Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Dengan Sistem DOMIKADO aku & teamku kaya raya

Dengan Sistem DOMIKADO aku & teamku kaya raya

Ikromee | Bersambung
Jumlah kata
68.6K
Popular
615
Subscribe
48
Novel / Dengan Sistem DOMIKADO aku & teamku kaya raya
Dengan Sistem DOMIKADO aku & teamku kaya raya

Dengan Sistem DOMIKADO aku & teamku kaya raya

Ikromee| Bersambung
Jumlah Kata
68.6K
Popular
615
Subscribe
48
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeMiliarder
Sinopsis Ardi (24) kebingungan dengan biaya rumah sakit dan operasi ibunya yang harus segera cuci darah atau mencari donor untuk menggantikan ginjal yang sudah rusak. Terlahir dari keluarga yg sangat sederhana, semakin jatuh ke bawah semenjak ayahnya meninggal. Dan hanya bisa bertahan dengan menjadi kurir lepas. Hingga akhirnya muncul di ponselnya sistem DOMIKADO, tentang ramalan yang jika dilakukan akan mendapatkan banyak uang, namun anehnya semakin dia menggunakan, kenangan dalam ingatannya perlahan ikut hilang. Apa yang harus dilakukan Ardi dengan sistem DOMIKADO-nya?
1. Kepepet

Asap knalpot terasa seperti racun yang merayap perlahan ke dalam paru-paru Ardi. Ia berhenti sejenak di tepi jalan yang macet, menyeka keringat yang membasahi pelipisnya dengan punggung tangan yang dekil.

Panas aspal Jakarta siang itu serasa memanggang sol sepatunya yang sudah menipis. Di punggungnya, tas kurir berwarna oranye yang sudah pudar terasa lebih berat dari biasanya, bukan karena isinya, tapi karena beban hidup yang ia pikul bersamanya.

"Satu pengiriman lagi. Satu alamat di gedung perkantoran mewah yang menjulang angkuh, kontras dengan motor bebek bututnya yang terbatuk-batuk di bawah," gumam Ardi pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tenggelam oleh deru klakson.

Ponselnya bergetar, menampilkan nama "Dispetser Rizal".

"Mas Ardi, paket untuk lantai 27 atas nama Bapak Hartono. Jangan telat, ya. Ini dokumen penting," suara Rizal dari seberang telepon terdengar nyaring dan tanpa basa-basi, seperti biasa.

"Siap, Bang. Ini sudah dekat," jawab Ardi, berusaha agar suaranya terdengar lebih bersemangat daripada perasaannya.

Ia kembali membelah kemacetan, menyelinap di antara mobil-mobil berkilau yang penumpangnya mungkin sedang mengeluhkan suhu AC yang kurang dingin. Bagi Ardi, keluhan seperti itu adalah sebuah kemewahan.

Kemewahannya hari ini adalah jika ia bisa membeli makan malam dengan lauk telur dadar, dan jika ibunya tidak menelepon dengan keluhan sesak napas.

Setengah jam kemudian, setelah melalui prosedur keamanan yang rumit dan tatapan merendahkan dari beberapa karyawan yang berpapasan dengannya di lobi, Ardi akhirnya berdiri di depan pintu mahoni berpelitur mengilap di lantai 27.

Ia menekan bel. Tak lama, pintu terbuka.

Seorang wanita muda dengan pakaian necis berdiri di ambang pintu. Rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya dipoles make up tipis yang elegan.

Ia menatap Ardi sekilas, tatapan yang lebih mirip melihat benda mati daripada manusia.

"Paket untuk Bapak Hartono?" tanya Ardi, menyodorkan paket.

Wanita itu mengangguk tanpa suara. Ia menerima paket itu, lalu mengambil ponsel Ardi dan menandatangani bukti pengiriman digital tanpa menatap wajah Ardi sedikit pun.

Jari-jarinya yang lentik menari di layar retak ponsel Ardi.

"Terima kasih," kata Ardi sopan, meskipun ia tahu wanita itu mungkin tidak peduli.

Wanita itu hanya memberikan senyum tipis ala kadarnya, lalu menutup pintu.

Bagi dunia ini, Ardi hanyalah bayangan tak terlihat yang memastikan roda bisnis mereka terus berputar.

