Jakarta, 4 Januari 2019. Sebuah peristiwa tragis menggegerkan Kos Anggrek di Jakarta Utara pada Senin pagi. Seorang mahasiswi ditemukan meninggal dunia, dan dugaan awal mengarah pada tindakan bunuh diri. Korban diduga mengakhiri hidupnya pada dini hari.
Rekaman CCTV di sekitar lokasi menunjukkan aktivitas korban sesaat sebelum kejadian, yang memperkuat dugaan tersebut. Beberapa saksi juga menyatakan bahwa perilaku korban mulai berubah sejak pulang dari pendakian gunung. Namun, pihak berwenang masih terus melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mengungkap motif di balik insiden menyedihkan ini.
Dirga mematung, menatap kosong ke depan. Televisi itu dibiarkan menyala.
Sudah dua hari sejak kejadian yang menggegerkan itu, dan Dirga masih membisu. Mencerna apa yang terjadi dengan kepala dingin, walau tak kunjung mendapatkan jawaban. Rasanya, baru kemarin wanita itu meminta tolong padanya untuk membetulkan keran kamar mandinya yang rusak, dikarenakan kamar mereka bersebelahan.
“Dirga, lo mau ikut mendaki juga gak pas libur semester? Tenang aja, nanti gue kenalin temen-temen gue. Kapan lagi lo bisa melihat megahnya dan cantiknya Gunung Rinjani. Lo tahu gak, mendaki ke gunung itu adalah impian gue dari dulu.”
Dirga tersentak, menoleh ke sembarang arah. Sungguh, rasanya tidak percaya, tapi entah mengapa begitu nyata. Apakah hanya fatamorgana, atau ilusi yang membawa akal sehat pergi. Jelas-jelas dia mendengar suara perempuan itu di sampingnya, menceritakan berbagai hal tentang pendakian yang sudah ditempuh.
Dirga mengusap kasar wajahnya, bangkit dari duduknya dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Mungkin dia butuh mendinginkan kepala juga agar pikirannya kembali normal. Rasanya ... dia banyak berhalusinasi sekarang.
“Pengecut, lo yang bunuh adik gue! Kosan lo emang sarang orang cabul!”
Dirga tersentak ketika mendengar keributan dari arah luar. Dia buru-buru membasuh wajahnya yang dipenuhi sabun.
“Pergi kamu dari kosan saya, dasar kurang ajar!” Seorang pria paruh baya membentak keras, tak lain adalah sang pemilik kos.
“Gue gak akan pergi sebelum lo ngaku ke pihak kepolisian kalau lo yang bunuh adik gue!”
Dirga mematung mendengarnya, tanpa sadar melangkah semakin dekat ke arah kerumunan.
“Buat lo semua yang masih kost di sini, hati-hati aja, ni orang rada gila! Apalagi penjaga kosan ini, yang sebelas dua belas sama pemiliknya!” sentak pria itu dengan wajah bengis penuh amarah.
Setelah itu terjadi keributan yang semakin memanas, dan pria itu ditarik paksa keluar dari kosan. Dirga memundurkan langkahnya, melihat dalam diam semua yang terjadi.
“Dompet?”
Dirga terlihat ragu, tapi perlahan mengambilnya. Sepertinya itu punya pria yang sedari tadi mengamuk. Para penghuni kos juga langsung sepi, karena mereka keluar melihat pria itu yang diseret paksa.
Dirga masuk ke dalam kamar kosnya, mengambil jaket dan mengunci pintu kosannya. Dia ingin menyusul pria itu sebelum jauh, takutnya mereka tak akan bertemu lagi.
“Mbak, lo kenal cowok yang tadi?” tanya Dirga ketika melihat kakak tingkatnya—sekaligus tetangga kosnya yang hendak menuju kamar.
“Dia Ando, mahasiswa semester 14. Itu anak emang problematik. Setahu gue, cewek yang meninggal dua hari yang lalu adik sepupunya dia.”
Dirga menyembunyikan dompet itu di balik jaketnya.
“Dia satu kampus sama kita, Mbak?” tanya Dirga lagi.
Perempuan itu mengangguk pelan. “Iya, dia anak teknik. Kalau gitu gue lanjut nyuci dulu ya.”
