Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pewaris Tahta dari Masa Depan

Pewaris Tahta dari Masa Depan

Wisesa | Bersambung
Jumlah kata
63.2K
Popular
289
Subscribe
102
Novel / Pewaris Tahta dari Masa Depan
Pewaris Tahta dari Masa Depan

Pewaris Tahta dari Masa Depan

Wisesa| Bersambung
Jumlah Kata
63.2K
Popular
289
Subscribe
102
Sinopsis
FantasiFantasi TimurRajaDewaBalas Dendam
Kecelakaan mengenaskan membuat Mahesa mengira hidupnya sudah berakhir. Namun, ia terbangun kembali di tubuh pemuda lain, tepat di zaman penuh intrik setelah perang Paregreg. Pengetahuan yang dibawanya dari masa depan membuatnya berhasil menarik perhatian sang putri penguasa, Dyah Suhita. Berbekal rahasia masa depan yang dia bawa, Mahesa perlahan menapaki jalan menuju tahta yang bahkan tidak pernah terbayangkan. Mahesa hanya harus memilih hidup dengan cara menyedihkan atau bangkit sebagai pewaris tahta!
Bab 1

“Lama-lama aku jadi gila kalau hidup begini terus.” Mahesa bicara sambil menggaruk rambut yang gatal karena ketombe.

Bagaimana tidak berketombe, dia saja tidak pernah membeli sampo. Tapi untuk beli sampo butuh uang dan Mahesa selalu kekurangan uang!

Dia memutar anak kunci sambil melirik ke kiri dan kanan. Aman, semua penghuni kos sudah di kamar masing-masing. Pemilik kos sepertinya juga sudah tidur sejak tadi.

Jam dinding kamar kost menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas ketika Mahesa masuk.

“Malam ini aku bisa tidur di atas kasur,” pikirnya dengan senang hati sambil melirik kasur tipis peninggalan pemilik kamar sebelumnya.

Setidaknya itu jauh lebih baik daripada harus tidur di depan emperan toko lagi malam ini.

Mahesa masih mengenakan jaket hijau pudar dengan logo ojek online di punggungnya. Helm sudah dia taruh di lantai, sayang rasa letih masih belum juga pergi.

Badannya pegal, lengan juga terasa berat setelah seharian memegang setang motor. Karena itulah dia nekat pulang walau menghadapi resiko bertemu pemilik kos yang galaknya melebihi setan.

Dia merebahkan diri di kasur tipis yang terletak di pojok kamar yang juga sempit dan berbau apak karena lama tak dibersihkan.

Dindingnya kusam, catnya sudah hampir terkelupas semua. Hanya ada meja kecil dengan buku-buku kuliah pertanian berserakan.

“Aku lupa membeli roti,” ucapnya saat mendengar perutnya bergemuruh kencang.

Dia kelaparan, sayangnya saat ini Mahesa hanya memegang uang dua ribu perak saja. Tidak cukup untuk membeli nasi atau mie instan.

Akhirnya yang bisa Mahesa lakukan hanyalah menutup mata. Pikirannya melayang ke rumah di kampung. Terbayang wajah bapaknya yang buta karena kecelakaan dua tahun lalu dan harus menumpang hidup di rumah kakaknya Mahesa.

Kakak yang sayangnya sering memaki bapak karena dianggap menyusahkan kehidupan si anak. Karena sering mendengar keluhan bapak, Mahesa memutuskan untuk mengirimkan sebagian besar penghasilannya.

Dia hanya menyisakan sedikit saja, sekedar cukup untuk bertahan hidup di ibukota. Sedangkan lainnya… Mahesa hanya bisa pasrah pada nasib.

Rasa kantuk hebat membuatnya segera terlelap, tapi rasanya dia baru tertidur beberapa menit ketika suara gedoran keras membuyarkan segalanya.

Dug! Dug! Dug!

“Mahesa! Keluar kamu!” suara berat yang sangat ditakutkan Mahesa akhirnya terdengar.

Dia menggedor lagi, kali ini lebih keras disertai dengan tendangan.

Mahesa tersentak bangun. Jantungnya berdetak cepat karena kaget sekaligus takut.

Daun pintu yang terus ditendang hampir roboh sehingga Mahesa terpaksa membukanya walau agak takut-takut.

Sedetik kemudian dia berhadapan dengan Pak Gendon, pemilik kost yang berbadan tambun.

Pak Gendon mendorong Mahesa sampai dia mundur ke belakang beberapa langkah.

Tubuhnya yang setipis triplek memang tidak sanggup menahannya.

“A-ada apa malam-malam begini, Pak?” tanya Mahesa setelah berhasil menyeimbangkan tubuh, tentu saja kali ini dia memastikan jarak mereka sudah cukup jauh.

“Apa? Kau masih berani tanya ada apa? Dua bulan kamu belum bayar!” bentak Pak Gendon sambil mengangkat dua jari tangannya yang gemuk.

Mahesa menelan ludah dengan susah payah. “Saya… saya memang belum bisa bayar, Pak. Tapi saya janji minggu depan—”

“Minggu depan, minggu depan terus! Dari sebulan lalu janjimu selalu sama!”

“Pak, tolong beri saya tambahan waktu sedikit lagi. Besok saya coba cari pinjaman—”

“Tidak ada besok! Sekarang juga kamu keluar dari sini!”

