

Suara bel sekolah baru saja berbunyi. Dika berjalan pelan melewati koridor yang ramai. Seragamnya sudah agak kusam, sepatu hitamnya mulai mengelupas di ujung. Ia menunduk, menahan malu setiap kali langkahnya terdengar berdecit di lantai yang licin.
“Woi, anak miskin lewat! Hati-hati, nanti lantainya kotor!” teriak Riko, teman sekelasnya yang terkenal sombong.
Beberapa siswa tertawa keras. Dika hanya diam. Ia sudah terbiasa menjadi bahan ejekan sejak lama.
Di dalam kelas, suasana tak lebih baik. Setiap kali ia duduk, selalu ada yang menggeser meja, atau menyembunyikan bukunya.
Namun yang paling membuat hatinya perih adalah ketika pandangannya bertemu dengan Rania — gadis yang diam-diam ia sukai.
Gadis itu hanya melirik sekilas, lalu memalingkan wajah dengan tatapan dingin.
Dika menelan ludah. Ia tahu, Rania tak membencinya, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk dekat dengan siswa miskin sepertinya.
Saat istirahat, Dika duduk di bawah pohon besar di belakang sekolah, membuka bekal nasi bungkus sederhana.
“Cuma tempe lagi,” gumamnya lirih, menatap bekalnya yang mulai dingin.
Ia menatap jauh ke arah gedung sekolah megah di depannya — tempat anak-anak orang kaya bercanda tanpa beban.
Dalam hatinya, Dika berjanji.
Akan tiba waktunya aku berdiri di tempat itu… bukan sebagai bahan ejekan, tapi sebagai seseorang yang mereka kagumi.
Namun, ia tak tahu.
Malam nanti, hidupnya akan berubah selamanya — dimulai dari sebuah sistem misterius yang akan muncul dan mengubah takdirnya.
" Sistem yang Datang di Tengah Malam "
Malam di desa tempat Dika tinggal terasa begitu sunyi. Angin hanya sesekali berhembus, menelusuri celah-celah dinding papan rumah kecil mereka. Lampu gantung redup bergoyang pelan di ruang tengah, memantulkan bayangan samar wajah ibunya, Wida, yang tengah menjahit baju tetangga demi tambahan uang belanja.
Dika menatap layar ponsel bututnya yang retak di sisi kanan. Ia membuka pesan-pesan lama dari teman sekolah, sebagian besar berisi ejekan atau meme tentang kemiskinannya. Jari-jarinya berhenti di satu nama: Rania.
Foto profil gadis itu menampilkan senyum lembut di bawah cahaya senja — senyum yang dulu pernah membuat Dika berani bermimpi, sebelum kenyataan menampar keras.
Ia masih ingat jelas kata-kata Rania dua minggu lalu.
> “Dika, maaf… kamu baik, tapi kita beda dunia. Aku gak bisa pacaran sama kamu. Orangtuaku gak akan setuju.”
Kalimat itu terus terputar di kepalanya seperti kaset rusak. Bukan karena marah, tapi karena perasaan kecewa yang terlalu dalam untuk diucapkan.
Dika menarik napas panjang, lalu menatap adiknya, Rani, yang sudah tertidur di atas tikar lusuh. Gadis kecil itu memeluk bantal dengan senyum polos, seolah dunia di sekitarnya baik-baik saja. Ia begitu mirip dengan mendiang ayah mereka, Rudi, sosok pekerja keras yang meninggalkan dunia terlalu cepat.
> “Ayah, andai Ayah masih ada… pasti semuanya gak seberat ini,” bisiknya lirih.
Jam dinding menunjukkan pukul 23.47. Dika merebahkan tubuhnya di kasur tipis, mencoba memejamkan mata. Tapi sebelum sempat tertidur, suara berdengung aneh muncul di kepalanya.
Awalnya pelan — seperti getaran ponsel dari kejauhan.
Lalu semakin jelas, semakin dekat.
> [Sistem Kehidupan diaktifkan…]
Dika membuka mata dengan panik. Ia menatap sekeliling, tapi tak ada siapa pun. Ruangan gelap, hanya suara jangkrik dan embusan angin.
> “Apaan itu…?” gumamnya.
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas.
