Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Terlahir Kembali

Terlahir Kembali

darkcom | Bersambung
Jumlah kata
67.6K
Popular
311
Subscribe
61
Novel / Terlahir Kembali
Terlahir Kembali

Terlahir Kembali

darkcom| Bersambung
Jumlah Kata
67.6K
Popular
311
Subscribe
61
Sinopsis
18+FantasiSci-FiRajaCacatBalas Dendam
Budi, pemuda berkebutuhan khusus, dianggap idiot oleh lingkungannya. Namun setelah kedua orang tuanya wafat dalam kecelakaan, ia mengalami keajaiban tak terduga. “Terlahir Kembali” adalah kisah tentang kebangkitan, keadilan, dan jiwa agung yang hidup kembali di tubuh manusia biasa.
Bab 1 Pesan di Tanah Suci

Bab 1 Pesan di Tanah Suci

Angin malam di Tanah Suci berhembus lembut, membawa aroma pasir dan doa.

Di pelataran Masjidil Haram yang diterangi lampu putih kekuningan, Pak Setiawan dan Ibu Ani duduk berdua di tangga marmer, memandangi ribuan jamaah yang masih thawaf di bawah cahaya rembulan.

“Subhanallah…,” ucap Pak Setiawan lirih.

“Rasanya belum percaya kita akhirnya sampai di sini juga, Pak," ucap Bu Ani dengan nada syukur.

Pak Setiawan tersenyum kecil. Keringat di dahinya masih mengalir, tapi wajahnya tenang.

“Dulu waktu kita masih di Tulungagung, aku sering cuma lihat Ka’bah dari televisi. Sekarang, aku bisa pegang sendiri. Semua ini rezeki dari Allah.”

Ibu Ani mengangguk. “Dan semoga doa-doa kita dikabulkan. Untuk keluarga, untuk anak kita.”

Ia menunduk pelan. “Untuk Budi…”

Suaminya menatapnya sebentar. “Aku tahu kamu masih khawatir. Tapi Budi sudah dijaga, Bu. Di rumah kita ada pembantu, ada perawat pribadi. Lagi pula, dokter bilang dia stabil.”

“Tetap saja, Pak. Kadang aku berpikir.”

Pak Setiawan menghela napas pelan. “Budi itu anak istimewa. Aku percaya, Tuhan punya rencana besar di balik semua keterbatasannya.”

Suasana hening beberapa saat. Di kejauhan, lantunan doa dari pengeras suara terdengar syahdu.

Lalu tiba-tiba, dari arah belakang, muncul seorang kakek tua berjalan perlahan dengan tongkat kayu panjang. Pakaian ihramnya tampak lusuh, tapi langkahnya tegap.

Kakek itu berhenti tepat di depan mereka. Tatapannya teduh, tapi tajam.

“Assalamu’alaikum, Nak Setiawan, Nak Ani.”

Mereka berdua menoleh bersamaan.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Pak Setiawan sopan. “Bapak… mengenal kami?”

Kakek itu tersenyum samar. “Aku hanya hamba yang diutus untuk menyampaikan pesan. Pesan yang kelak akan menjadi cahaya bagi keturunanmu.”

Pak Setiawan spontan saling pandang dengan istrinya. “Utusan? Dari siapa, Pak?”

Kakek menatap ke arah Ka’bah seolah sedang berbicara bukan kepada manusia.

“Sebentar lagi perjalanan kalian selesai. Tapi sesungguhnya… perjalanan yang sebenarnya baru akan dimulai.”

Ibu Ani menelan ludah. “Kami… tidak mengerti.”

Kakek itu mengangkat tongkatnya, mengguratkan bentuk melingkar di udara. “Dengarkan baik-baik, anakku. Sepulang dari sini, jagalah shalat malam kalian. Dan Tahajud tanpa putus, sekalipun hanya dua rakaat. Dan setiap Jumat, berilah sebagian rezeki kalian kepada anak-anak yatim. Jangan abaikan.”

Pak Setiawan mengangguk pelan. “Insya Allah, kami akan berusaha.”

“Bukan berusaha,” potong sang kakek dengan suara yang lebih berat. “KALIAN HARUS MELAKUKANNYA. Itu bukan anjuran. Itu perintah yang akan menyelamatkan darah keturunanmu.”

Mereka berdua terdiam. Hembusan angin terasa lebih dingin tiba-tiba.

Kakek itu melanjutkan, “Tapi yang perlu kamu tahu, roh tak pernah benar-benar mati. Ia hanya berpindah tempat… bila diperkenankan.”

Ibu Ani menggenggam tangan suaminya. “Pak… ini maksudnya apa? Kenapa bicara seperti itu?”

Kakek itu menatap keduanya dalam-dalam, lalu berkata dengan nada yang lebih lembut,

“Jangan takut. Tapi setiap anugerah datang bersama ujian. Saat hari itu tiba, jangan menyesal bila sebagian dari yang kalian cintai harus diuji lewat kehilangan.”

Pak Setiawan menelan ludah. “Bapak… siapa sebenarnya?”

Kakek itu menatap langit, seolah mencari sesuatu di balik cahaya bulan.

“Tugasku hanya mengingatkan. Setelah ini, kita tak akan bertemu lagi di dunia.”

Lalu ia berjalan pelan melewati mereka, menuruni tangga menuju pelataran masjid.

