Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Iblis Surgawi (Sayyan, The Heavenly Devil)

Iblis Surgawi (Sayyan, The Heavenly Devil)

Ayam Kampoeng | Bersambung
Jumlah kata
127.0K
Popular
314
Subscribe
68
Novel / Iblis Surgawi (Sayyan, The Heavenly Devil)
Iblis Surgawi (Sayyan, The Heavenly Devil)

Iblis Surgawi (Sayyan, The Heavenly Devil)

Ayam Kampoeng| Bersambung
Jumlah Kata
127.0K
Popular
314
Subscribe
68
Sinopsis
18+FantasiIsekaiPerangPertualanganSilat
Namanya Sayyan. Bocah bernasib malang, yang menyaksikan keluarganya dibantai dalam invasi brutal, menanamkan kebencian abadi terhadap perang dalam dirinya. Sayyan kecil dipungut oleh gerombolan perampok, dia ditempa menjadi petarung yang tangguh namun tetap memendam jiwa pemberontak. Bertahun-tahun kemudian, dia mengembara dengan kemampuan bela diri yang mumpuni, namun hatinya dingin dan suka penyendiri. Dendamnya bukan pada ras atau bangsa tertentu, melainkan pada konsep perang itu sendiri yang menghancurkan semua yang dicintainya. Tapi takdir berkata lain. Sayyan dipertemukan dengan seorang guru misterius yang mengajar dirinya menguasai tenaga dalam legendaris, "Kesadaran Universal". Kekuatan barunya memberinya kemampuan untuk melumpuhkan musuh tanpa perlu membunuh, menciptakan gaya bertarung yang unik dan mematikan. Di tengah pengembaraannya, dia bertemu dengan seorang gadis pemberani yang mulai meruntuhkan tembok hatinya. Sayangnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya, memaksa dia berhadapan dengan pasukan yang pernah menghancurkan hidupnya. Di ujung jurang antara kedamaian dan kekerasan, dia harus memilih: menjadi dewa penjaga atau iblis pencabut nyawa. Sebuah kisah balas dendam dan penebusan dosa, di mana satu orang berdiri melawan seluruh mesin perang, membuktikan bahwa satu pedang dapat mengubah takdir.
BAB 1 PROLOG: BANGKIT DARI ABU

Dingin. Itu hal pertama yang dirasakan Sayyan. Dinginnya tanah yang meresap hingga ke tulang, bercampur dengan hawa anyir darah yang telah membeku.

"Kaaaaak! Kaaaaaak!!!" Suara gagak ramai bersahutan seolah sedang berpesta pora. Sayyan membuka matanya perlahan. Langit kelabu menyambutnya, kontras dengan asap hitam yang masih mengepul dari sisa-sisa kehidupannya yang telah tak bernyawa.

Dengan tubuh gemetar, bocah berusia tujuh tahun itu berusaha bangkit. Setiap ototnya berteriak, setiap luka di tubuhnya seperti terbakar. Di sekelilingnya, hanya ada puing dan mayat. Mayat tetangga, mayat teman sepermainan, dan mayat keluarganya.

"Aaaa~~~ Sakit..."

Ingatannya kembali menyambar, bagai kilat petir di siang bolong. Teriakan ibunya, tawa sadis para serdadu bangsa Gobi, tubuh kakak perempuannya yang tak lagi bergerak setelah DIHAJAR ramai-ramai oleh serdadu yang tak bisa menahan syahwatnya, dan mata ayahnya yang melotot penuh ketakutan sebelum akhirnya sebuah pedang terhunus dan mencabut nyawanya.

"Kakak..." panggilnya pilu pada mayat kakaknya yang tampak tragis. Pakaian gadis itu koyak dengan darah bersimbah di wajah dan bagian bawah tubuhnya, di mana para serdadu bejat melampiaskan hasrat binatang mereka.

PERANG. Hanya satu kata itu yang terngiang di kepala Sayyan. Perang telah merenggut segalanya. Dia benci perang!!!

"Aaaaaaaaaaa!! Jahanam kalian semuaaaaaa!!!" pekik bocah itu memuntahkan amarahnya, dendamnya, yang bercampur rasa sedih yang mendalam.

GRUUUUK~~~

Sayyan seketika menatap ke arah tubuh bawahnya. Perutnya keroncongan, menampar amarah dan kesadarannya. Dia harus segera pergi. Dia harus menemui Tuan Naga Putih, majikannya. Mungkin di sana, di rumah tuan tanah yang kaya raya itu, ada keselamatan. Terutama makanan. Jujur saja... Rasa lapar lebih dominan daripada rasa sakit di sekujur tubuhnya.

"Mayat-mayat ini... Kenapa kelihatan enak ya?" gumam Sayyan. Saking laparnya, dia sampai berhalusinasi melihat daging mayat yang masih mengeluarkan darah segar itu seperti seoongok daging sapi segar.

Dengan langkah tertatih, dia menyusuri jalan desa yang telah menjadi kuburan massal. Rumah majikannya yang megah tak lagi berdiri kokoh dan angkuh. Rumah itu kini hanya tersisa kerangka kayu yang hangus dan batu-batu hitam yang terlihat menyeramkan. Tidak ada yang tersisa. Semuanya hilang. Semuanya terbakar, habis...

Kelaparan, rasa haus, letih dan luka parah akhirnya membuat Sayyan tak sadarkan diri di pinggir hutan. Apa yang dia lihat di matanya mulai mengabur, berganti dengan bayangan-bayangan hitam yang seakan mendekat dan akhirnya menelannya. Saat dia hampir menyerah, sebuah panggilan kasar dan tawa riuh menyadarkannya.

“Lihat nih, ada anak kecil yang tolol dan masih hidup! Hahaha” ucap salah satu diantara mereka.

