

'Hampir saja telat. Kalau telat lagi, bisa-bisa kena potong gaji.'
Selesai bersih-bersih, Paijo duduk di balik kasir sambil menunggu pembeli datang.
Saat ini, belum masuk jam makan siang sehingga restoran masih sepi.
Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama. Beberapa menit setelahnya, pintu restoran dibuka dengan kasar.
"Mana Manajer di tempat ini?!"
Suara itu nyaring, tajam, dan jelas berasal dari seseorang yang merasa dirinya lebih tinggi dari semua orang di ruangan itu.
Paijo cepat-cepat berdiri. "Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu—"
Kata-katanya terputus begitu ia melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.
Seorang wanita berwajah angkuh melangkah masuk, dagu terangkat, sikapnya seperti pemilik dunia.
Di belakangnya menyusul seorang pria bertubuh kekar—tukang pukul lokal yang pernah Paijo lihat memukuli pedagang buah sampai tersungkur.
Keduanya berjalan masuk seolah sedang sweeping cari masalah.
Butuh beberapa detik sampai potongan kejadian kemarin siang kembali melintas di kepala Paijo.
Wanita itu… yang bikin ribut kemarin.
Wanita itu berhenti tepat di depan kasir, memandang Paijo dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu mendengus.
"Kamu lagi? Hmph!! Mana manajer kamu? Saya ingin bertemu sekarang!"
Sebelum Paijo sempat membuka mulut, Pak Wandi sudah keluar dari ruangannya.
Melihat wanita itu di sana, senyum sang manajer langsung merekah selebar pintu restoran.
"Eh! Kamu Linda Aurora, kan?" serunya kagum.
Baru saat itulah Paijo ingat. Wanita itu adalah Linda Aurora—selebgram yang lagi naik daun karena sering muncul sebagai cameo di drama pendek online.
Sapaan Wandi membuat Linda menunjuk Paijo sambil mengangkat tas desainernya yang putus.
"Pegawaimu ini kemarin merusak tasku. Tahu tidak?! Sekarang aku minta ganti rugi!"
Seketika Paijo teringat detail kejadian kemarin. Saat itu ia memang sempat beradu kata dengan Linda karena wanita itu bersikeras merokok di dalam ruangan.
Tidak terima ditegur, Linda bangkit dari kursinya dengan wajah masam, lalu melempar uang dua ratus ribu ke meja seolah sedang membuang sampah.
Sebelum pergi, dia sempat menuding tepat ke wajah Paijo, "Awas kau. Aku bikin hidupmu susah!!"
Sekarang, Paijo memperhatikan tas mewah yang menempel di lengan Linda. Penuh logo LV, tapi jelas itu bukan tas yang ia bawa kemarin.
'Jadi… ini maksud ancamannya waktu itu?'
"Sa–saya tidak…" Paijo mencoba mengklarifikasi, tetapi Linda sudah mengeluarkan ponselnya.
Dengan senyum kemenangan, ia menyerahkannya pada Pak Wandi.
Video itu menampilkan Paijo merobek tali tas dengan kasar—rekaman yang jelas merupakan hasil editan AI.
Pak Wandi menatap layar itu, lalu menoleh dengan sorot mata menusuk. "Buktinya sudah jelas. Kamu mau bilang apa lagi?"
Linda melipat tangan, bibirnya terangkat dalam senyum sinis. Ia menonton Paijo terpojok seolah sedang menikmati pertunjukan favoritnya.
Terjepit situasi, Paijo tak diberi ruang untuk menjelaskan. "Saya memang tidak melakukannya. Namun, kalau memang itu mau Anda, sore ini saya akan bawa tasnya ke tukang servis dan..."
"Apa? Servis?" Nada Linda melengking sinis. "Saya mau kamu ganti! Enak saja cuma diservis!!"
Ia mengangkat tas itu sedikit, memamerkan nilainya.
"Ini tas empat puluh juta, tahu?! Tapi karena kamu jelas-jelas nggak mampu, saya baik hati cuma minta kamu bayar setengahnya!"
Linda memainkan ponselnya, layar menyala menunjukkan thumbnail video yang sangat dikenali Pak Wandi.
"Sebagai penanggung jawab, tentu Pak Wandi mau tanggung jawab, kan?" Linda mengendikkan bahu, nada suaranya santai.
"Kalau tidak… saya nggak bisa jamin, lho, kalau nggak ada sesuatu yang naik malam ini."
Mendengar itu, wajah Pak Wandi mendadak pucat.
