

"Habisi mereka semua!" perintah salah seorang laki-laki.
Langit malam di Kota Ravenhold dipenuhi awan kelam. Hujan deras turun seakan ikut meratapi tragedi yang tengah berlangsung di kediaman keluarga Varyn—salah satu keluarga terpandang dengan kekuasaan besar di dunia bisnis maupun politik.
Di halaman utama, puluhan pria berpakaian hitam dengan pedang panjang di tangan menerobos masuk tanpa ampun. Jeritan pelayan bergema, bercampur dengan dentuman baja beradu dan tubuh-tubuh yang jatuh bersimbah darah.
“Jangan biarkan ada yang hidup! Habisi semuanya!” suara berat pemimpin penyerangan, Victor Crowe, menggema bagaikan palu maut.
Di dalam aula utama, Edward Varyn, kepala keluarga, berusaha mati-matian menahan serangan bersama beberapa pengawal setianya. Namun, jumlah musuh terlalu banyak. Satu per satu pengawalnya tumbang, hingga pedang Victor Crowe menembus dadanya.
“Arghh!” Edward Varyn terjatuh, darah mengucur dari mulutnya. Matanya memerah, penuh amarah sekaligus ketidakberdayaan.
Di sudut aula, seorang anak lelaki berusia tujuh tahun, Aiden Varyn, bersembunyi dengan tubuh gemetar. Kakak perempuannya, Selene Varyn, meraih tangannya erat, mencoba menahan isak tangis adiknya.
“Aiden… jangan bersuara. Kakak akan melindungimu,” bisiknya, meski suaranya sendiri bergetar.
Namun nasib kejam tak memberi mereka kesempatan. Seorang lelaki berbaju hitam menarik Selene kasar.
“Gadis ini cantik. Kirim dia ke tempat hiburan malam! Dia akan menghasilkan banyak uang.”
“Jangan sentuh kakakku!” Aiden berteriak, mencoba meraih tangan kakaknya, tapi sebuah pukulan keras menghantam kepalanya.
Tubuh mungil Aiden terhempas ke lantai, rasa perih menjalar di pelipisnya yang berdarah. Pandangannya kabur, namun ia masih bisa melihat sosok kakaknya yang ditarik paksa oleh dua lelaki berbaju hitam.
Selene meronta sekuat tenaga, rambut panjangnya ditarik kasar hingga kepalanya terhuyung.
“Lepaskan aku! Dasar binatang!” teriaknya, matanya basah menahan ketakutan.
Tawa bengis para penyerang memenuhi ruangan. Salah satu dari mereka mendekat, mengusap dagu Selene dengan jari kotor.
“Kecantikan seperti ini sayang kalau disia-siakan. Bos akan senang sekali menerimamu.”
Selene menampar tangan itu dengan keras, tapi balasannya adalah tamparan yang membuat bibirnya pecah. Tubuhnya kembali dijerat, dipaksa berlutut, dan jeritan tertahannya menghantam telinga Aiden.
Aiden ingin berlari, ingin memeluk kakaknya, tapi tubuhnya terlalu kecil, terlalu lemah. Tangannya hanya bisa meraih udara kosong.
“Selene— jangan… jangan sakiti kakakku!” suaranya serak, penuh putus asa.
Namun tatapan mata Selene justru penuh kasih, meski dalam keadaan seperti ini, dia masih memikirkan nasib Aiden. Di sela tangis dan luka, ia menoleh pada Aiden, berusaha tersenyum meski wajahnya berlumur darah.
“Aiden… bertahanlah… kau harus hidup….”
Kalimat itu bagaikan cambuk terakhir yang tertancap di jiwa anak kecil itu. Sebelum ia sempat bergerak, seorang lelaki mengangkat tubuhnya dan menyeretnya ke arah belakang rumah.
“Bocah ini buang saja ke sungai. Tak ada gunanya,” ucap salah seorang dengan nada dingin.
Aiden menjerit, mencoba meraih sosok kakaknya yang semakin jauh dari pandangan.
“Selene!!!”
Entah berapa laki-laki yang melecehkan Selene, jeritan, kalimat memohon ampun seolah tak lagi mempan di telinga para laki-laki tersebut. Mereka tertawa, menikmati rasa sakit yang diterima oleh gadis malang tersebut.
Jeritan Selene perlahan tenggelam dalam deru tawa bengis para penyerang. Suara tangisan, teriakan, dan rintihan berubah menjadi paduan nada horor yang menggema di seluruh mansion.
