBela DiriIdentitas TersembunyiMengubah Nasib
Agam hanya punya satu ingatan tentang orang tuanya: api, jeritan, dan luka jahitan besar di perutnya. Tumbuh bersama seorang nenek asing, hidupnya berjalan biasa—sampai dua wanita misterius datang. “Selamat datang di The Black Phantom.” Sebuah sapaan yang membuka pintu masa lalu, sekaligus menyeretnya ke dunia gelap yang tak pernah ia bayangkan.
Bab 1. Kobaran Api

“Si yatim lewat!”

Teriakan itu membuat Agam tersentak, tapi dia berpura-pura tidak mendengar. Ia melangkah lebih cepat, berharap bisa menembus kerumunan tanpa insiden.

Namun, langkahnya terhenti ketika satu tangan kasar mendorong dadanya. Tubuhnya oleng, hampir jatuh.

“Jangan buru-buru lah, Gam. Kami kan kangen,” ujar remaja itu lagi, disambut tawa serentak.

Tawa itu menusuk telinga Agam, membuat jantungnya berdegup lebih kencang. “Apa sih, biar aku lewat saja,” ucapnya lirih.

Tetapi, tentu saja, permintaan itu tidak dihiraukan.

Salah satu dari gerombolan siswa itu menendang tas lusuh yang Agam bawa hingga terlempar ke sudut. Menyebabkan beberapa buku dan pulpen berserakan di lantai.

Agam akhirnya terpaksa membungkuk, memungut satu per satu barangnya dengan tangan gemetar.

“Hei, lihat gelandangan sekolah masih sibuk ngumpulin pulpen!” ejek yang lain.

Seketika, tawa mereka pecah lagi. Seolah-olah penderitaan orang lain adalah hiburan paling manis.

“Tidak heran kalau kau begini, Gam. Orang tuamu mati pun mungkin karena tidak sanggup menanggung beban punya anak gagal sepertimu.”

Darah Agam berdesir. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk jantungnya.

Selama ini ia bisa menerima dihina soal kemiskinan, soal pakaiannya yang lusuh, soal wajahnya yang tampak letih.

Tetapi menyentuh mendiang ayah dan ibunya—itu garis batas yang tidak bisa dibiarkan.

Agam menegakkan tubuh. Matanya berkilat marah. “Jangan pernah hina orang tuaku!” serunya, suaranya bergetar antara marah dan sedih.

Namun kalimat itu hanya semakin memancing tawa.

“Kenapa? Marah? Memangnya bisa apa kau?”

Mendengar itu, Agam tak tahan lagi.

Tanpa berpikir panjang, dia melayangkan pukulan ke wajah anak itu hingga membuat lawannya mundur selangkah.

Suasana berubah tegang.

“ANJING! Apa-apaan?!” teriak salah satu dari mereka. “Bajingan ini sudah mulai berani rupanya?!”

Setelah itu, balasan pun datang bertubi-tubi. Agam dihantam dari kanan-kiri, ditendang hingga jatuh ke lantai.

Lututnya tergores, bibirnya pecah, tapi ia tetap berusaha melawan.

Sayang, jumlah tidak berpihak padanya. Empat lawan satu, jelas bukan pertarungan adil.

Pukulan dan tendangan menghujani tubuhnya tanpa ampun.

Hingga akhirnya Agam meringkuk di lantai, menahan sakit yang merambat dari kepala hingga ujung kaki.

Napasnya memburu, matanya basah oleh air mata yang tak tertahan.

“Rasakan! Yatim-piatu saja sok keras! Jangan buat malu orang tuamu di neraka!”

Setelah puas, mereka meninggalkan Agam begitu saja.

Namun, di dalam hati remaja itu, amarah sudah terlalu besar untuk padam. Lagi-lagi mereka menghina orang tuanya.

Oleh karena itu, Agam tak peduli lagi. Selama ini dia sudah berusaha menahan diri, tapi kali ini, tidak lagi.

Ia sangat tidak terima mendiang orang tuanya dihina sedemikian rupa. Mereka tidak boleh!

Perlahan ia bangkit, meski tubuhnya gemetar menahan sakit. Pandangannya kabur, tetapi tekadnya jelas, ia tidak akan tinggal diam.

Matanya tertumbuk pada sebuah tongkat besi, yang tadi sempat dipakai salah satu dari mereka untuk menakut-nakuti.

Dengan langkah terhuyung, Agam meraih tongkat itu. Genggamannya erat, seolah benda itu adalah satu-satunya alat yang bisa menyeimbangkan rasa sakit dan amarah.

“Jangan hina orang tuaku, bajingan!!” teriaknya lagi.

Sedetik kemudian, tongkat itu melayang menghantam kepala anak yang tadi mengolok mendiang ayah dan ibunya.

Bugh!

Suara keras terdengar. Seketika darah mengucur dari pelipis remaja itu.

“AARGH!!!”

Melihat itu, semua yang ada di sekitar terdiam. Chaos pun meledak dalam hitungan detik.

“Woy! Darah! Kepalanya bocor!”

“Cepat bawa ke UKS! Ke rumah sakit!”

Suasana sekolah mendadak riuh. Guru-guru berlari panik, murid-murid berkerumun, beberapa menjerit melihat darah yang mengalir.

Agam masih berdiri dengan tongkat di tangannya, napasnya tersengal, matanya kosong.

Segera, dua guru laki-laki menarik tubuhnya dengan kasar, menjauh dari kerumunan. “Agam! Apa yang kamu lakukan! Lepaskan tongkat itu!”

Tangannya direnggut, tubuhnya didorong ke ruang Bimbingan Konseling. Di ruangan itu, guru-guru berkumpul dengan wajah panik.

