

Dafian tidak pernah tahu bahwa putih bisa menjadi warna yang begitu kejam. Putih dinding rumah sakit, putih seragam perawat, putih perban yang membalut kepala Rizky. Semuanya terasa seperti kain kafan yang perlahan membungkus harapan yang tersisa.
Ia duduk di kursi tunggu yang keras, mengenakan kaus lusuh yang sudah tiga hari tidak diganti, tangannya menggenggam erat sandal jepit murahnya.
Rizky, si bungsu yang paling ceria di Panti Asuhan Kasih Bunda. Kinii terbaring tak berdaya. Tabrak lari. Begitu cepat, begitu brutal. Dalam sekejap, tawa kecil itu digantikan oleh suara monitor jantung yang monoton.
Dafian, sebagai yang tertua di panti, merasakan beban menghimpit jiwanya. Bukan Ibu Panti yang seharusnya menanggung ini, bukan mereka yang sudah renta. Ini adalah tanggung jawabnya.
“Tuhan tidak pernah adil, bukan?” gumam Dafian, suaranya serak.
Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Mata lelah, rahang keras, dan keputusasaan yang terlihat jelas.
Pintu kantor administrasi terbuka. Seorang perawat paruh baya bernama Suster Maria, dengan wajah yang tampak lelah namun profesional, memanggil namanya.
“Keluarga pasien Rizky."
Dafian berdiri, kakinya terasa kaku. Ruangan administrasi itu dipenuhi tumpukan berkas yang melambangkan kekacauan finansial. Suster Maria duduk, mencondongkan tubuhnya ke depan dengan ekspresi yang jelas tidak menjanjikan kabar baik.
“Bagaimana keadaan Rizky, Sus?” Dafian langsung bertanya, mengabaikan formalitas yang tidak penting.
Suster Maria menghela napas. “Kondisinya stabil, itu kabar baiknya. Tapi cederanya serius, butuh operasi segera. Kami harus menunggu keputusan dokter bedah. Anda tahu, biaya sudah mulai membengkak.”
Dafian menelan salivanya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. “Kami dari panti asuhan, Sus. Kami sudah menghubungi beberapa donatur, tapi butuh waktu."
Suster Maria menggeleng pelan. “Waktu adalah kemewahan yang tidak dimiliki Rizky saat ini. Biaya perawatan intensif per hari sangat tinggi. Untuk operasi besok pagi, kami memerlukan deposit minimal sepuluh juta. Itu pun hanya untuk mengamankan slot operasinya.”
Sepuluh juta. Angka itu terasa seperti sebuah galaksi yang tak terjangkau. Dafian hanya memiliki uang receh sisa ongkos bus yang ia simpan di saku.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Dafian. Tapi ini adalah rumah sakit swasta. Kami harus mematuhi prosedur,” lanjut Suster Maria, nadanya melembut, menyadari keputusasaan pemuda di depannya.
“Jika deposit tidak bisa dipenuhi dalam dua belas jam ke depan, kami terpaksa memindahkan Rizky ke fasilitas yang lebih sederhana. Mungkin Puskesmas Kota.”
Memindahkan Rizky ke Puskesmas Kota sama saja dengan memberinya vonis mati perlahan. Fasilitas di sana tidak akan mampu menangani trauma serius seperti yang dialami Rizky.
Dafian mengepalkan tangannya. “Tolong, Sus. Beri kami waktu sampai besok pagi. Saya janji, saya akan cari uang itu. Saya akan dapatkan sepuluh juta itu.”
Suster Maria menatapnya dengan pandangan campur aduk antara kasihan dan skeptis. “Anda janji? Saya tahu mungkin andatidak punya pekerjaan tetap. Apa yang bisa anda lakukan dalam dua belas jam?”
Pertanyaan itu menusuk, namun juga memicu api kecil dalam dirinya. Apa yang bisa dia lakukan? Dia tidak punya keahlian. Dia tidak punya ijazah. Dia hanya punya tubuh yang sehat dan tekad yang didorong oleh rasa bersalah dan cinta atas panti asuhan juga anak-anak di dalamnya. Tempatnya bernaung selama ini.
“Saya akan melakukan apa saja,” jawab Dafian, suaranya mantap, meskipun di dalam hatinya ia tahu betapa kosongnya janji itu.
“Mencuri, mengemis, bekerja kasa, apa pun. Saya akan kembali sebelum fajar menyingsing.”