Kediaman keluarga Varyn—yang dulu dikenal megah, anggun, dan dipenuhi cahaya—kini tak ubahnya seperti neraka di bumi.
Koridor yang biasanya harum bunga plum kini dilumuri darah yang mengalir membentuk genangan. Tubuh-tubuh pelayan, pengawal, hingga anak-anak kecil tergeletak tak bernyawa. Mata mereka terbuka lebar, seakan masih menyimpan teror dari detik-detik terakhir hidup mereka.
Lantunan doa yang sempat dipanjatkan pelayan tua di kuil kecil keluarga tertelan oleh tawa kejam pria-pria berbaju hitam. Bahkan patung leluhur keluarga Varyn pun terciprat darah, retak dihantam pedang, seakan sejarah besar keluarga itu ikut dihancurkan malam ini.
Api mulai melahap tiang-tiang kayu, menelan ukiran burung gagak perak yang selama ini menjadi simbol kejayaan keluarga Varyn. Asap tebal memenuhi udara, bercampur dengan bau anyir darah yang menusuk hidung.
Di halaman, para penyerang masih menebas siapa saja yang bergerak. Ada yang berlutut memohon ampun, ada yang berusaha kabur, tapi semuanya berakhir sama—tebasan dingin, tubuh roboh, dan darah yang semakin menambah lautan merah di tanah.
“Tak ada belas kasihan! Bunuh semua yang menyandang nama Varyn!” teriak Victor Crowe dengan mata berkilat penuh kebencian.
Mansion yang dulu menjadi simbol kemakmuran kini benar-benar berubah menjadi ladang pembantaian.
Di antara teriakan dan api yang berkobar, hanya dua suara yang masih bergaung jelas di hati seorang bocah kecil yang hanyut terbawa deras sungai malam itu—jeritan kakaknya, dan kata-kata terakhirnya,
“Aiden… kau harus hidup, balaskan dendam keluarga Varyn.”
Aiden meringis, darah di pelipisnya meneteskan jejak merah yang bercampur dengan hujan. Ia merangkak, menoleh ke arah cahaya api yang semakin memuntahkan kepulan asap dan bayangan-bayangan bergerak seperti monster. Dengan suara tersengal, ia berteriak sekuat tenaga.
“Tolong! Tolong! Siapa pun, tolong aku! Selene!”
Teriakan itu terpecah oleh hujan, lalu ditelan oleh deru angin dan raungan api. Di antara gemuruh badai dan denting pedang, nyawa-nyawa yang hilang tak lagi mampu membalas.
Pintu-pintu megah yang dulu selalu terbuka bagi tamu kini terkunci oleh kegelapan, hanya ada langkah-langkah kasar para penyerang yang menuntun nasib keluarga Varyn menuju kehancuran.
Seorang pelayan tua yang sempat menatap ke arah Aiden bergetar, ingin berlari menolong—namun satu tebasan pendek dari pedang yang melintas membuatnya terhenti, tubuhnya ambruk tanpa isyarat lagi. Tak ada suara lain yang memecah malam. Tak ada tangan yang meraih Aiden.
Tubuh kecilnya diangkat seperti kantong sampah, dilemparkan melewati pagar belakang menuju sungai yang sudah meluap. Air yang dingin menerpa wajahnya, menggigilkan kulit, dan menyergap napasnya yang masih terguncang.
Aiden menendang, menepis air dengan lengan kecilnya yang lemah, meraih tepi yang tak pernah kunjung ia temukan.
Di benaknya hanya satu gambar yang berputar: wajah Selene, senyum terakhirnya, dan bisikan perintah untuk hidup.
“Bertahanlah… kau harus hidup….” Kalimat itu menjadi kompas di tengah kekacauan, menjadi alasan untuk melawan kehampaan.
Namun arus lebih kuat daripada tubuh kecilnya. Air menyeretnya, menekan dada, menenggelamkan suara terakhirnya hingga hanya ada riak yang menjauh. Aiden berusaha membuka mata—gelap menyelimuti, dunia berputar, dan suara langkah-langkah yang menjauh berubah menjadi gema tak berarti.
Sebelum kegelapan menutup segalanya, di dalam hatinya, sebuah janji lahir, setajam pecahan kaca, jika ia selamat, ia akan kembali. Ia akan menarik kembali apa yang dicuri dari keluarganya. Ia akan menggenggam tahta itu lagi atau setidaknya mati terhormat setelah mencoba.
Gelap menelan teriakan terakhirnya. Sungai membawa tubuh kecil itu menjauh, meninggalkan mansion yang terbakar dan malam yang penuh darah.