Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Malam Pertama Dengan Ibu Kos

Malam Pertama Dengan Ibu Kos

Hikma Abdillah | Bersambung
Jumlah kata
103.0K
Popular
2.1K
Subscribe
722
Novel / Malam Pertama Dengan Ibu Kos
Malam Pertama Dengan Ibu Kos

Malam Pertama Dengan Ibu Kos

Hikma Abdillah| Bersambung
Jumlah Kata
103.0K
Popular
2.1K
Subscribe
722
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of life21+
Radit (23) baru saja lulus kuliah dan merantau ke Jakarta untuk mengejar impiannya. Demi menghemat biaya, ia memutuskan untuk mencari kamar kos di pinggiran kota. Tak disangka, rumah kos yang ia dapatkan ternyata memiliki seorang ibu kos yang tak biasa. ​Ayu (30) adalah pemilik kos yang cantik, ramah, namun memancarkan aura misterius. Statusnya janda muda dengan satu anak yang tinggal di luar kota. Ia mengelola rumah kos tersebut sendirian. Bagi Radit, Ayu adalah sosok dewasa yang memikat, jauh dari bayangan ibu kos yang galak atau cerewet. ​Saat Radit pindah, Ayu menyambutnya dengan keramahan yang hangat, terlalu hangat untuk seorang penyewa baru. Malam pertama Radit di kos barunya terasa aneh. Setelah lelah membereskan barang, ia mendapati Ayu membawakan semangkuk bubur ayam ke kamarnya. ​Hujan deras di luar, suasana hening, dan aroma bubur yang menggugah selera. Percakapan mereka mengalir santai, namun perlahan berubah menjadi semakin intim. Kehangatan yang diberikan Ayu membuat batas antara ibu kos dan penyewa menjadi kabur. ​Akankah Radit mampu menjaga profesionalitasnya sebagai penyewa, ataukah pesona Ayu akan menjebaknya dalam sebuah hubungan terlarang yang penuh rahasia dan gairah? Malam pertama itu hanyalah awal dari drama kos-kosan yang tidak akan pernah ia lupakan.
Bab 1 Kedatangan di Tengah Hujan

​Hujan turun deras, mencuci jalanan becek di kawasan Cilandak yang padat. Radit (23) menyeret koper abu-abunya dengan susah payah, satu tangan lagi memegang ransel yang penuh sesak. Ia baru saja menyelesaikan urusan sewa-menyewa dan kini berdiri di depan sebuah rumah minimalis berpagar hitam. Inilah rumah kos barunya, tempat ia akan memulai hidup barunya di Jakarta.

​"Akhirnya sampai juga," gumam Radit lega. Ia menekan bel pagar.

​Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Seorang wanita muda yang mengenakan celana jins dan kaus rumahan longgar muncul di ambang pintu. Rambutnya yang sedikit berantakan memperlihatkan leher jenjangnya. Ia tersenyum, senyum yang langsung membuat Radit lupa akan dinginnya udara dan lelahnya perjalanan.

​"Radit, ya? Ayo, masuk. Maaf, agak basah begini jalannya," sapa wanita itu dengan suara yang lembut. "Saya Ayu, ibu kos di sini."

​Radit mengangguk, terpesona. Di benaknya, "ibu kos" adalah sosok paruh baya yang cerewet atau bahkan galak. Ayu (30) jauh dari bayangan itu. Ia terlihat seumuran dengan kakak tingkatnya di kampus, dengan paras cantik dan mata yang ramah namun memancarkan kelelahan khas orang dewasa.

​"Iya, Mbak Ayu. Maaf jadi merepotkan di tengah hujan begini," balas Radit canggung, segera menyeret barang-barangnya masuk ke teras.

​"Tidak apa-apa. Sudah tugas saya," Ayu tertawa kecil, memimpin Radit masuk.

​Kamar Radit terletak di ujung koridor lantai satu. Kamarnya bersih, lengkap dengan tempat tidur, meja belajar, dan lemari. Standar, tapi jauh lebih nyaman dari bayangannya.

​"Ini kuncinya. Kamar mandi ada di sebelah sana. Kalau ada apa-apa, kamar saya ada di depan, di sebelah ruang tamu," jelas Ayu, menyerahkan kunci berbentuk gantungan kayu.

​Radit menerima kunci itu. Tangan mereka bersentuhan sesaat. Sentuhan singkat itu entah mengapa terasa menghangatkan.

​"Terima kasih banyak, Mbak Ayu. Nanti kalau sudah selesai beres-beres, saya izin keluar beli makan, ya."

​Ayu menggeleng. "Tidak usah repot-repot. Udara dingin begini, hujan juga. Lebih baik kamu istirahat. Nanti malam saya buatkan sesuatu. Anggap saja sambutan dari ibu kos."

