Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Menantu Kuadriliun

Menantu Kuadriliun

Nayy-RA | Bersambung
Jumlah kata
100.2K
Popular
1.8K
Subscribe
162
Novel / Menantu Kuadriliun
Menantu Kuadriliun

Menantu Kuadriliun

Nayy-RA| Bersambung
Jumlah Kata
100.2K
Popular
1.8K
Subscribe
162
Sinopsis
18+PerkotaanAksiKonglomeratBalas DendamMenantu
Siapa bilang suami yang tinggal di rumah istri tidak bisa sukses dan berjaya? --- Baskara Wiguna sudah dua tahun hidup sebagai menantu tak dianggap. Meski menikahi Naya Mahendra, wanita tercantik di kota, hidupnya justru dipenuhi hinaan. Statusnya sebagai buruh pabrik kain membuat keluarga Mahendra memandangnya rendah, bahkan sang istri pun selalu bersikap dingin. Namun Baskara tak menyerah. Ia membiarkan setiap ejekan membakar semangatnya untuk bangkit. Titik balik pun tiba saat warisan besar dari almarhum sang ayah jatuh ke tangannya. “Aku bukan lagi sampah. Aku akan balas semua penghinaan kalian,” tekad Baskara. Kini, bukan hanya kehormatan yang akan ia rebut… tapi juga hati wanita yang selama ini tak pernah ia miliki. ---
Terhina

Kota Bandung.

Di dalam sebuah rumah cukup besar di dalam kompleks perumahan standar.

Plaaak!

Suara tamparan menggema keras, disusul suara ratapan seorang pria.

“Itu semua uang tabunganku. Aku kumpulkan bertahun-tahun, buat biaya pengobatan adikku. Tolong kembalikan, Bu…” suara Baskara bergetar, matanya memohon.

Dia bahkan sudah berlutut, mengabaikan semua harga diri, hanya demi mendapatkan kembali uang yang disedot habis dari rekeningnya.

Baskara Wiguna. Seorang menantu dari keluarga Mahendra.

Sementara wanita paruh baya di hadapannya adalah Nadya—ibu mertuanya.

Plak!

Tamparan keras mendarat lagi di pipi Baskara. Suaranya menggema lebih keras di ruang tamu.

“Sejak kapan aku ambil uangmu, hah?! Jangan kurang ajar kamu, Baskara. Jadi menantu jangan suka melawan!” suara Nadya tajam, sarat dengan kesombongan.

“T… tapi, Bu. Aku lihat sendiri di mutasi rekening. Semua uang itu masuk ke rekening Ibu,” Baskara terbata, masih mencoba menahan nada suaranya agar tidak pecah.

Dua hari lalu, adiknya, Bella, terluka parah karena kecelakaan motor.

Pelakunya kabur.

Biaya rumah sakit? Terlalu tinggi. Baskara tidak sanggup membayar semuanya.

Satu-satunya harapan hanyalah tabungan kecilnya. Tapi ketika hendak dipakai, uang itu lenyap. Disedot mentah-mentah oleh ibu mertuanya sendiri.

Nadya mengangkat dagu, sama sekali tidak merasa bersalah.

“Kamu jangan banyak ngaco, Baskara. Kalau mau bantu adikmu, ya cari pelaku tabrak lari itu. Gugat. Peras. Dapatkan uang ganti rugi sebanyak-banyaknya.” Bibirnya melengkung sinis. “Setelah itu, kasih uangnya ke aku.”

Naya Mahendra, istri Baskara, berdiri tidak jauh dari sana. Tatapannya kosong.

“Lihat kelakuan suami tak berguna itu, Aya,” kata Nadya, dramatis. “Menuduh ibu mertua sendiri. Dasar tak tahu terima kasih.”

“Bu…” suara Naya pelan, ragu. “Aku rasa Ibu harus mengembalikan uang Baskara. Bagaimanapun, itu uangnya sendiri. Perbuatan ini—”

“Cukup, Aya!” bentak Nadya, air matanya keluar, entah asli atau pura-pura. “Seorang mertua berhak dapat uang dari menantunya. Itu kewajiban dari menantu, bukan pencurian!”

Nadya lalu menendang perut Baskara. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

“Dasar sampah!”

“Kamu numpang hidup enak di rumah ini, tapi pelitnya kebangetan!”

“Sialan, kenapa anakku nikah sama orang miskin kayak kamu!”