Ia memang seorang manajer, tapi posisinya itu didapatkan berkat bertahun-tahun kerja keras dan lembur tanpa dibayar.
Reputasi restoran ini adalah fondasi terakhir yang ia punya.
Oleh karena itu, sekali saja nama restoran tercoreng gara-gara video dari selebgram sekelas Linda, maka karier yang ia bangun dengan susah payah bisa runtuh dalam semalam.
Paijo tertegun, tak mampu membela diri sebelum kalimat berikutnya menghantamnya lebih keras.
"Pulang sekarang dan nggak usah kembali lagi!" Pak Wandi mendekat, suaranya merendah namun jauh lebih menusuk.
"Untuk sisa belasan juta itu… lebih baik kamu lunasi sebelum bulan depan. Kalau tidak, ijazah kamu tidak akan saya kembalikan!"
Paijo tersentak, "Tapi, kalau tidak ada ijazah saya nggak bisa cari kerja yang lain?"
"Urusannya sama saya apa?! Sekarang juga kamu pergi dari sini dan jangan kembali. kecuali untuk melunasi hutangmu!" teriak Pak Wandi sambil mengarahkan tangannya pada pintu keluar.
Paijo akhirnya melepas apron sebelum dengan gontai melangkahkan kaki meninggalkan restoran.
Ia tidak berani pulang, karena pasti Pak Kusno, si pemilik kontrakan akan kembali menagih uang sewa yang belum dibayar tiga bulan.
'Sekarang aku harus bagaimana?' Paijo bergumam sambil berjalan tanpa arah.
Dia terus berjalan hingga langit gelap. Pikirannya benar-benar kacau dan ia menyesali nasibnya yang begitu buruk.
Saat perutnya mulai keroncongan. Di kantongnya hanya tersisa dua puluh ribu.
Dengan helaan napas panjang, ia akhirnya mengarahkan langkah ke angkringan terdekat, membeli sebungkus nasi kucing dan sepotong tempe mendoan untuk menipu rasa lapar.
Namun, belum sempat dimakan, seseorang memegangi lengannya dari belakang.
Paijo menoleh dan mendapati seorang nenek tua berbadan bungkuk dan memanggul buntelan kain tengah meringis menahan sakit.
"Nak, Nenek lapar, sudah tiga hari ini tidak makan. Apa boleh Nenek minta makan?"
Mendengar itu, perlahan Paijo melirik kantong plastik dalam genggamannya, kemudian kembali menatap wanita tua di hadapannya.
Wanita itu sangat kurus dan terlihat lemah. 'Sebaiknya kuberikan ini saja padanya. Aku masih muda. Harusnya aku bisa menahan lapar hingga esok hari.'
"Nek, aku cuma punya ini, nggak banyak tapi mudah-mudahan bisa mengganjal perut Nenek."
Paijo menyodorkan kantong kresek dan memberikan selembar uang sepuluh ribu pada nenek itu.
Wanita tua itu langsung berbinar, menerima pemberian Paijo sambil berulang kali mengucap terima kasih.
Saat mengambil uang itu, ujung jari mereka bersentuhan dan tiba-tiba, genggaman nenek itu menutup erat, lebih kuat dari yang Paijo bayangkan.
"Terima kasih, ya., Nak."
Paijo balas tersenyum kecil, "Sama-sama, Nek."
Nenek tua itu menatap Paijo dalam-dalam sebelum akhirnya ia berbalik dan meninggalkannya.
Namun tanpa disadari oleh Paijo, wanita tua itu menggumamkan sesuatu: 'Kebaikanmu ini tidak akan sia-sia.'
Paijo lalu melangkah lagi tanpa tujuan. Kakinya membawa diri ke tepi sebuah jembatan tua.
Di sana, bulan purnama menggantung besar dan utuh di langit, menumpahkan cahaya peraknya ke permukaan sungai.
"Bapak, Ibu, Kenapa dulu kalian pergi tidak sekalian membawa Paijo juga?"
Paijo menatap jauh, mencoba merasakan memori kedua orang tua angkatnya yang beberapa waktu lalu berpulang karena kecelakaan.
Namun di tengah kesedihannya, sebuah cahaya tiba-tiba memancar dari kedalaman sungai. Terang—menyilaukan—dan anehnya bergerak cepat.
Dalam sedetik, cahaya itu melesat ke arahnya dan menembus dahinya.
Seketika dunia berhenti dan suara mekanis terdengar.
[Host! Selamat datang di dunia Sistem!]
[Sebagai hadiah perkenalan, dana 100.000.000 telah ditransfer ke rekeningmu!]