“Anak itu anak pejabat. Ayahnya baru saja menyumbang dana besar. Bagaimana bisa terjadi begini?”

“Padahal si Agam itu masuk karena beasiswa ayahnya Roni, tapi bisa-bisanya dia membocorkan kepala putra donatur!”

“Agam ini hanya tahu membuat masalah. Sudah nilainya jelek, tidak mampu membayar uang sekolah. Aku heran kenapa dia bisa sekolah di sini!”

Mendengar itu, Agam hanya duduk diam di kursi dengan kepalanya menunduk. Bisik-bisik dari para guru di ruangan itu bisa ia dengar dengan jelas.

Karena memang meski diucapkan dengan nada rendah, tapi suara mereka cukup jelas. Seakan mereka ingin Agam mendengar perkataan-perkataan itu dengan baik.

Tiba-tiba saja, seorang pria berjas hitam masuk ke dalam ruangan. Tanpa basa-basi, pria itu mengangkat tangan dan menampar wajah Agam yang sudah dipenuhi memar.

PLAK!!

“Serampangan! Bar-bar kamu! Kamu tidak tahu Roni Aditya itu siapa? Ayahnya donatur terbesar di sekolah ini! Pejabat tinggi! Kamu tidak sadar diri kalau kamu bisa sekolah di sini karena uang ayahnya?!” Pria itu berkata cepat dengan wajah tersengal.

Agam kenal dia, Kepala Sekolah SMA…, Bramantyo Kusuma.

Tahun lalu, Agam pernah mengunjungi ruangannya dengan tubuh dan kepala yang berdarah, hendak meminta perlindungan dari aksi bullying. Pria itu berjanji akan mengusut pelakunya, tapi hingga kini, dia tak berbuat apa-apa.

Sekarang, melihat tingkah Bramantyo yang seperti anjing penjilat tuan, Agam tak lagi heran mengapa Roni tak diadili seperti dia.

“Kamu di-skors selama dua minggu! Pulang dan merenunglah akan tindakanmu hari ini. Berdoalah agar jangan sampai kamu dan Nenekmu diusir dari kota!”

Mendengar itu, Agam terdiam dan tak membalas sepatah katapun selain bangkit dan berjalan gontai ke arah pintu keluar.

Tempat di mana lagi-lagi dia melihat puluhan pasang mata menatapnya rendah dan menghina.

****

Perasaan Agam bercampur aduk antara marah, sedih, dan bingung.

Sekarang, ia sedang memikirkan alasan tepat untuk menjelaskan perihal skorsing ini kepada Neneknya agar wanita tua itu tidak khawatir berlebih.

Oleh karena itu, Agam kemudian berhenti di depan gerobak ayam goreng kaki lima dan mengeluarkan selembar lembar uang dari sakunya.

Itu adalah sisa gajinya bulan ini, sedangkan gajian selanjutnya masih seminggu lagi.

Agam memang telah bekerja sebagai part-timer di sebuah perusahaan es krim. Gajinya tak banyak, tapi biasanya cukup untuk hidup berdua dengan Neneknya meski makanan yang mereka makan sederhana.

Namun, kali ini mesti kurang dari biasanya, karena beberapa hari lalu, salah seorang dari geng pembully itu memerasnya agar dibelikan rokok.

Agam memandang uang itu, harusnya cukup untuk membeli dua potong ayam dan sebungkus nasi.

“Buat Nenek,” gumamnya lirih. “Semoga saja rasa khawatir nenek bisa teralihkan.”

Agam lantas tersenyum dan mulai membayar dua potong ayam bagian paha setelah merequest ukuran paling besar.

Bagian paha lebih juicy, seharusnya lebih mudah bagi neneknya untuk makan.

Di jalan pulang, Agam kembali mengorek-ngorek ingatan lamanya.

Nenek pernah berkata dengan mata berkaca-kaca, “Makan enak itu tidak perlu mewah, Gam. Cukup ada ayam goreng hangat, Nenek sudah merasa seperti orang kaya.”

Agam saat itu hanya bisa terdiam. Ia tahu, ucapan Nenek bukan sekadar tentang makanan, melainkan tentang kebahagiaan sederhana yang tidak semua orang bisa rasakan.

Oleh karena itu, alih-alih khawatir dengan kondisinya, sore ini, ia ingin sekali lagi melihat senyum itu.

Dengan kantong plastik berisi ayam goreng, Agam melangkah pulang.

Namun, di kejauhan, ia melihat sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.

Asap hitam pekat membumbung tinggi ke langit.

Jantung Agam mendadak terasa seperti dicengkram dan berhenti berdetak.

Ia mulai berlari.

Semakin dekat semakin cepat hingga dadanya sesak. Jelas bahwa asap itu berasal dari arah rumahnya.

“Tidak! Jangan…tolong… Nenek!” suara Agam tercekat.

Sayangnya, lagi-lagi nasib tidak berpihak padanya.

Sesampainya di ujung gang, matanya terbelalak. Rumah kecilnya—satu-satunya tempat ia dan Nenek berlindung—telah dilahap api.

Api menjilat atap, dinding kayu runtuh, suara gemuruh terdengar di antara teriakan warga yang berusaha membantu.

“NENEK!!!” teriak Agam dengan tubuh gemetar.

Kantong plastik berisi ayam goreng jatuh dari tangannya, isinya tumpah di jalanan.

Ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu, Neneknya masih di dalam.

Namun sebelum ia bisa menerobos, beberapa orang menahan tubuhnya. “Jangan masuk, Gam! Bahaya! Api terlalu besar!”

Agam meronta, berteriak, dan air mata mengalir. “BIARKAN AKU MASUK! NENEK!!”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca