Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Rahasia di Balik Lensa

Rahasia di Balik Lensa

awanbulan | Bersambung
Jumlah kata
143.1K
Popular
442
Subscribe
60
Novel / Rahasia di Balik Lensa
Rahasia di Balik Lensa

Rahasia di Balik Lensa

awanbulan| Bersambung
Jumlah Kata
143.1K
Popular
442
Subscribe
60
Sinopsis
18+PerkotaanSekolahHarem21+Cinta Sekolah
Seorang fotografer penyendiri. Beberapa gadis dengan rahasia yang tak bisa mereka sembunyikan. Di ruang klub yang redup, mereka bertemu saling membuka diri, sedikit demi sedikit, di antara cahaya, lensa, dan keheningan. Setiap foto menyimpan cerita. Tapi tidak semua cerita bisa diabadikan.
1 Tiba tiba

Pertama kali dia datang ke ruang klub fotografi adalah pada hari pertama sekolah setelah libur Lebaran. Aku penasaran, apa sih yang nyaman dari ruang redup tempat aku sendirian di sini, tapi sekarang dia sering mampir ke sini, dan hari ini pun tak terkecuali.

"Kak, dengerin aku, dong."

Mereka datang sambil menunjukkan raut muka kesal.

"Ada apa?" tanyaku dengan ekspresi sama sekali tak tertarik sambil membaca komik di sofa ruang klub.

Dengan suara plop, Lestari duduk di sebelahku. Bahu kami hampir bersentuhan, dan aku merasa agak gelisah. Kurasa dia menyembunyikannya, tapi... mungkin.

"Ditinggalin."

"Ya, kenapa kalian masih pacaran? Kalau nggak bahagia, mending putus aja."

Dia menggembungkan pipi di sampingku, jadi gampang banget lihat ekspresi yang dia buat.

"Putus itu nggak mungkin. Lagipula, dia kan mahasiswa."

"Aku nggak paham. Lagipula, aku ini introvert dan nggak terlalu suka gaul, jadi aku nggak ngerti, kan? Kenapa kamu ke sini dan ngeluh soal pacarmu ke aku?"

"Yah, punya pacar mahasiswa yang punya mobil itu kayak simbol status buat cewek SMA, kan? Kalau dia cerita ke temen-temennya, mereka bakal nganggep nggak sopan dan bakal ngejek, kan?"

"Kalau gitu, apa nggak masalah kalau cerita ke aku?"

"Kakak kan selalu dengerin ceritaku."

Aku siswa kelas dua SMA. Aku satu-satunya anggota klub fotografi SMA Merdeka. Sampai tahun lalu, ada beberapa siswa kelas tiga, tapi mereka semua udah lulus dan pensiun, jadi tahun ini cuma aku yang tersisa. Nama ku Arif Nayan.

Orang yang duduk di sebelahku sekarang adalah Lestari, siswi SMA kelas satu. Seperti yang sudah kusebut tadi, pertama kali dia datang ke ruang klub itu di awal Mei. Aku pergi ke pertandingan sepak bola resmi klub selama libur Lebaran untuk mengambil beberapa foto buat dokumentasi sekolah. Lestari dan temen-temennya lihat aku di sana.

Hari itu, aku juga lagi ikut kegiatan klub, jadi aku pakai ban lengan bertuliskan "Klub Fotografi". Dari situ, identitasku sebagai anggota klub ketahuan.

Senin berikutnya, setelah pertandingan resmi, Lestari datang ke ruang klub sepulang sekolah.

"Halo, Kak."

Senyumnya lebar dan tangannya terangkat di depan wajahnya. Aku nggak cuma dapat kesan bahwa dia orang yang ceria, tapi aku juga yakin dia tipe yang supel banget, jadi aku siap-siap.

"Siapa? Mau apa?" tanyaku.

"Nama aku Lestari, kelas satu. Aku mau minta Kakak bagi beberapa foto dari pertandingan sepak bola kemarin. Teman aku ngefans banget sama pemain bintang itu."