Namun sebelum benar-benar hilang dari pandangan, ia menoleh sebentar dan berkata,

“Ingatlah… seratus hari setelah kalian kembali ke tanah Jawa, sesuatu akan terjadi. Jangan lupa tahajud. Jangan lupa anak yatim. Hanya itu benteng kalian.”

Kemudian ia melangkah ke arah kerumunan jamaah dan lenyap begitu saja, seolah larut dalam lautan manusia.

Pak Setiawan menatap kosong ke arah tempat kakek itu menghilang. “Dia… ke mana?”

Ibu Ani memandang ke sekitar. Tak ada jejak. Tak ada siapa pun.

“Pak… saya merinding.”

Pak Setiawan menghela napas, menahan detak jantungnya yang tak karuan. “Mungkin dia hanya orang tua bijak yang lewat.”

“Tapi… dia tahu nama kita,” bisik Ibu Ani. “Dan dia bilang tentang kehilangan…”

“Sudahlah, Bu,” potong Setiawan pelan. “Jangan terlalu dipikirkan. Kita niat ibadah saja. Kalau pesannya baik, kita ikuti. Shalat malam dan sedekah setiap Jumat. Itu tak akan salah.”

Mereka berdua berdiri, lalu berjalan menuju area hotel tempat rombongan mereka menginap. Tapi sepanjang jalan, Ibu Ani tak bisa menghapus bayangan kakek itu dari pikirannya.

..

..

Malam berikutnya, di kamar hotel yang sunyi, mereka kembali membicarakan hal itu.

Pak Setiawan duduk di tepi ranjang sambil memandangi jari-jarinya sendiri.

“Kadang aku merasa… pesan itu bukan sembarang pesan, Bu.”

Ibu Ani menatapnya. “Kenapa, Pak?”

“Entah kenapa, aku langsung teringat Budi.”

Ibu Ani menunduk. “Budi?”

Pak Setiawan menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Tapi pesan itu akan kuingat. Shalat malam tanpa putus, sedekah setiap Jumat. Itu perjanjian yang akan kita pegang.”

Ibu Ani mengangguk mantap. “Iya, Pak. Kita jalankan.”

..

..

Keesokan harinya, rombongan mereka bersiap kembali ke tanah air.

Di bandara Jeddah, suasana ramai dan penuh haru. Pak Setiawan memegang paspor, sementara Ibu Ani menatap keluar jendela pesawat, seolah enggan meninggalkan tempat suci itu.

“Pak…”

“Hm?”

“Kalau nanti kita sampai di rumah, bolehkah saya buatkan daftar nama anak yatim di sekitar desa? Saya ingin kita langsung mulai Jumat depan.”

Pak Setiawan tersenyum kecil. “Tentu boleh. Mulailah dari masjid dekat rumah. Dan nanti, kalau malam pertama di rumah, kita mulai tahajud berdua. Tak boleh lupa.”

Ibu Ani mengangguk, matanya sedikit berkaca. “Entah kenapa, ibu merasa pesan itu bukan cuma pesan biasa, Pak.”

Pak Setiawan menatap keluar jendela. Di langit, awan putih berarak pelan.

“Mungkin memang begitu, Bu. Tapi apapun maksudnya, kalau kita ikhlas, semua pasti baik.”

Pesawat pun perlahan bergerak di landasan.

..

..

Di luar sana, di tengah hamparan padang pasir Mekkah yang perlahan memudar, kakek misterius tadi berdiri di atas bukit kecil, tongkatnya tertancap di pasir.

Angin menerpa jubahnya, tapi ia tidak bergeming.

Di belakangnya, samar-samar terlihat bayangan siluet ksatria bersenjata busur dan panah, berdiri tegap, memandangi pesawat yang terbang menjauh.

Kakek itu berbisik lirih, suaranya nyaris ditelan angin gurun:

“Waktu sudah ditentukan. Saat tubuh itu terlelap, pintu akan terbuka. Dan sang ksatria akan pulang…”

Senyum tipis menghiasi wajah tuanya.

Kemudian, ia perlahan memejamkan mata dan tubuhnya memudar seperti debu, tertiup angin padang pasir.

Sementara itu, di dalam pesawat yang mengangkut Pak Setiawan dan Ibu Ani, keduanya sudah tertidur lelap. Di kursi belakang, seorang jamaah lain menatap mereka sekilas, lalu menunduk berdoa.

Di luar jendela, langit tampak cerah. Tapi bila diperhatikan dengan seksama, ada kilatan samar seperti cahaya busur panah yang melintas cepat, menembus awan.

Tak ada yang menyadari itu.

Tak ada yang tahu bahwa perjalanan mereka baru saja membuka gerbang takdir yang akan mengguncang seluruh keluarga Setiawan.

⚠⚠⚠⚠⚠

Update Jam 22.00 WIB

Baca Juga Karya Autor Lainnya

1. Apa Cinta Harus Setara? (genre = Coming of Age❤️‍🔥)

2. Mafia Cyber (genre = Cyber Thriller☠️) *TAMAT*

3. Warisan Danyang Perawan (genre = Horror Mystery👿)

4. Terlahir Kembali (genre = Fantasy 🔮)

Salam Penulis,

darkcom

⚠⚠⚠⚠⚠

Lanjut membaca
Lanjut membaca