Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
ABBIERAKA, Sang Gangster Muda

ABBIERAKA, Sang Gangster Muda

FM_Kwok | Bersambung
Jumlah kata
95.0K
Popular
1.4K
Subscribe
240
Novel / ABBIERAKA, Sang Gangster Muda
ABBIERAKA, Sang Gangster Muda

ABBIERAKA, Sang Gangster Muda

FM_Kwok| Bersambung
Jumlah Kata
95.0K
Popular
1.4K
Subscribe
240
Sinopsis
PerkotaanAksiGangsterBadboyPria Miskin
Abbieraka, remaja delapan belas tahun yatim piatu, berjuang sendirian demi sesuap nasi. Hidupnya di jalanan tak pernah lepas dari ancaman para preman, terutama Botak dan kawanannya yang memaksa mengambil hasil kerja kerasnya sebagai tukang parkir. Antara lapar, hinaan, dan ketidakberdayaan, Abbieraka menyimpan tekad untuk lepas dari cengkeraman mereka. Namun ia belum tahu, cobaan yang lebih besar masih menantinya, ujian yang akan mengubah jalan hidupnya selamanya.
Bab.1 Kehidupan Di Jalanan

Abbieraka menarik napas dalam-dalam sambil memandangi langit kelabu dari balik atap seng yang bocor di gubuk kecilnya. Tetesan air hujan menetes tepat di atas kasur tipis yang sudah lusuh, memaksanya untuk bergeser ke sudut ruangan yang masih kering.

Usia delapan belas tahun seharusnya menjadi masa-masa indah untuk seorang remaja. Seharusnya dia sedang duduk di bangku sekolah, bercanda dengan teman-teman sebaya, atau bahkan mungkin sudah mulai memikirkan masa depan. Tetapi kenyataan hidup Abbieraka jauh dari kata indah. Sejak ayahnya meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan kerja di pabrik, dan ibunya menyusul setahun kemudian karena sakit yang tak kunjung sembuh, Abbieraka harus berjuang sendirian di jalanan yang keras.

Perut Abbieraka berbunyi keras mengingatkannya bahwa dia belum makan sejak kemarin sore. Dengan langkah gontai, dia bangkit dari kasur dan mengambil sandal jepit yang sudah putus talinya. Hari ini dia harus kembali ke persimpangan Jalan Raya Bogor untuk menjadi tukang parkir. Itulah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk bertahan hidup.

Hujan mulai reda ketika Abbieraka sampai di lokasi. Persimpangan itu sudah ramai dengan pedagang kaki lima yang mulai membuka lapak mereka. Ada mang Udin yang jual bakso, teh Sari yang jual nasi uduk, dan pak Budi yang jual rokok eceran. Mereka semua sudah mengenal Abbieraka dengan baik, bahkan kadang-kadang memberikan makanan gratis ketika melihat anak itu benar-benar kelaparan.

"Pagi, Abbie!" sapa teh Sari sambil mengangkat tangan. "Mau nasi uduk? Masih anget nih!"

Abbieraka tersenyum tipis. "Nanti aja, Teh. Kalau udah dapat duit."

Dia berjalan menuju posnya di ujung persimpangan, tempat biasanya dia mengatur parkir motor dan mobil yang ingin berbelanja di pasar tradisional di seberang jalan. Pekerjaannya sederhana: mengatur agar kendaraan parkir dengan rapi, menjaga agar tidak ada yang mencuri, dan memungut uang parkir seikhlasnya dari para pemilik kendaraan.

Tapi hari itu berbeda. Ketika Abbieraka baru saja mulai mengatur parkir motor pertama, tiga orang pemuda berusia sekitar dua puluh tahunan menghampirinya. Yang paling depan adalah Botak, si preman lokal yang sudah lama menguasai wilayah ini. Badannya kekar dengan tato naga di lengan kanan, dan wajahnya selalu memasang ekspresi garang.

"Eh, bocah!" teriak Botak sambil menunjuk Abbieraka. "Lu pikir ini wilayah siapa?"

Abbieraka menelan ludah. Dia sudah berkali-kali berhadapan dengan Botak dan kawanan-kawannya. Setiap kali dia berhasil mengumpulkan uang dari parkir, para preman ini selalu datang untuk merampas hasil jerih payahnya.

"Gue cuma kerja, Bang," jawab Abbieraka dengan suara pelan. "Gak ganggu siapa-siapa."

"Kerja?" Botak tertawa keras. "Lu kerja di wilayah gue tanpa izin! Mana uang kemarin?"

"Kemarin gue gak dapet apa-apa, Bang. Hujan terus, gak ada yang parkir."

PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi Abbieraka. Pipinya langsung memerah dan terasa panas.

"Jangan bohong sama gue!" bentaknya. "Gue lihat kemarin lu masih di sini sampai sore!"