Baskara terkapar di lantai. Tapi dia tidak melawan.

Bagaimanapun, itu ibu dari istrinya.

Hatinya perih, tapi dia memilih diam.

Naya hanya berdiri. Tak bersuara. Tak mendekat. Tak menghentikan.

Sementara ayah mertuanya, Tejo Mahendra, tetap duduk di sofa menonton televisi. Seolah semua itu tak ada hubungannya.

“Pergi dari sini, menantu tak berguna,” kata Nadya akhirnya, mendorong tubuh Baskara keluar rumah. “Lima hari lagi, Naya akan kuceraikan darimu. Aku akan carikan suami yang lebih pantas.”

Bugh!

Pintu rumah membanting keras di belakangnya.

Baskara berdiri di depan rumah itu, memandang kosong.

Dua tahun ia bekerja keras, tak pernah sekalipun diperlakukan sebagai keluarga. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa dibuang.

“Sialan… Tak bisa begini, Bella…” gumamnya lirih. Matanya panas. Ia naik ke motor bututnya, lalu melaju ke arah pabrik kain tempatnya bekerja.

Padahal Baskara bukan orang bodoh. Ia sarjana S1 Manajemen Bisnis, lulusan terbaik dari universitas ternama di Bekasi.

Tapi hidup tidak selalu adil. Ia kini hanya buruh pabrik, gaji tiga juta sebulan. Dan itulah alasan mertuanya membencinya.

---

Satu jam kemudian.

Pabrik tempatnya bekerja.

Baskara masuk ke ruangan Supervisor. Di sana, atasannya, Feri Garnadi, tampak duduk sambil main gaple dengan beberapa supervisor lain. Asap rokok mengepul. Tumpukan uang berserakan di meja.

“Permisi, Pak Fer,” kata Baskara pelan. “Maaf saya mengganggu. Saya… saya mau menanyakan soal gaji yang tertunggak. Adik saya butuh biaya pengobatan.”

Feri menatap sinis, lalu menepuk abu rokoknya ke lantai.

“Baskara... kau bodoh atau pura-pura bodoh? Tahun ini orderan kain lagi sepi. Uang dari bos juga seret.”

“Tapi… kenapa karyawan lain tetap dapat gaji penuh, Pak? Sedangkan gaji saya dipotong setengah selama empat bulan.”

Feri dan teman-temannya saling pandang… lalu tertawa keras.

“Baskara, Baskara… polos sekali kau. Gajimu nggak pernah dipotong dari atas. Pak Toni sendiri yang potong begitu sampai. Dia benci kau, Baskara. Karena manusia sepertimu—” Feri menyeringai—“berani menikahi wanita tercantik di Bandung.”

Baskara terdiam. Sesak.

“Dia ingin kau menderita. Pantas saja,” lanjut Feri.

Dan kemudian… kalimat-kalimat kotor mulai keluar.

Ucapan menjijikkan tentang Naya.

Tawa-tawa kasar.

Tangan mereka menunjuk-nunjuk.

Mereka bahkan terang-terangan menawar tubuh istrinya seolah barang dagangan murahan.

“Cukup!!!” suara Baskara pecah. Napasnya memburu.

Ia melangkah maju, meninju wajah Feri.

Bam!

Bam!

Bam!

Tawa itu berubah jadi jeritan. Darah segar muncrat dari hidung Feri.

“Dasar brengsek, Baskara!” tetiak Feri sambil kabur keluar, memanggil satpam.

Puluhan satpam pun datang, menyerbu ruangan. Mereka menghajar Baskara tanpa peringatan.

Tendangan. Pukulan. Tonjokan.

Hingga tubuh Baskara terguling di lantai.

Feri berdiri di depan pintu, menatap puas. Ia membuka resleting celananya, lalu… mengencingi tubuh Baskara yang terkapar.

“Sampah tetaplah sampah,” katanya dingin. “Buang dia ke TPS. Biar ketemu teman-temannya di sana.”

Tawa kasar kembali terdengar.

Dan Baskara, dengan tubuh remuk dan wajah berlumur darah, hanya bisa memejamkan mata.

Dunia tiba-tiba terasa berat. Gelap. Sesak.

Tapi jauh di dalam hatinya… ada bara kecil yang mulai menyala.

Bara amarah.

---

Lanjut membaca
Lanjut membaca