Saat lift membawanya turun, ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan dari dispetser. Nama "Ibu" tertera di layar retaknya.

Jantung Ardi berdebar sedikit lebih kencang. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri sebelum mengangkat panggilan.

"Halo, Bu. Gimana? Sudah enakan?" sapanya, mencoba terdengar ceria.

Terdengar suara batuk lemah dari seberang.

"Sudah, Di. Tadi suster sudah kasih obat. Cuma mau tanya, kamu sudah makan?"

Ardi tersenyum getir. Di tengah rasa sakitnya, ibunya masih selalu memikirkannya.

"Sudah, Bu. Tadi makan enak di warteg. Ibu istirahat saja, ya. Nanti malam Ardi bawakan bubur ayam kesukaan Ibu."

"Jangan repot-repot, Di. Uangnya ditabung saja..." suara Bu Lastri terdengar serak.

"Tidak repot, Bu. Sudah, ya. Ardi lanjut kerja lagi."

Ia menutup telepon, bersandar pada dinding lift yang dingin. Kebohongan kecil itu terasa pahit di lidahnya. Ia belum makan sejak pagi. Uang di sakunya hanya cukup untuk bensin dan membayar parkir.

Untuk bubur ayam, ia harus menyelesaikan setidaknya dua pengiriman lagi. "Semoga ada orderan lagi," bisiknya, menatap pantulan dirinya yang kuyu di dinding lift.

Malam harinya, Ardi tiba di rumah kontrakan petak mereka. Aroma lembap dan obat-obatan langsung menyambutnya. Ia melihat ibunya, Bu Lastri, terbaring lemah di atas kasur tipis di ruang tengah yang juga berfungsi sebagai kamar tidur mereka.

Wajah wanita yang dulu selalu ceria itu kini pucat dan tirus. Gagal ginjal menggerogoti sisa-sisa kekuatannya.

"Ini buburnya, Bu," kata Ardi sambil membantu ibunya duduk. Ia meletakkan mangkuk bubur ayam hangat di atas meja kecil di samping kasur.

Bu Lastri tersenyum tipis. "Terima kasih, ya, Nak. Kamu pasti capek sekali."

"Tidak apa-apa, Bu. Yang penting Ibu mau makan." Ardi mengambil sendok dan mulai menyuapi ibunya perlahan.

"Gimana perasaan Ibu hari ini?"

"Ya begini, Di. Kadang sakit, kadang agak mendingan. Tapi lihat kamu pulang, Ibu jadi senang." Bu Lastri menelan bubur dengan susah payah.

Sambil menyuapi ibunya, Ardi memikirkan tagihan cuci darah minggu depan. Memikirkan tunggakan sewa kontrakan yang sudah dua bulan.

Dan yang paling menakutkan, memikirkan vonis dokter tentang satu-satunya solusi permanen: transplantasi ginjal. Biayanya?

Sebuah angka yang begitu astronomis hingga Ardi bahkan tidak berani membayangkannya.

Setelah ibunya tertidur, Ardi

duduk di sudut ruangan, diterangi cahaya remang dari lampu jalan yang menembus celah jendela. Ia membuka aplikasi perbankan di ponselnya.

Saldo: Rp 78.500. Napasnya terasa sesak. Ia sudah bekerja sekeras yang ia bisa. Mengambil semua order yang masuk, bahkan yang paling jauh sekalipun.

Tapi uang itu selalu terasa seperti pasir yang lolos dari genggaman.

"Bagaimana caranya, ya Allah?" bisiknya, menunduk dalam.

****

Ardi bisa melihat kerapuhan di mata ibunya setiap kali ia pulang. Berat badan Bu Lastri terus menyusut, dan napasnya semakin sering tersengal.

"Di, Ibu... Ibu takut," kata Bu Lastri suatu sore, suaranya nyaris tak terdengar.

Ardi segera mendekat, menggenggam tangan ibunya yang kurus.

"Takut kenapa, Bu? Ada Ardi di sini."

"Ibu takut merepotkanmu. Takut... takut tidak bisa melihatmu bahagia."

Air mata menggenang di pelupuk mata Bu Lastri.