Beberapa sosok berbadan tegap dan berkulit kasar dengan pakaian compang-camping dan senjata yang tergolong primitif mengelilingi Sayyan. Seorang pria dengan jenggot lebat, bermata sipit tapi lirikannya tajam, mendekati Sayyan. Matanya menyapu ke seluruh tubuh Sayyan yang kurus dan penuh luka.

“Bawa dia. Kalau dia hidup, anak itu masih bisa jadi budak kita,” perintah pria brewok itu, suaranya dalam dan berwibawa, tidak seperti penampilannya yang urakan.

Gerombolan itu bukan penyelamat. Mereka adalah gerombolan perampok. Tapi bagi Sayyan yang sudah berada di ambang kematian, perbedaan itu tidak lagi penting. Dia dibawa dengan paksa ke sebuah markas tersembunyi di antara bukit-bukit terpencil.

Dan di sinilah, kehidupan baru Sayyan dimulai, sekali lagi, dari titik nol. Minus mungkin. Awalnya, dia hanya diam, patuh, melakukan semua perintah yang diberikan. Diantaranya membersihkan senjata, mengangkut air, menguliti hasil buruan. Rasa takut dan trauma yang dia alami membuatnya bagai boneka kayu.

Tuan Brewok, pemimpin gerombolan perampok, begitulah semua orang memanggil pria bermata sipit itu. Dia ternyata tidak seperti perampok pada umumnya. Di balik sikapnya yang keras, ada secercah perhatiannya pada Sayyan.

Dialah yang pertama kali memberi Sayyan jatah makan penuh, dia yang melindunginya dari bully-an anggota lain yang lebih kejam. Dan dia juga yang terkadang menyelimuti Sayyan saat bocah itu tidur meringkuk kedinginan.

“Dunia ini keras, bocah,” pada suatu malam, ketika Tuan Brewok berkata, sambil mengasah pedangnya. “Tuhan sudah mati, atau mungkin Dia tak pernah peduli. Satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu hanya kekuatan yang ada di tanganmu sendiri.”

Kata-kata itu perlahan meresap pada diri Sayyan. Tuan Brewok, yang ternyata seorang mantan biksu yang meninggalkan biara karena pertumpahan darah, mulai mengajarkan Sayyan hal-hal dasar.

Bukan hanya cara memegang pedang, tapi juga cara mengatur pernafasan, cara mengatur posisi kuda-kuda agar kakinya kokoh, cara meninju tepat sasaran di titik mematikan, serta bagaimana caranya membaca niat lawan.

Latihan itu keras, menyiksa, tetapi bagi Sayyan, ini adalah sebuah pengetahuan yang luar biasa. Setiap pukulan, setiap tendangan, semuanya adalah pelampiasan atas amarah dan keputus-asaannya yang tak terucap.

Sayyan benci kekerasan, tapi dia lebih benci merasa tak berdaya. Dia benci perang, tapi dia memahami bahwa untuk menghadapi perang, dia harus kuat.

Delapan tahun berlalu. Lembah Sungai Panjang telah membesarkannya. Sayyan yang dulu seorang bocah kurus dan penuh luka telah berubah menjadi seorang pemuda tegap dengan sorot mata tenang namun menyimpan misteri.

Wajahnya tampan, tapi dingin. Dia jarang bicara, lebih memilih menyendiri untuk terus melatih ototnya. Kekuatannya sudah jauh melampaui para perampok biasa di markas itu, bahkan mungkin mendekati level Tuan Brewok.

Suatu hari, dia ditugaskan mengawal pengambilan ‘upeti’ dari sebuah desa di tepi sungai. Di sana, dia bertemu seorang gadis bernama Dara, dan kakeknya, Ahkong, hendak diintimidasi oleh gerombolan perampok dari hulu sungai yang lain.

Ketua gerombolan itu, seorang pria besar dengan pedang berlumuran karat, sudah mengangkat senjatanya untuk menebas Ahkong yang tua renta. Sedangkan Dara, dipegangi oleh perampok lain yang menatap lapar padanya.

Tanpa berpikir panjang, Sayyan bergerak cepat. Bagaikan angin, dia menyelip di antara kerumunan. Sebuah sabetan tangan, cepat dan tepat, disasar ke pergelangan tangan sang ketua.

KRAK!

Tulang pergelangan tangan itu patah dengan suara berderak. Pedangnya jatuh, dan ketua gerombolan itu menjerit kesakitan sebelum tubuhnya terlempar beberapa langkah oleh tendangan sederhana dari Sayyan. Semuanya terjadi dalam sekejap mata saja. Para perampok sungai yang lain hanya bisa terpana, tak ada yang berani bergerak.

Dara memandangnya dengan mata penuh rasa terima kasih dan kekaguman. Ahkong mengangguk pelan, bersyukur ada yang menyelamatkan nyawa-nya.

Sayyan tidak merasa bangga. Dia hanya memandangi tangannya sendiri, lalu mengepalkannya. Kekuatan itu akhirnya dia dapatkan. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, api kecil dendam terhadap perang terus menyala.

Bukan dendam pada bangsa Gobi, atau pada perampok, atau pada siapa pun. Tapi dendam pada ‘perang’ itu sendiri, pada segala bentuk kekerasan yang merenggut hati manusia dari kemanusiaannya.

Sayyan telah bangkit dari abu, bukan untuk menjadi pembantai baru, tapi untuk menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang mungkin akan ditakuti lawannya, atau mungkin justru disalah-pahami oleh orang lain.

Sebuah Paradoks pun menggambarkan tentang dirinya, Dewa dari Neraka, atau Iblis dari Surga.

*

Lanjut membaca
Lanjut membaca