Sepertinya dia ke sini buat urusan. Kalau gitu, kenapa temennya nggak datang sendiri, pikirku. Tapi aku nggak mau ngobrol panjang sama dia karena aku mati-matian berusaha nutupin aura klub yang nggak dikenal siapa pun, apalagi sama anak baru.

"Buat apa nyerahin foto pribadi sekarang?"

"Ya, satu foto aja cukup, kok."

Nada bicaranya manis dan memohon. Kurasa aku emang nggak suka sama orang kayak gitu, atau lebih tepatnya, aku cenderung menghindari mereka.

"Hmm..."

Aku ragu sejenak.

"Aku nggak bisa kasih foto apa pun yang diambil pake kamera klub tanpa izin sekolah, tapi kalau foto yang kuambil pake ponsel, nggak masalah, deh."

"Oh! Berhasil!" serunya.

"Maksudku, bukannya temenmu sendiri yang ngambil fotonya?"

"Soalnya pandangannya jauh dari lapangan."

Ya, bener juga. Karena aku yang bertugas ngambil foto, aku ada di dekat bangku cadangan, jadi cukup dekat sama pemain. Aku juga ambil beberapa foto percobaan pake ponsel, dan hasilnya cukup jelas.

"Kalau gitu, tukeran kontak, yuk."

Dengan itu, Lestari arahin ponselnya ke aku.

Aku nggak pernah nyangka hal kayak gini bakal bikin kontak cewek masuk ke aplikasi chatku.

Itulah awal pesan dari Lestari.

"Kak, hari ini ada di ruang klub lagi?"

"Kegiatan klub cuma hari Senin, Rabu, dan Jumat."

Aku bilang gitu, tapi sebenarnya aku cuma baca. Aku cuma buang-buang waktu baca komik dan novel.

Satu-satunya kegiatan yang bener-bener kulakuin adalah motret klub lain. Aku cuma motret setiap klub setahun sekali. Buat klub olahraga, itu di pertandingan resmi. Buat klub budaya, di kompetisi. Meski begitu, hari liburku biasanya terbuang percuma, apalagi pas akhir pekan panjang, jadi aku tetap pengen bangga sama kegiatanku.

Foto-foto itu kemudian dipajang di pameran sekolah pas acara sedekah bumi, menandakan akhir kegiatan tahun ajaran. Buat siswa kelas tiga, itu waktu pensiun mereka.

Lestari mulai muncul di kegiatan klub yang damai ini. Dia bukan anggota klub.

Setelah motret, ada penyuntingan dan pengorganisasian data, plus nyiapin laporan kegiatan buat diserahin ke OSIS, jadi banyak yang harus dikerjain. Tapi, kalau kita ikut kegiatan klub tiga kali seminggu selama satu jam di sela-sela kegiatan, kita punya banyak waktu luang. Makanya aku habisin hari itu santai sendirian di ruang klub.

"Akhirnya, kami pacaran. Katanya dia pemain sepak bola kampus yang menjanjikan."

Aku denger cerita ini setelah pertandingan klub sepak bola yang kusebut tadi. Rupanya, beberapa alumni yang dulu anggota klub sepak bola SMA kami nonton pertandingan itu, dan Lestari digodain. Lestari antusias banget, dan balik ke aku buat ceritain interaksi mereka.

"Hmm..." gumamku.

"Eh... nggak tertarik?"

"Maksudku, apa itu nggak apa-apa?"

"Hmm? Apa maksudnya?"

"Hmm... ya nggak apa-apa, sih."

"Apa sih? Cemburu karena aku punya pacar?"

"Jangan remehin orang penyendiri yang bahkan hindarin sosialisasi. Aku nggak bakal cemburu sama hal kayak gitu."

"Ya, udah, aku ngerti."

Alumni yang jadi pacar Lestari lulus tahun lalu, jadi sekarang dia mahasiswa tahun pertama. Setelah masuk universitas, dia gabung klub sepak bola.

Tapi, apa iya mahasiswa yang aktif di klub universitas punya waktu buat keliling pake mobil mereka pas datang nonton pertandingan junior mereka selama libur Lebaran?

