Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Mengorbankan Hati Untukmu

Mengorbankan Hati Untukmu

Begenk Zerofour | Tamat
Jumlah kata
154.4K
Popular
691
Subscribe
76
Novel / Mengorbankan Hati Untukmu
Mengorbankan Hati Untukmu

Mengorbankan Hati Untukmu

Begenk Zerofour| Tamat
Jumlah Kata
154.4K
Popular
691
Subscribe
76
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeCinta SekolahMisteriPewaris
Tahun 2015. Julian Draxler dan Alya Violetta dua sahabat masa kecil yang sempat terpisah kini kembali dipertemukan di bangku SMA. Kehadiran Alya menghangatkan kembali hidup Julian yang sebelumnya sunyi. Mereka berbagi kenangan, tawa, dan mimpi, seperti dulu ketika kecil. Namun di balik kebersamaan itu, Julian memendam sebuah rahasia yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia memilih tetap tersenyum dan mendampingi Alya, meski hatinya sendiri perlahan ia korbankan demi kebahagiaan orang yang paling berarti baginya. Perjalanan mereka penuh momen manis, luka, dan pengorbanan yang tidak pernah terucap. Hingga bertahun-tahun kemudian, kisah itu menemukan akhirnya.
Bab 1. Hari Pertama yang Tidak Biasa

Suasana SMA Nusantara pagi itu riuh rendah. Di antara para siswa yang lalu lalang, Julian Draxler berjalan tenang dengan wajah datar. Buku di tangannya tak pernah lepas, seolah seluruh dunia hanyalah angka dan kata-kata. Dia pendiam, berprestasi, idola sekolah. Setiap langkahnya membuat siswa lain berbisik kagum.

Sampai suara nyaring seseorang memecah ketenangannya.

“Eh! Kamu jalan kok kayak robot aja sih?!”

Julian mendongak. Di depannya berdiri seorang gadis dengan rambut hitam panjang, mata berbinar penuh semangat. Tasnya penuh gantungan boneka. Alya Violetta. Teman masa kecil yang dulu ia kenal manis dan penurut, kini berubah jadi gadis yang seperti badai kecil.

Julian mengerutkan kening. “Alya?”

“Akhirnya kamu ingat!” Alya menepuk bahunya dengan akrab. “Aku pindah ke sini mulai hari ini. Dan lihat, ternyata kamu masih dengan gaya cool-cool-mu itu.”

Julian memiringkan kepala. “Dan kamu… masih bawel.”

Alya mendengus. “Dasar es batu berjalan. Bahkan ketemu teman lama pun ekspresinya begitu-begitu aja.”

Julian menghela napas dan melangkah ke kelas, tapi Alya langsung mengikuti di sampingnya. “Eh, tunggu. Kita belum cerita banyak. Aku harus pastikan kamu nggak berubah jadi alien total.”

“Alien?” Julian menatapnya dingin.

Alya terkekeh. “Ya, alien pintar yang nggak punya rasa humor.”

Beberapa siswa yang lewat berhenti sebentar, menonton interaksi keduanya. Pemandangan yang aneh: sang idola sekolah yang selalu pendiam, kini punya gadis cerewet yang mengekorinya.

Julian berhenti sejenak, menatap Alya. “Kita harus ke kelas. Bel sudah hampir bunyi.”

“Ya sudah, jalan bareng!” Alya menjawab cepat. “Sekali-kali biar dunia tahu kalau Julian punya teman manusia juga.”

Julian hanya bisa menghela napas lagi. Namun di sudut bibirnya ada senyum kecil yang nyaris tak terlihat. Di balik adu kata-kata kecil itu, ada rasa hangat yang perlahan muncul kenangan masa kecil yang seakan hidup kembali.

Bel masuk berbunyi. Julian duduk di bangku belakang seperti biasa, membuka catatan. Saat ia hendak mulai membaca, suara kursi di sebelahnya terdengar berderit. Alya duduk di sampingnya tanpa izin.

Julian mengangkat alis. “Kursi itu sudah ada yang punya.”