Suster Maria hanya bisa mengangguk pasrah. “Semoga berhasil, Dafian. Kami akan melakukan yang terbaik untuk menahannya di sini selama mungkin.”
Dafian bangkit, rasa lapar di perutnya terasa hambar dibandingkan rasa sakit di hatinya. Ia meninggalkan rumah sakit itu, melangkah keluar ke jalanan kota yang ramai dan kejam. Sepuluh juta. Dalam dua belas jam. Tugas yang mustahil bagi seorang anak panti asuhan tanpa koneksi dan tanpa modal.
Dafian menolak untuk berpikir tentang angka sepuluh juta. Angka itu terlalu besar, terlalu berat. Ia hanya fokus pada asap pekat minyak jelantah dan aroma sate yang menusuk, yang berjanji akan adanya upah kecil di balik kesibukan yang riuh itu. Ia tidak mencari karier; ia mencari pekerjaan yang bisa dibayar harian, bahkan jam-jaman.
Warung pertama yang ia hampiri adalah kedai soto Madura yang ramai. Keringat membasahi dahi pelayan yang mondar-mandir, dan tumpukan piring kotor di bak cuci sudah menggunung.
Dafian memberanikan diri mendekati pria paruh baya bertopi yang sibuk mengawasi kompor. "Permisi, Pak. Apakah anda butuh bantuan untuk mencuci piring atau bersih-bersih? Saya bisa mulai sekarang. Saya kuat."
Pria itu menoleh. Matanya tajam dan lelah, menyapu penampilan Dafian. Kaos yang pudar, celana jeans sobek, dan wajah yang memancarkan kelelahan kronis.
“Kamu? Mau kerja?” tanya si pemilik, nadanya mengandung ejekan yang jelas.
Dafian menegakkan punggungnya. “Iya, Pak. Saya janji akan kerja keras. Berapa pun upahnya, saya terima.”
Si pemilik tertawa pendek. “Lihat dirimu, Nak. Kau terlihat seperti baru saja tidur di kolong jembatan. Bagaimana aku bisa memercayakan pisau atau bahkan uang receh padamu? Kau membuat pelangganku tidak nyaman.” Si pemilik mengibaskan tangannya, seolah mengusir lalat.
Penolakan pertama terasa seperti tamparan basah. Ia meninggalkan warung soto itu, bau rempah-rempah yang sebelumnya menggugah selera kini terasa menyesakkan dan menghina.
Ia mencoba warung kedua dan ketiga. Polanya selalu sama. Begitu mereka melihat matanya yang penuh permohonan dan pakaiannya yang lusuh, pintu kesempatan langsung tertutup. Kota ini tidak hanya menuntut pengalaman; kota ini menuntut citra, menuntut jaminan sosial, menuntut bukti bahwa seseorang layak dipercaya.
Di warung kelontong, ia bahkan mencoba untuk menjadi kuli angkut beras. Ia mendesak mandor yang sedang menyesap kopi kental, memohon untuk diberikan kesempatan.
“Kau terlalu kurus untuk mengangkat karung 50 kilo,” kata mandor itu sambil tertawa, suaranya berat dan kasar.
“Lenganmu itu, seperti ranting. Kau ini cengeng, pasti. Kalau kau pingsan, aku yang repot. Pergi sana, cari sedekah saja. Jangan buang waktuku.”
Dafian bergeming. Ia mengepalkan tangan, menelan kembali kemarahan yang membuncah. Ia tahu harga dirinya diinjak-injak, tetapi ia harus bertahan demi Rizky.
*****
Jam sudah menunjukkan pukul 21.00. Dafian telah menghabiskan waktu berjam-jam berjalan, memohon, dan dicaci maki. Perutnya melilit. Ia berjalan ke kawasan ruko yang sebagian besar sudah tutup, mencari sisa-sisa pekerjaan apa pun.
Ia melihat sebuah toko kelontong besar yang lampunya masih menyala redup. Di depan toko, seorang pria berbadan besar sedang membereskan kardus-kardus.
“Permisi, Pak,” Dafian mendekat. “Saya bisa membantu anda bersih-bersih atau mengepel lantai di dalam. Saya janji, saya sangat teliti. Saya butuh uang segera.”
Pria itu, yang ternyata adalah pemilik ruko, menatap Dafian dengan tatapan curiga yang lebih tajam dari sebelumnya. “Kau ingin mengepel lantai? Kau yakin?”
“Ya, Pak. Saya bisa mulai sekarang,” jawab Dafian, antusiasme palsu menutupi keputusasaannya yang murni.