​Mata Radit melebar sedikit. "Wah, benarkah? Saya jadi tidak enak, Mbak."

​"Santai saja. Sesama perantauan harus saling bantu. Anggap saja ini rumah sendiri," Ayu tersenyum lagi, senyum yang sulit diartikan.

​Setelah Ayu pergi, Radit menutup pintu kamar. Ia menjatuhkan diri ke kasur sebentar, memandangi langit-langit. Hujan di luar semakin menderu. Ia memejamkan mata, memikirkan Ayu. Ibu kosnya yang cantik itu benar-benar mengacaukan skema pikirannya tentang Jakarta yang keras dan dingin.

​Ia mulai membongkar koper, mengatur baju dan buku-bukunya di lemari. Waktu berlalu cepat. Ketika ia akhirnya duduk termangu, melihat pantulan dirinya di cermin, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Perutnya berbunyi nyaring.

​Tok... Tok...

​Radit terkejut. Ia membuka pintu. Di depannya berdiri Ayu, memegang nampan perak yang mengeluarkan asap tipis.

​"Ini... bubur ayam hangat. Makan selagi hangat," kata Ayu pelan.

​"Mbak Ayu, astaga... Terima kasih banyak! Saya benar-benar tidak enak," Radit merasa bersalah sekaligus terharu.

​"Sudah dibilang, jangan sungkan. Kamu pasti lapar setelah perjalanan jauh," Ayu tersenyum. "Mau makan di sini saja?"

​Radit ragu. Kamarnya masih agak berantakan. "Ehm, iya, Mbak. Tapi kamarnya agak..."

​"Tidak apa-apa," potong Ayu. "Sini, biar saya bantu letakkan. Kamu pasti kedinginan."

​Ayu melangkah masuk ke kamar Radit, menempatkan nampan di meja belajar. Ia lalu duduk di tepi kasur, seolah itu adalah hal yang paling wajar dilakukan.

​"Bagaimana Jakarta? Sudah siap untuk jadi anak kantoran?" tanya Ayu, memulai percakapan.

​Radit yang sedang duduk di kursi meja belajar, memegang mangkuk bubur, merasa canggung. Ayu duduk begitu dekat. Aroma parfumnya yang lembut, berpadu dengan aroma hangat bubur, menyeruak di ruangan kecil itu.

​"Siap, Mbak. Semoga lancar. Doakan ya," jawab Radit. Ia mengambil sesendok bubur. Rasanya enak, sangat menghangatkan.

​Ayu menatap Radit lekat-lekat. "Tentu. Saya doakan. Kamu anak baik, pasti sukses."

​Keheningan kembali menyelimuti mereka. Di luar, suara hujan seolah menjadi soundtrack intim bagi mereka berdua. Ayu tidak kunjung berdiri. Ia hanya duduk di tepi kasur, memandang Radit yang sedang menikmati buburnya.

​"Kenapa Mbak Ayu belum tidur?" tanya Radit, mencoba memecah keheningan yang makin terasa berat.

​Ayu tersenyum misterius. "Belum ngantuk. Saya senang ada orang baru di kos ini. Lebih ramai."

​"Oh," Radit hanya mampu menjawab pendek.

​"Radit," panggil Ayu pelan.

​"Ya, Mbak?"

​"Kamu... terlihat sangat polos. Jaga diri baik-baik di Jakarta. Kota ini keras, dan orang-orangnya..." Ayu menjeda. "Orang-orangnya suka mengambil keuntungan dari kepolosan orang lain."

​Radit menelan ludah. Ia merasa mata Ayu menelanjanginya, bukan dengan nafsu, tapi dengan perhatian yang mendalam, atau mungkin, sesuatu yang lebih dari itu.

​"Saya akan hati-hati, Mbak Ayu."

​"Bagus," Ayu mengangguk. Ia lalu bangkit. "Sudah, habiskan buburnya. Saya kembali ke depan, ya. Selamat malam, Radit."

​"Selamat malam, Mbak Ayu. Terima kasih sekali lagi," ucap Radit tulus.

​Ayu tersenyum, lalu melangkah keluar. Pintu kamar tertutup perlahan.

​Radit menatap mangkuk buburnya, yang kini terasa lebih dingin. Ia tidak mengerti mengapa jantungnya berdetak begitu kencang. Itu hanya bubur ayam, dan hanya seorang ibu kos. Tapi, kehangatan, keintiman mendadak, dan tatapan Ayu barusan... Malam pertama di Jakarta terasa lebih mendebarkan daripada yang ia bayangkan.

Lanjut membaca
Lanjut membaca