“Sekarang punya aku,” jawab Alya enteng. “Aku sudah minta izin sama Bu Guru buat duduk di sini. Katanya boleh.”

Julian memejamkan mata sebentar. “Kenapa harus di sini? Ada banyak bangku kosong.”

Alya menyandarkan dagu di tangan. “Supaya kamu nggak kesepian. Lagi pula aku butuh tutor gratis. Siapa lagi kalau bukan si jenius sekolah?”

Beberapa teman mereka mulai berbisik, heran melihat interaksi itu.

Guru masuk, memulai pelajaran. Alya berusaha fokus tapi beberapa kali melirik Julian, lalu mencoret-coret kertas, lalu mengedipkan mata nakal. Julian berusaha mengabaikan, tetapi tangannya akhirnya bergerak menuliskan rumus di kertas Alya dengan cepat.

“Ini jawabannya. Jangan salah lagi,” katanya dingin.

Alya tersenyum lebar. “Aku tahu kamu masih baik. Dasar es batu berhati hangat.”

Julian pura-pura tak mendengar. Tapi di dalam dadanya ada sesuatu yang berbeda—semacam getaran halus yang sudah lama ia lupakan.

Di luar kelas, beberapa murid sudah mulai berbisik-bisik.

“Siapa gadis baru di sebelah Julian itu?”

“Kok berani banget dekat sama dia?”

“Lucu juga lihat Julian jadi begini.”

Julian tetap duduk diam, menulis catatan. Alya bersandar ke kursinya, menatap papan tulis sambil tersenyum. Ia merasa seperti kembali ke masa kecil mereka, hanya saja kini dalam dunia yang baru—sekolah, teman-teman baru, dan rahasia masing-masing yang belum terungkap.

Bagi Julian, pertemuan ini seperti pintu kecil yang tiba-tiba terbuka. Ia belum tahu ke mana pintu itu akan membawanya. Namun ia bisa merasakan satu hal: hidupnya yang selalu teratur dan sunyi, kini mulai diwarnai oleh langkah seorang gadis yang berjalan di sampingnya.

Istirahat pertama tiba. Suara kantin berdesakan memenuhi udara; aroma bakso, gorengan, dan mie instan bercampur jadi satu. Julian berjalan pelan menuju taman belakang sekolah—tempat favoritnya untuk membaca buku tanpa gangguan.

Namun, suara langkah kaki cepat mengejarnya.

“Ketemu lagi, Es Batu!” seru Alya sambil berlari kecil.

Julian berhenti, menoleh. “Kamu nggak punya teman selain aku?”

Alya terkekeh, tak tersinggung. “Ada. Tapi mereka lagi di kantin. Aku mau ikut kamu dulu. Aku penasaran, kamu sekarang masih suka ngumpet di tempat sepi kayak dulu nggak.”

Julian tak menjawab. Ia duduk di bangku taman yang teduh di bawah pohon flamboyan. Buku di tangannya ia buka, tapi matanya sesekali melirik Alya yang juga duduk—atau lebih tepatnya, setengah rebahan di bangku seberangnya.

Alya mengedarkan pandangannya. “Wah, tempatnya masih sama persis kayak dulu ya. Kita pernah main petak umpet di sini waktu SD.”

Julian berhenti membaca. Kenangan itu muncul begitu saja: seorang bocah lelaki bersembunyi di balik pohon, seorang bocah perempuan berlari-lari sambil tertawa, mencari sambil berteriak namanya.

“Dulu kamu suka nangis karena nggak nemu aku,” ucap Julian pelan, tanpa menoleh.

Alya langsung duduk tegak. “Eh, jangan mengungkit itu! Malu tau…” pipinya memerah sedikit.

Julian mengangkat alis, menahan senyum. “Padahal sekarang kamu cerewet sekali.”

Alya memukul pelan bahu Julian. “Dasar! Aku bukan cerewet, aku cuma… ekspresif.”

Julian kembali menatap bukunya. “Namanya juga cerewet.”

Alya mendengus. “Kita lihat aja nanti. Aku bakal bikin kamu lebih banyak ngomong, Julian Draxler.”