> [Selamat datang, Dika Rudiansyah. Pengguna terpilih dari sistem ini telah ditentukan.]
Tubuhnya membeku. Ia menatap kosong ke langit-langit. “Aku… mimpi, ya?” pikirnya.
Namun seketika cahaya biru redup muncul di depan matanya — seperti layar hologram transparan. Tulisan-tulisan aneh bergerak cepat, menampilkan data yang membuat Dika semakin terpaku.
---
[Profil Pengguna]
Nama: Dika Rudiansyah
Usia: 17 tahun
Status: Siswa miskin tingkat akhir SMA
Kondisi Fisik: Lemah – Gizi rendah
Kecerdasan: Di bawah rata-rata
Keuangan: 12.000 rupiah
Emosi: Tertekan, namun memiliki determinasi tinggi
Potensi: 92%
---
> “Apa-apaan ini…?” Dika menelan ludah. “Kayak… sistem game?”
Layar itu tetap melayang di depan matanya, tak peduli ia mengedip atau menoleh.
Suara sistem kembali terdengar.
> [Sistem Kehidupan bertujuan untuk menyeimbangkan takdir. Setiap tindakan, keputusan, dan kerja keras akan dikonversi menjadi poin kehidupan. Poin dapat digunakan untuk mengubah nasib, meningkatkan kemampuan, dan memperbaiki kualitas hidup.]
Dika menatap layar itu takjub sekaligus takut.
> “Jadi… aku bisa berubah lewat ini?”
Suara sistem menjawab tanpa emosi.
> [Benar. Namun semua perubahan membutuhkan harga. Tidak ada yang gratis di dunia ini.]
Cahaya biru perlahan menghilang, meninggalkan kegelapan. Hanya suara jangkrik kembali terdengar. Dika terdiam lama, jantungnya berdetak cepat. Antara percaya dan tidak, antara takut dan penasaran.
Malam itu ia tak bisa tidur. Dalam benaknya hanya ada satu pertanyaan:
Apakah hidupnya benar-benar akan berubah?
---
Pagi datang dengan sinar matahari yang hangat, tapi suasana hati Dika masih dibalut kebingungan. Ia membantu ibunya menimba air di sumur sebelum berangkat sekolah. Wida memandang anaknya dengan lembut.
> “Dik, nanti pulang langsung makan ya. Ibu mau ke rumah Bu Sinta, katanya butuh bantu jahit seragam.”
“Iya, Bu,” jawab Dika sambil tersenyum tipis.
Setelah berpamitan, Dika berjalan kaki menuju sekolah. Sepatu lamanya berderit di setiap langkah, tapi anehnya hari ini langkahnya terasa lebih ringan. Mungkin karena rasa penasaran yang masih tersisa dari malam tadi.
Saat tiba di gerbang sekolah, seperti biasa beberapa teman sudah menatap sinis.
Riko bersiul dengan nada mengejek.
> “Woi, anak sistem! Udah daftar program miskin belum?”
Tawa meledak di antara mereka. Dika hanya menatap sekilas, lalu berlalu tanpa menjawab. Biasanya ia akan diam lama dan menunduk, tapi entah kenapa hari ini ia merasa sedikit berbeda. Seolah ada sesuatu yang membisikkan, biarkan saja… sebentar lagi semua akan berubah.
Di dalam kelas, guru matematika membagikan hasil ujian. Dika menghela napas — biasanya nilainya selalu di bawah rata-rata. Namun saat lembar kertas itu tiba di mejanya, matanya membelalak.
Nilai: 100
Ia memeriksa berulang kali, memastikan tak salah lihat.
> “Gak mungkin…” gumamnya pelan.
Riko yang duduk di belakangnya langsung berkomentar.
> “Wah, siapa yang ngerjain buat lo, Dik? Jangan-jangan nyontek?”
Guru menatap Dika dengan ekspresi heran.
> “Kamu gak nyontek kan, Dika?”
“Enggak, Bu. Saya… gak tahu kenapa bisa segini.”
Dika jujur bingung. Ia tak merasa melakukan hal luar biasa, tapi entah kenapa semua soal terasa mudah saat ujian kemarin. Ia hanya menulis apa yang terlintas di kepalanya, seolah pikirannya lebih cepat dari biasanya.
Suara sistem tiba-tiba terdengar samar di kepalanya.
