

Malam itu, langit terlihat tak biasa. Kota Metropolitan yang biasanya dihiasi cahaya lampu neon, billboard raksasa, dan hiruk-pikuk kendaraan, tiba-tiba terasa sunyi di tengah keramaian. Orang-orang menengadah, sebagian berteriak, sebagian lagi mengangkat ponsel mereka untuk merekam.
Di antara kerumunan itu, dua mahasiswa berusia dua puluhan berdiri di trotoar sebuah gedung bioskop.
"Vin, kamu lihat nggak? Itu... bukan pesawat komersial kan?" Raka menunjuk ke arah langit. Suaranya bergetar, meski ia mencoba terlihat tenang.
Dengan jaket kulit hitamnya yang khas, Davin malah nyengir. "Please, Rak. Pesawat apaan bisa melayang-layang kayak gitu, tanpa suara, tanpa baling-baling, tanpa sayap? Jelas bukan buatan manusia."
Di atas mereka, sebuah benda raksasa berbentuk piring berkilau melayang anggun. Dari pinggirannya, sinar-sinar biru berputar, seolah menyapu setiap gedung tinggi. Suasana terasa mencekam, tapi juga membuat orang tak bisa mengalihkan pandangan.
"Kurasa itu cuma... drone raksasa. Atau, mungkin iklan hologram. Kamu tahu kan teknologi sekarang makin gila," ujar Raka cepat, mencoba mencari alasan logis.
Davin melirik sahabatnya dengan tatapan meremehkan. "Hologram apaan bisa bikin orang-orang segitu paniknya? Itu nyata, Rak. UFO. Itu Alien. Makhluk luar angkasa."
"Gak mungkin! Kamu kebanyakan nonton film sci-fi, Vin."
Davin mendengus. "Dan kamu kebanyakan ngabisin waktu buat main game online. Makanya otakmu beku kalau lihat fenomena gini."
Raka melotot. "Ngomong-ngomong soal otak beku, siapa yang semester lalu hampir drop out gara-gara nongkrong terus? Aku apa kamu?"
"Astaga, jangan bawa-bawa nilai kuliah. Kita lagi lihat sejarah, Rak! Ini... ini epic! Dunia bakal ingat malam ini." Davin mengangkat ponselnya, mencoba merekam benda yang perlahan bergerak di atas gedung pencakar langit.
Sementara itu, orang-orang di sekitar mulai panik. Ada yang berteriak histeris, ada pula yang langsung kabur. Sirene polisi dan mobil pemadam kebakaran mulai terdengar dari kejauhan.
"Vin, kita cabut aja deh. Aku nggak mau jadi korban pertama drama sci-fi." Ajak Raka sambil menarik lengan sahabatnya.
Davin menepisnya. "Justru ini kesempatan langka! Kalau kita dapet rekaman jelas, channel sosmedku bisa viral, Rak! Bayangin, headline besok pagi: Dua Mahasiswa Pertama yang Rekam UFO di Jakarta!"
Raka menghela napas panjang. "Kamu pikir netizen peduli? Besok juga dikira editan. Lagian, kalo itu beneran alien, terus mereka nggak suka direkam, gimana? Bisa-bisa kepalamu meledak kayak di film."
Davin terkekeh. "Berarti matiku keren. Lebih keren daripada mati karena tersedak cilok."
Belum sempat Raka membalas, UFO itu tiba-tiba berhenti tepat di atas mereka. Cahaya biru terang memancar dari bagian bawahnya, menembus langit yang dipenuhi awan tipis. Orang-orang menjerit, beberapa langsung tersungkur ketakutan.
"Vin... Vin... VIN!" Raka mulai panik. "Kenapa dia berhenti di atas kita? Ini nggak lucu!"
Davin justru melangkah maju. "Rak, ini gila... dia seolah... nge-lock kita."
"Lock apaan! Kita bukan karakter game, woy!"
Cahaya biru semakin kuat. Davin mengangkat ponselnya lebih tinggi, berusaha merekam sebanyak mungkin. Tapi tiba-tiba layar ponselnya berkedip lalu mati total.
"Kok... mati. Kenapa sinyal tiba-tiba ilang!" gumamnya kecewa.
"Udah kubilang, jangan sok pahlawan. Yuk, cabut sekarang, Vin!" Raka kembali menarik jaket Davin dengan paksa.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, sebuah sorotan cahaya biru melesat turun, mengenai Davin tepat di dadanya.
"VIN!!!" Raka berteriak kencang.