Pertanyaan kayak gitu bikin aku punya satu hipotesis.

Klub sepak bola SMA Merdeka cukup kuat di daerah ini, tapi tahun lalu, hampir nggak pernah kedengeran ada siswa yang lanjut ke universitas lewat rekomendasi klub olahraga. Dengan kata lain, dia masuk klub lewat jalur reguler, tapi mungkin frustrasi sama kualitas sepak bola universitas, nggak ikut timnya ke pertandingan, dan bahkan bolos latihan, jadi dia kebanyakan waktu luang.

Atau, kalau ada beberapa klub sepak bola, dia mungkin gabung sama klub yang bukan yang terbaik. Atau, yang lebih absurd, dia mungkin gabung sama komunitas, bukan klub. Itu bakal jadi hal terburuk buat Lestari.

Ya, sudahlah, itu nggak terlalu penting buatku, jadi aku biarin aja samar-samar.

Begitulah Lestari mulai sering ke ruang klub fotografi, dan interaksi kami pun dimulai. Kami cuma ngobrol—sekitar setengahnya dia ngeluh soal pacarnya.

Dan sekarang, di akhir Mei, langit mendung.

Meski begitu, gorden ruang klub tertutup rapat, jadi nggak mungkin lihat apa yang terjadi di luar. Ruang klub, yang luasnya kira-kira setengah ruang kelas biasa, cuma diterangi lampu.

"Jadi? Maksudmu, biarin aja?"

"Oh! Kakak dengerin aku!"

Mata Lestari kelihatan berbinar. Aku cuma pengamat, jadi mungkin ini cuma tebakanku, tapi nada suaranya ngasih kesan gitu.

"Setelah kami bercinta—"

Dia baru aja bilang gitu. Apa dia beneran bakal ceritain hal kayak gitu secara terbuka sekarang?

Tapi, Lestari lanjut, entah dia tahu kegelisahanku atau nggak.

"Begitu selesai, dia langsung cuek. Kayaknya dia main sama cewek lain."

"Aku nggak ngerti," kataku.

Entah kenapa, aku berhasil bicara tanpa gemetar. Kegelisahanku seharusnya nggak kelihatan... mungkin.

"Aku berharap dia perlakukan aku lebih baik dan kasih aku lebih banyak perhatian. Kalau aku bersikap gitu, aku bakal ngambek, jadi aku nggak punya pilihan lain selain buru-buru pake baju dan pulang."

"Aku, aku ngerti..."

"Aku belum pernah ngerasain orgasme lewat penetrasi, jadi aku pengen coba juga."

Aku, aku ngerti...

"Sulit, ya. Banyak hal yang harus dipikirin pas pertama kali ketemu seseorang."

"Hmm? Pertama kali?"

"Bukannya gitu?"

"Pengalaman pertamaku pas aku kelas dua SMP."

Dunia ini bener-bener nggak kupahami. Apa serunya terlibat dalam percintaan sejak SMP? Percintaan itu rumit banget, dengan segala hubungan antarmanusia yang ruwet.

"Ngomong-ngomong, boleh tanya nggak, berapa orang yang pernah tidur sama kamu?"

"Enggak, nggak apa-apa. Alangkah senangnya kalau aku bisa bilang gitu dengan muka nggak tertarik. Aku bisa ngerasa sedikit lebih baik."

"Yah, buat jaga-jaga..."

Dasar bodoh!

"Hehe. Tiga. Aku punya pacar pertama pas kelas dua SMP, tapi kami putus setelah tiga bulan. Terus, pas kelas tiga, temen kenalin aku sama cowok SMA. Tapi kami putus sebelum masuk SMA. Dan sekarang, ya, pacarku yang sekarang."

Senyum Lestari bener-bener memikat. Tanpa sadar, aku udah ngalihin pandangan dari komik dan nge-liatin Lestari yang duduk di sebelahku.

Jangan langsung ngomongin topik kayak gini! Dasar bodoh!

Lanjut membaca
Lanjut membaca