Dirga masih berdiri di depan pintu kamarnya, mencerna penjelasan dari perempuan itu sembari melihat kembali dompet di tangannya. Pada akhirnya dia memutuskan untuk memberikannya ketika mereka bertemu di kampus nanti.
Sore harinya, Dirga bersiap-siap untuk pergi ke kampus, karena jika hari Jumat jadwal kuliahnya dari pukul 18.00 – 21.00. Dirga mengendarai motornya dengan kecepatan rata-rata. Selang 15 menit kemudian, dia sampai di parkiran kampus. Suasana begitu sepi … gerimis pun mulai turun.
Dirga buru-buru berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya, tapi langkahnya terhenti ketika salah satu teman kelasnya berlari dengan napas terengah ke arahnya.
“Lo kenapa?” tanyanya heran.
“Di kelas ada yang berantem. Lebih baik lo di sini dulu, nanti ke sana setelah situasi reda,” ujar pria itu sambil menormalkan napasnya yang memburu.
Dirga mengernyit bingung, dalam satu hari sudah beberapa kali dia menemui orang yang sedang bertengkar.
“Siapa?”
“Itu, anak teknik sama si Yoni. Lagian, si Yoni brengsek banget, ceweknya baru aja meninggal, eh dia udah gandeng gebetan baru. Gak heran kalau si Ando naik pitam. Kasian banget sih, cewek itu katanya mati bunuh diri ... atau dibunuh, ya? Entahlah, beritanya masih simpang siur. Ada juga yang bilang arwahnya nyangkut waktu mendaki. Aneh bener. Zaman udah modern, masih aja percaya yang kayak gituan.”
Dirga langsung tersentak ketika temannya menyebut nama pria yang sedang dia cari. “Gue ke kelas dulu.”
Dirga berlari, mengabaikan teriakan dari temannya. Setelah sampai di kelasnya, dia sudah melihat kursi yang berserakan dan patah. Atensinya beralih pada teman kelasnya yang bernama Yoni. Dirga meringis melihat keadaan pria itu yang sudah babak belur.
Ando itu … dia mahasiswa atau preman kampus? Sangat mengerikan, rasanya Dirga ragu untuk bertemu dengannya.
Dirga menoleh ke sembarang arah, mencari keberadaan Ando.
Itu dia! Dirga mematung di depan pintu ketika Ando keluar dari kelasnya, melewatinya begitu saja dengan wajah sangar.
Dirga berdeham, mengikuti Ando dari belakang.
“Permisi, Bang,” sapanya pelan.
Tanpa diduga, pria itu langsung berhenti dan berbalik. Dia hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai respon.
Dirga bergegas mengeluarkan dompet pria itu. “Ini punya Abang, ‘kan? Gue nemunya di depan pintu kos.”
Ando menatap pria di hadapannya dengan tajam, memindainya dari bawah sampai atas, lalu mengambil dompetnya. “Lo ngekos di Anggrek?”
Pertanyaan dari Ando membuat Dirga mengangguk pelan. “Benar, Bang.”
Ekspresi Ando berubah dingin. “Lo kenal Mia?”
Lagi-lagi Dirga hanya mengangguk sebagai jawaban. Mengapa sekarang dia seperti sedang diinterogasi?
“Bang, santai dong!” seru Dirga karena tiba-tiba Ando menarik kerah kemejanya kuat.
Pria itu abai. Bibirnya menipis, matanya berkilat tajam. “Jangan bilang lo juga termasuk antek-antek si tua bangka itu? Ngaku lo!”
Dirga menyentak tangan Ando, lalu memundurkan langkahnya. Niatnya hanya mengembalikan dompet, tetapi mengapa dia yang menjadi sasaran kemarahan?
“Jangan sembarangan menuduh, gue cuma ngekos aja di situ. Gue juga gak ngerti maksud lo apaan,” bantahnya. Walau terkenal pendiam, bukan berarti dia tidak berani. Dirga akan melawan ketika diusik.
Raut wajah Ando semakin terlihat marah. “Jelas gue gak percaya, karena siapa pun yang ngekos di sana pasti udah disogok atas kematian adik gue!” Dia mendekat, menunjuk ke arah wajah Dirga. “Asal lo tahu, kosan lo itu sarang prostitusi dan pembunuhan. Mustahil rasanya kalau lo gak terlibat!”