Tubuh Davin terangkat beberapa sentimeter dari tanah, matanya membelalak. Sinar biru itu menembus kulitnya, membuat pembuluh darah di seluruh tubuhnya tampak bercahaya.
"A-apa ini...?" Davin terengah, suaranya bergetar.
Raka berusaha menarik tubuh sahabatnya, tapi cahaya itu begitu kuat, mendorongnya mundur. Ia terjatuh ke trotoar, lututnya terbentur.
"Vin!!" teriak Raka penuh rasa khawatir.
Di tengah rasa sakit dan kebingungan, Davin masih sempat tertawa getir, " Aku masih mau lulus dulu, Rak!"
"Astaga, bahkan di ambang kematian kamu masih sempet bercanda!"
Tiba-tiba, cahaya itu meredup. Tubuh Davin jatuh menghantam aspal dengan keras.
"VIN!" Raka langsung merangkak mendekat. Ia menepuk-nepuk pipi sahabatnya. "Vin, bangun! Jangan bikin aku takut!"
Perlahan, Davin membuka mata. Yang mengejutkan, matanya bersinar biru elektrik beberapa detik sebelum kembali normal. Ia terbatuk keras, berusaha duduk.
"Aku... aku masih hidup?" Davin menatap tangannya, yang kini memantulkan cahaya biru samar.
Raka melongo. "Kok matamu... kayak lampu neon, Vin."
Davin terkekeh lemah. "Seluruh tubuhku terasa kaku."
"Ini serius, Vin! Ada cahaya keluar dari tubuhmu! Itu tidak normal! Kita harus ke rumah sakit!"
"Ngaco kamu, Rak?" Davin menggeleng sambil mencoba berdiri. " Aku rasa... ini awal sesuatu yang besar."
Sementara mereka berdebat, UFO itu bergerak perlahan menjauh, meninggalkan jejak cahaya di langit. Sirene polisi semakin dekat, dan orang-orang mulai berlari ke segala arah.
Davin menatap ke langit dengan napas terengah. "Rak... Kurasa mereka salah sasaran."
Raka menatapnya ngeri. "Ya, selamat deh. Kamu terpilih jadi eksperimen Alien. Semoga besok pas bangun kamu nggak lupa ingatan."
"Semakin ngaco!"
"Serius Vin, ini bukan waktunya bercanda! Kita harus kabur sebelum polisi atau... atau apapun itu nangkep kita!"
Davin menatap sahabatnya, lalu kembali menatap tangannya yang masih berpendar samar. Hatinya berdebar kencang. Sesuatu yang aneh, yang asing, kini mengalir di tubuhnya.
Ia tidak tahu apa artinya, tapi satu hal pasti, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah malam ini.
Orang-orang yang tadi merekam kini saling dorong untuk menjauh. Beberapa bahkan berteriak histeris, "Itu tadi cahaya apaan, ya!"
Raka menoleh ke sekeliling, wajahnya makin pucat. "Vin, semua orang lihatin kamu yang kayak lampu diskotik sesaat tadi! Besok pasti kita masuk berita, gara-gara jadi headline terpapar Alien!"
Davin berdiri goyah, menepuk-nepuk jaketnya yang penuh debu. "Tenang, Rak. Kalo aku beneran jadi alien, aku bakal bawa kamu keliling dunia.
" Wah, pasti seru! Tapi aku mau hidup normal, Vin. lulus kuliah, nikah, punya anak, cicil rumah. Bukan dikejar pemburu berita!" jerit Raka miris.
Lampu-lampu kendaraan polisi sudah mulai terlihat di ujung jalan. Dua mobil hitam tanpa plat nomor berhenti mendadak, orang-orang berseragam gelap keluar sambil menenteng alat aneh mirip senjata.
"Vin..." Raka menelan ludah. "Kurasa itu bukan polisi biasa."
Davin menoleh dengan senyum miring. "Akhirnya... adegan di film-film akan terjadi malam ini, keren..."
"Ini bukan keren, Vin. Ini bahaya buat kita!"
Tanpa berpikir panjang, Raka menarik lengan Davin dan berlari masuk ke dalam gang sempit di samping gedung bioskop. Nafas mereka memburu, langkah tergesa.
Davin tersenyum getir di tengah kepanikan. "Rak, kayaknya kamu bener. Kita akan jadi bagian dari film sci-fi..."
"Jangan melucu!" geram Raka yang memang tidak terlalu suka bercanda.
Suasana kota semakin riuh, para pembawa berita sibuk mencari informasi terbaru, mereka beramai-ramai mewawancarai orang yang kebetulan melihat fenomena langka tadi.