Suasana taman itu terasa seperti pertemuan dua dunia yang bertabrakan: ketenangan Julian dan energi Alya. Angin berhembus, membawa aroma bunga flamboyan. Sejenak, waktu terasa melambat.

Alya lalu menoleh, pandangannya melembut. “Aku senang akhirnya kita ketemu lagi, Jul…”

Julian diam sebentar, lalu menutup bukunya. “Aku juga,” katanya lirih.

Bel berbunyi lagi, tanda pelajaran berikutnya dimulai. Alya berdiri sambil merapikan seragamnya. “Ayo balik. Aku nggak mau dimarahi guru di hari pertama sekolah.”

Julian bangkit. Mereka berjalan berdampingan kembali ke kelas, langkah keduanya berbeda ritme satu tenang, satu riang, namun entah bagaimana terasa cocok.

Dari kejauhan, beberapa siswa memperhatikan mereka. Mereka belum tahu, kisah antara Julian dan Alya akan menjadi cerita yang lama dibicarakan di sekolah itu—cerita tentang dua orang yang berbeda dunia, tetapi terikat oleh masa lalu yang belum selesai.

Bel berbunyi panjang. Siswa-siswa berhamburan kembali ke kelas. Julian berjalan lebih dulu, Alya masih mengikutinya sambil bercerita tentang guru-guru di sekolah barunya.

Koridor agak padat. Tiba-tiba, bruk! seseorang menabrak bahu Julian cukup keras hingga buku yang ia bawa hampir terjatuh.

Julian menghentikan langkah, menoleh. Seorang siswa laki-laki dengan napas terengah berdiri di depannya. Rambutnya sedikit berantakan, dasi seragamnya miring, wajahnya panik.

“Maaf, Jul! Tolong aku!” katanya cepat. Lalu, tanpa pikir panjang, dia langsung bersembunyi di belakang Julian.

Julian mengangkat alis. “Alex…” suaranya datar.

Alya menoleh penasaran. “Teman kamu?”

Sebelum Julian menjawab, suara langkah-langkah kecil terdengar dari ujung koridor. Sekelompok siswi berjalan sambil celingukan. Salah satunya memegang surat berwarna merah muda.

“Alex Noerdin ke mana ya?” bisik salah satu dari mereka. “Aku cuma mau kasih surat cinta…”

Alya menahan tawa melihat Alex yang berjongkok di belakang Julian. “Ini seriusan? Kamu kabur dari fans?”

Alex mendesis pelan. “Bukan fans, Alya… Itu pasukan surat cinta. Tiap istirahat mereka ngejar aku!”

Julian memutar bola matanya. “Kamu nggak berubah, ya.”

Para siswi itu akhirnya berlalu ke arah lain. Alex berdiri lagi dengan wajah lega. “Makasih, Jul! Kamu penyelamatku.”

Alya menatap mereka berdua dengan mata berbinar. “Oh, jadi kalian ini sahabatan? Pantes aja. Yang satu es batu, yang satu api unggun. Kocak juga.”

Alex nyengir lebar. “Nama lengkapku Alex Noerdin. Sahabat Julian dari SMP. Dan… kamu pasti Alya yang sering dia ceritain waktu dulu itu?”

Julian menoleh cepat. “Aku nggak pernah cerita…”

Alya tertawa. “Wah, jadi kamu cerita juga ya tentang aku.”

Julian menghela napas. “Kita masuk kelas sebelum bel berbunyi lagi.”

Mereka bertiga berjalan berdampingan. Alya masih senyum-senyum, Alex melambai-lambai seperti anak kecil, dan Julian tetap dengan wajah datarnya. Di sepanjang koridor beberapa siswa memperhatikan mereka, penasaran dengan kombinasi aneh tiga orang itu.

Di dalam kelas, Julian kembali ke bangkunya. Alya duduk di sebelahnya, Alex memilih bangku di depan mereka. Ketiganya sama-sama diam sebentar, lalu Alya berbisik, “Sepertinya hari-hari kita di sekolah ini bakal seru banget.”

Julian tidak menjawab, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit senyum tipis yang jarang terlihat.

Lanjut membaca
Lanjut membaca