Pemilik itu menghela napas. “Baiklah. Ada ember dan pel di belakang. Lantainya licin karena tumpahan minyak. Aku bayar dua puluh ribu jika lantainya kinclong. Tapi ingat, kalau ada barang hilang seujung kuku pun, aku akan panggil polisi.”
Dafian mengangguk cepat. Dua puluh ribu! Itu lebih baik daripada nol. Ia segera mengambil peralatan dan mulai bekerja, menggosok lantai marmer yang kotor dengan sekuat tenaga.
Ia bekerja dalam keheningan selama sekitar setengah jam. Pemilik ruko duduk di meja kasir, matanya terus mengawasi setiap gerakan Dafian. Saat Dafian mencapai rak bagian minuman, kakinya terpeleset. Ember berisi air kotor itu tumpah, membasahi sebagian kecil rak berisi makanan ringan.
“Dasar ceroboh!” Pemilik ruko berteriak, melompat dari kursinya. “Sudah kubilang, lantai itu licin! Sekarang, lihat apa yang kau lakukan!”
Dafian buru-buru meminta maaf, mencoba membersihkan kekacauan itu. "Maaf, Pak! Saya akan membersihkannya, saya janji!"
Pandangan sang pemilik toko itu tertuju ke arah meja kasir. Seingatnya, dia tadi menaruh selembar uang 100.000 di sana.
“Tunggu sebentar,” Pemilik itu berjalan cepat menghampiri Dafian. "Ke mana uang seratus ribu yang aku taruh di atas meja ini?"
Dafian terkejut. “Sasaya tidak tau, Pak. Dari tadi saya tidak melihatnya."
Pemilik ruko itu langsung meraih kerah kaos Dafian dengan kasar, menariknya berdiri. “Kau pikir aku bodoh? Aku baru saja menaruh uang kembalian di meja kasir, dan sekarang aku tidak melihatnya! Kau pasti mengambilnya saat aku pergi tadi, kN!”
“Tidak, Pak! Saya bersumpah! Saya tidak mencuri apa-apa!” Dafian melawan, tetapi tenaganya sudah terkuras.
“Jangankan mencuri uang receh, niatmu saja sudah terlihat dari tampangmu yang kelaparan!” Pemilik ruko itu menghina, suaranya bergema di ruko yang sepi. “Kau pikir kau bisa menipu orang jujur sepertiku?”
Tanpa peringatan, tangan besar pemilik ruko itu melayang, menghantam pipi kiri Dafian. Bunyi tamparan itu memecah keheningan malam, menyisakan suara mendenging di telinga Dafian.
Dafian tersungkur ke lantai yang basah oleh air kotor, rasa logam memenuhi mulutnya. Ia merasakan denyutan nyeri yang tajam, lebih sakit dari rasa lapar yang ia rasakan sepanjang hari.
“Pergi dari sini! Anak sampah!” Pemilik itu menendang ember pel, membuat airnya terpercik ke wajah Dafian.
“Jangan pernah tunjukkan wajah malingmu di sini lagi! Cepat, sebelum aku benar-benar memanggil polisi!”
Dafian tidak berani menoleh ke belakang. Ia bangkit, kakinya gemetar, dan berlari keluar ruko secepat yang ia bisa, meninggalkan peralatan pel dan dua puluh ribu rupiah yang seharusnya ia dapatkan. Ia tidak hanya ditolak, ia juga dipukul dan dituduh mencuri di depan umum.
Ia berjalan tanpa arah, keluar dari kawasan makanan, menuju jalanan yang lebih sepi dan gelap. Rasa pahit dari penolakan, rasa sakit dari tamparan, dan hinaan sebagai 'anak sampah' dan 'maling' bercampur menjadi satu racun yang membunuh sisa-sisa harapannya.
Keputusasaan menguasai dirinya. Rizky membutuhkan sepuluh juta, dan dalam waktu beberapa jam saja, ia bahkan tidak bisa mendapatkan seribu rupiah pun tanpa harus menukar kejujurannya dengan kekerasan fisik.
Dafian berhenti di bawah pohon rindang di tepi jalan raya. Ia bersandar ke batang pohon, memejamkan mata, merasakan pipinya yang memar dan panas. Ia sudah gagal. Dunia menolaknya bahkan sebelum ia sempat menawarkan jasanya.
Jika ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang jujur, lalu apa yang tersisa?nIa teringat janji yang ia lontarkan kepada Suster Maria.
"Mencuri, mengemis, bekerja kasar, apa pun."