"Ibu tidak pernah merepotkan Ardi. Kebahagiaan Ardi itu Ibu sembuh. Itu saja."

Ardi berusaha tersenyum meyakinkan, meskipun hatinya perih.

Di luar kontrakan, tagihan demi tagihan menumpuk.

Surat peringatan dari pemilik kontrakan sudah dua kali datang. Motornya pun sering mogok karena kurang perawatan. Ardi merasa terhimpit di antara semua masalah ini.

Ia bekerja dari pagi hingga larut malam, terkadang hanya tidur tiga atau empat jam.

Suatu malam, saat Ardi baru pulang dari mengantar paket terakhirnya, ia melihat sebuah notifikasi di ponselnya. Grup chat kurir.

Seseorang membagikan berita tentang seorang kurir yang tertangkap karena mencuri barang mewah dari paket yang diantarnya.

Komentar-komentar pedas memenuhi grup.

"Kasihan, pasti kepepet," tulis salah satu anggota.

"Kepepet bukan alasan untuk mencuri!" balas yang lain.

Ardi membaca komentar-komentar itu, entah mengapa, merasa ada sesuatu yang bergejolak dalam dirinya.

"Kepepet..." gumamnya. Kata itu berputar di benaknya. Ia memandang saldo rekeningnya yang kini tinggal Rp 25.000. Cukup untuk mengisi bensin satu liter.

Ia teringat sebuah percakapan beberapa waktu lalu dengan teman sesama kurir, Budi.

"Di, kalau mau uang cepat, ada jalan lain sebenarnya," kata Budi kala itu, matanya melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar.

"Jalan apa?" tanya Ardi penasaran.

"Bukan jalan yang benar, sih. Tapi kalau sudah kepepet, orang bisa gila. Ada yang 'main' barang yang mereka antar. Apalagi kalau isinya barang elektronik mahal." Budi menaikkan alisnya.

Ardi langsung menggeleng.

"Astaga, Bud. Jangan sampai begitu."

"Ya, makanya. Cuma cerita-cerita saja. Tapi jujur, kadang tergoda juga, melihat gaji kita segini-gini saja."

Percakapan itu kini terngiang lagi. Ardi memandang ke arah ibunya yang terbaring lemah. Jika ia melakukan itu, ia bisa mendapatkan uang lebih cepat.

Cukup untuk biaya cuci darah, mungkin untuk sewa kontrakan.

Tapi...

"Tidak, tidak mungkin," Ardi menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mengusir pikiran itu.

"Aku tidak akan mengkhianati kepercayaan."

Namun, bisikan itu terus datang. Setiap kali ia melihat wajah pucat ibunya, setiap kali ia mendengar batuk lemahnya, bisikan itu semakin kuat.

Bisikan yang mengatakan, "Apa salahnya? Hanya sekali. Demi ibumu."

Suatu hari, Ardi mendapatkan orderan mengantar sebuah kotak kecil ke daerah elit Jakarta Selatan.

Di deskripsi paket tertera "Perhiasan. Harap hati-hati."

Jantung Ardi berdebar kencang. Ia tahu, di dalam kotak itu pasti ada sesuatu yang sangat berharga.

Sepanjang perjalanan, kotak itu terasa panas di tasnya. Tangannya berkeringat dingin.

Ia membayangkan berapa nilai perhiasan di dalamnya. Mungkin cukup untuk beberapa bulan cuci darah.

Mungkin cukup untuk membayar tunggakan sewa.

Ketika sampai di alamat tujuan, Ardi berdiri di depan gerbang megah, memandangi kemewahan yang tak terjangkau.

Ia menekan bel. Hatinya bergejolak.

"Ini kesempatanmu," bisik setan di telinganya. "Tidak ada yang akan tahu."

Seorang asisten rumah tangga membukakan gerbang. Ardi menyerahkan paket itu dengan tangan gemetar.

Saat ia melihat asisten rumah tangga itu membawa masuk kotak kecil itu ke dalam rumah, ia merasa ada sesuatu yang hampa dalam dirinya.

Lega sekaligus menyesal. Ia telah menolak bisikan itu, tapi sampai kapan ia bisa bertahan?

Lanjut membaca
Lanjut membaca