Dua anak buah Botak yang berdiri di belakang mulai mengerubungi Abbieraka. Mereka adalah Gendut dan Kurus, dua orang yang selalu setia mengikuti kemana pun Botak pergi. Mata mereka menatap Abbieraka dengan tatapan mengintimidasi.

"Sekarang gini aja," kata Botak sambil menyilangkan tangan di dada. "Mulai hari ini, setengah dari hasil parkir lu harus disetor ke gue. Itu pajak perlindungan. Biar lu aman kerja di sini."

"Tapi Bang, kalau setengah diambil, gue makan apa?" Abbieraka memberanikan diri bertanya.

"Itu urusan lu! Yang penting gue dapet jatah gue. Paham gak?"

Abbieraka menunduk dalam-dalam. Dia tidak punya pilihan lain. Melawan Botak sama saja bunuh diri. Pemuda itu sudah beberapa kali melihat bagaimana Botak dan kawanannya menghajar orang-orang yang berani melawan mereka.

"Paham, Bang," gumamnya pelan.

"Bagus. Gue akan datang sore-sore buat ngambil jatah gue. Kalau lu berani bohong atau lari, lu tau sendiri akibatnya."

Setelah mengancam, Botak dan kedua anak buahnya pergi meninggalkan Abbieraka yang masih terdiam di tempatnya. Pipi kanannya masih terasa nyeri karena tamparan tadi. Beberapa pedagang yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah prihatin.

Seharian itu Abbieraka bekerja dengan perasaan berat. Setiap motor atau mobil yang parkir, dia atur dengan baik. Setiap pemilik kendaraan yang memberikan uang parkir, dia terima dengan senyum tipis. Tapi di hatinya terus bergolak perasaan marah dan frustasi. Mengapa hidupnya harus sesulit ini? Mengapa dia harus selalu ditindas oleh orang-orang seperti Botak?

Ketika matahari mulai condong ke barat, Abbieraka menghitung uang hasil parkirnya. Total ada lima puluh ribu rupiah. Lumayan untuk ukuran hari biasa. Tapi ingat ancaman Botak, dia harus menyisihkan setengahnya. Itu berarti dia hanya mendapat dua puluh lima ribu rupiah. Cukup untuk makan hari ini, tapi bagaimana dengan besok?

Tepat pukul lima sore, Botak datang dengan kedua anak buahnya. Wajah mereka terlihat santai seolah-olah mereka baru saja selesai jalan-jalan di mall.

"Mana hasilnya?" tanya Botak langsung to the point.

Dengan tangan gemetar, Abbieraka menyerahkan dua puluh lima ribu rupiah. Botak menghitung uang itu sambil menatap Abbieraka curiga.

"Cuma segini? Lu yakin gak ada yang lu sembunyiin?"

"Itu semua yang gue dapat, Bang. Hari ini sepi."

Botak menatap Abbieraka tajam, seolah-olah sedang mengukur apakah pemuda itu sedang berbohong atau tidak. Setelah beberapa detik, dia memasukkan uang itu ke saku celana.

"Oke. Besok gue datang lagi jam yang sama. Jangan coba-coba macem-macem ya!"

Setelah mereka pergi, Abbieraka berjalan tertatih menuju warung teh Sari. Sisa uang dua puluh lima ribu itu dia gunakan untuk membeli nasi uduk dan teh manis. Setidaknya hari ini perutnya tidak akan keroncongan.

"Kenapa Abbie?" tanya teh Sari sambil menyiapkan pesanan. "Kok mukanya kusut begitu?"

"Gak apa-apa, Teh. Cuma capek aja."

Teh Sari yang sudah seperti ibu sendiri bagi Abbieraka itu menatapnya dengan penuh perhatian. Sebagai sesama warga kecil, dia paham betul bagaimana kerasnya kehidupan di jalanan.

"Kalau ada apa-apa bilang aja ya, Nak. Teh Sari mungkin gak bisa banyak bantu, tapi setidaknya bisa dengerin curhatan."

Abbieraka tersenyum tipis. Di tengah kerasnya hidup di jalanan, masih ada orang-orang baik seperti teh Sari yang mau peduli dengan nasibnya. Tapi dia tidak bisa terus-menerus mengandalkan belas kasihan orang lain. Dia harus menemukan cara untuk lepas dari cengkeraman Botak dan para preman lainnya.

Malam itu, sambil tiduran di kasur tipis yang basah karena bocornya atap, Abbieraka merenungkan nasibnya. Berapa lama lagi dia harus hidup seperti ini? Berapa lama lagi dia harus menjadi budak para preman? Dalam kegelapan malam, dia bersumpah dalam hati suatu saat akan membalas semua perlakuan buruk yang dia terima.

Lanjut membaca
Lanjut membaca