Dengan cepat, ia menggeleng. Karena ia terus berjalan tanpa arah, tapi nalurinya membuat langkahnya tertuju pada panti asuhan. Dafian menghela nafasnya gusar. Akhirnya, dia duduk berselonjor di teras panti sambil menyandarkan tubuhnya di dinding.
'Tuhan ... aku lelah. Apa yang harus aku lakukan?' batinnya.
Rasa kantuk mulai menyelimutinya. Hingga ia menguap beberapa kali dan akhirnya tertidur di tera panti, di lantai yang dingin ini.
*****
Kepulan asap menghitam di udara. Hawa panas dan kobaran api dengan cepat melahap dinding panti asuhan ini. Semuanya berteriak, meminta pertolongan. Begitu pun juga dengan Dafian yang tiba-tiba saja, merasakan tubuhnya panas serta ada api di sekelilingnya.
"Minggir! Minggir, saya bilang! Anak itu sudah enggak mungkin selamat! Fokus sama yang di dalam!"
"Tapi, Pak, dia masih bergerak! Tolonglah, sebentar saja! Dia cuma di pinggir sini!" sahut suara perempuan panik, yang suaranya terdengar seperti air mendidih di tengah raungan sirene.
"Tidak ada waktu! Ini prioritas! Jangan buang-buang air! Kau lihat sendiri kondisinya? Kulitnya sudah meleleh, hanya buang-buang sumber daya!" bentak pria berseragam pemadam kebakaran, wajahnya menghitam, pandangan matanya dingin dan fokus pada kobaran api yang melahap lantai dua ruko di Jalan Mawar.
Dafian tidak bisa bergerak. Setiap sentimeter kulitnya adalah api. Ia tergeletak di trotoar yang basah kuyup oleh sisa semprotan air, namun panas dari luka bakarnya jauh melampaui kelembaban tersebut.
"To-tolong ... tolong ...."
Ia mencoba membuka mulut, namun yang keluar hanyalah desisan kering dan rasa seperti menelan abu panas.
Dunia adalah kekacauan yang berputar. Teriakan, raungan mesin, dan aroma manis mengerikan dari dagingnya sendiri yang terbakar mengisi udara. Ia hanya berjarak tiga meter dari garis polisi yang buru-buru dipasang, tetapi jarak itu terasa seperti jurang tak berdasar yang memisahkan kehidupan dan kematian.
Tidak ada yang benar-benar melihatnya. Mereka hanya melihat seolah tumpukan sampah yang sedikit berasap.
Ia membatin. 'Sakit. Sakit. Lebih sakit daripada apapun yang pernah kurasakan.'
Dafian, telah menyaksikan panti asuhan tempatnya bernaung, satu-satunya rumah yang ia kenal. Berubah menjadi abu beberapa jam lalu. Ia selam, atau lebih tepatnya, berhasil merangkak keluar hanya untuk terseret ke arus kerumunan yang panik, dan kini berakhir di emperan toko yang ikut tersambar api susulan.
Pandangannya mulai memudar, berubah menjadi merah pekat. Ia tahu ini adalah akhirnya. Paru-parunya terasa seperti diisi pasir panas, dan setiap napas adalah permohonan agar jantungnya berhenti berdetak.
Kaki kirinya sudah tidak berbentuk, dan tangan kanannya yang kini ia coba gerakkan dengan sekuat tenaga terasa seperti tulang rapuh di dalam karamel panas.
Dengan upaya terakhir, sebuah perlawanan naluriah terhadap kepunahan, Dafian mengangkat tangan kanannya. Jari-jarinya yang hangus meraba lehernya, mencari tekstur dingin yang familiar di tengah suhu tubuhnya yang membakar.
Klik.
Jari-jarinya menemukan liontin itu, kalung perak tua, hadiah dari ayahnya, yang bahkan sampai sekarang dia tidak tau keberadaannya. Ia mencengkeramnya, kencang sekali, seolah-olah liontin itu adalah jangkar yang bisa menariknya kembali dari neraka yang nyata ini.
Sebuah suara bisikan, yang terlalu samar untuk didengar di tengah hiruk pikuk, terdengar di telinganya. Itu adalah suara ayahnya. Atau mungkin, hanya halusinasi yang diciptakan oleh otak yang kekurangan oksigen.
“Aku ... aku tidak ingin mati seperti ini...” desis Dafian, air mata yang seharusnya mendinginkan, justru menguap seketika di pipinya yang hangus.