Suara Pak Gendon menggelegar keras membuat penghuni kost yang lain terbangun dan mengintip dari balik pintu.

Wajah Mahesa terasa panas karena malu, lagi-lagi dirinya diperlakukan seperti ini. Hanya saja… kali ini dirinya memang salah.

“Tolonglah, Pak,” ucapnya memelas.

“Kamu keluar dengan kesadaran sendiri atau kulempar ke jalan?”

Mahesa terdiam.

Matanya sayu saat Pak Gendon hanya memberinya waktu sepuluh menit untuk segera pergi dari kamar kos.

Dia tidak punya pilihan lain kecuali segera memasukkan pakaian ke dalam ransel hitam lusuh. Buku-buku catatan kuliah ikut diselipkan. Hanya itu harta berharganya.

Tidak ada yang lain.

“Makanya sadar diri! Kalau tidak sanggup bayar kos, tinggal saja di kolong jembatan! Bergabung dengan para pengemis!” bentak Pak Gendon.

Seolah belum puas memaki, dia juga meludah ke kaki Mahesa. Namun, pemuda itu masih sempat menarik kaki tepat pada waktunya.

Pak Gendon mendengus lalu meraup kunci di tangan Mahesa. Dia berlalu pergi sambil mengomel panjang pendek tentang jumlah pendatang yang membuat ibukota semakin terasa sempit.

Mahesa menggigit bibir sambil menuruni anak tangga. Dia sudah kelewat lelah jadi tidak sanggup lagi kalau harus tidur di luar malam ini.

“Damar, mungkin aku bisa menginap di kamar Damar malam ini,” ucapnya sumringah.

Damar tinggal di lantai tiga kost yang sama. Damar selama ini cukup akrab dengannya dan sering membantunya meminjamkan sedikit uang.

Mahesa menarik napas panjang lalu kembali masuk ke area kost, kali ini memutuskan lewat tangga samping agar tak terlihat Pak Gendon.

Perlahan Mahesa menaiki tangga kayu yang berderit halus. Setiap langkah terasa menegang karena takut kepergok Pak Gendon.

Sampai di lantai tiga, Mahesa bergegas mendekati kamar Damar. Namun, dia berhenti berjalan ketika samar-samar mendengar suara tawa perempuan.

“Damar bawa cewek ke dalam kamar?” pikirnya heran.

Alis Mahesa semakin berkerut lebih dalam karena mengenal suara tawa itu.

Bunga. Kekasihnya.

Tangan Mahesa gemetar saat mendorong pintu yang tak terkunci.

“Bunga…”

Hanya itu yang bisa dikatakan Mahesa saat melihat Bunga ada dalam pelukan Damar.

Tidak ada alasan masuk akal yang bisa menjelaskan kenapa kekasihnya bermesraan dengan lelaki lain yang juga teman baiknya.

Damar terlonjak kaget tapi ekspresinya segera berubah jadi kesal. “Mahesa! Apa-apaan kamu masuk tanpa izin?”

Bunga buru-buru melepaskan pelukan mereka, tapi sorot matanya tak menampakkan penyesalan. Bibirnya justru memamerkan seluas senyum tipis yang membuat darah Mahesa mendidih.

“Akhirnya dia tahu juga,” katanya sambil melirik Damar lalu terkikik geli.

“Ketahuan?” ulang Mahesa seperti orang bodoh. Saat ini kepalanya berdengung hebat sehingga dia sulit memahami setiap patah kata yang diucapkan mereka berdua.

“Aku dan Damar sudah lama berpacaran. Bahkan lebih lama dari aku dan kamu,” sahut Bunga enteng.

Mahesa memandangnya dengan tatapan kosong. Dia tidak mengerti mengapa nasibnya jadi sangat menyedihkan. “Kenapa?”

“Kenapa?” Bunga memicingkan mata. “Apalagi kalau bukan karena kamu pintar? Kamu rela mengerjakan semua tugas kuliahku jadi aku bisa pacaran dengan Damar sepuasnya.”

Mahesa tersenyum pahit. Dia memandang Damar, berharap temannya itu tidak tahu menahu.

“Aku yang mengusulkan ide itu,” kata Damar tanpa menunggu ditanya. “Kamu memang pintar tapi juga bodoh. Gampang dikibuli.”

Jawaban Damar membuat Mahesa nyaris kehilangan akal. Ia melangkah maju hendak menghajar Damar.

Namun Damar sudah lebih dulu mendorong dadanya dengan kasar.

Brak!

Tubuh Mahesa terhuyung. Dia berusaha bertahan, tapi punggungnya sudah menempel pada pagar besi balkon lantai tiga.

Damar mendorong lagi, kali ini lebih keras.

“Orang menyedihkan sepertimu tidak pantas hidup di dunia ini,” kata Damar dingin.

Tubuh Mahesa yang kurus bisa diangkatnya dengan mudah. Mahesa berusaha melawan, tapi dia tidak punya tenaga lagi.

Dalam sepersekian detik, seisi dunia seakan berjalan dengan lambat. Mahesa bisa merasakan tubuhnya diangkat tinggi lalu melayang bebas.

Dug!

Tubuh Mahesa menghantam tanah dengan keras. Rasa sakit menyambar ke seluruh badan.

Sebelum semua menjadi gelap, satu kalimat melintas di pikirannya, “Kenapa aku harus hidup menyedihkan seperti ini?”

Lanjut membaca
Lanjut membaca