> [Peningkatan awal: Kecerdasan naik 15 poin. Bonus motivasi +10%.]
Dika hampir menjatuhkan pensilnya. Ia menunduk, menahan keterkejutan. Jadi sistem itu benar-benar nyata!
---
Hari demi hari berlalu.
Kemampuan Dika terus berkembang — bukan hanya dalam pelajaran, tapi juga cara berpikir dan berbicara. Ia mulai bisa menjawab pertanyaan guru dengan tenang, bahkan beberapa kali membantu teman lain mengerjakan soal sulit.
Namun ia tak menceritakan hal ini pada siapa pun, bahkan pada ibunya atau Rani. Ia tahu, tak akan ada yang percaya.
Malam berikutnya, saat ia sendirian di kamar, layar biru itu kembali muncul.
---
[Tugas Harian: Sistem Kehidupan]
1. Bantu seseorang tanpa mengharap balasan – 100 poin.
2. Belajar mandiri minimal 2 jam – 50 poin.
3. Kendalikan emosi saat diejek – 20 poin bonus ketenangan.
4. Simpan rahasia sistem – 500 poin keamanan.
Total poin hari ini: 670.
---
Dika menatap angka itu dengan campuran takjub dan kebingungan.
> “Jadi… setiap kebaikan bisa jadi kekuatan?”
Ia teringat ejekan Riko siang tadi, ketika sepatu bolongnya kembali jadi bahan tawa. Ia menahan diri untuk tidak marah, dan kini ia tahu — itu bukan kelemahan, melainkan kekuatan tersembunyi yang sistem hargai.
---
Namun semakin hari, Dika mulai merasakan perubahan lain yang lebih aneh. Tubuhnya terasa lebih segar, ingatannya lebih tajam, dan ia mulai memahami hal-hal rumit tanpa perlu belajar lama. Dalam sebulan, ia menjadi siswa terbaik di kelas, sesuatu yang tak pernah dibayangkan siapa pun.
Rania, yang dulu menolaknya, mulai memperhatikan diam-diam.
Di koridor sekolah, ia menghentikan langkah saat Dika lewat.
> “Kamu berubah banget sekarang, Dik,” ucapnya dengan nada kagum.
Dika hanya tersenyum kecil.
> “Mungkin aku cuma mulai percaya sama diri sendiri.”
Ia berlalu tanpa menoleh lagi, meninggalkan Rania yang masih terpaku di tempat.
Namun jauh di dalam hati, Dika tahu perubahan ini bukan hanya soal percaya diri — melainkan kekuatan besar yang kini ia bawa sendirian.
Dan malam itu, sistem kembali aktif dengan pesan yang membuatnya menggigil.
> [Peringatan: Perubahanmu terdeteksi oleh entitas lain. Awasi sekelilingmu. Dunia ini tidak sesederhana yang kamu kira.]
---
Hujan turun deras malam itu. Suara petir memecah keheningan di langit desa. Di kamarnya yang sempit, Dika duduk termenung menatap layar biru sistem yang kini berkilau lembut di udara.
Tulisan baru muncul perlahan seperti tinta yang menyebar di air.
---
[Misi Spesial: Ujian Awal Sistem Kehidupan]
Tujuan: Hadapi ketidakadilan tanpa kekerasan.
Hadiah: Pembukaan fitur “Kemampuan Dasar.”
Peringatan: Gagal menjalankan misi pertama akan menurunkan potensi sebesar 30%.
---
Dika membaca teks itu berulang kali.
> “Ketidakadilan? Maksudnya apa?” gumamnya.
Ia mencoba memanggil sistem, tapi tak ada jawaban. Hanya pesan yang tetap melayang di udara lalu memudar perlahan, meninggalkan cahaya redup.
Tubuhnya masih bergetar. Ia belum sepenuhnya terbiasa dengan kehadiran sistem yang muncul tanpa peringatan. Tapi entah mengapa, ada perasaan tenang di balik semua kegelisahan itu — seperti naluri yang berbisik bahwa ini hanyalah awal.
Hujan belum juga reda ketika suara langkah kaki terdengar dari luar rumah. Pintu diketuk keras-keras.
> “Wida! Buka pintunya! Kami tahu kamu masih di dalam!”
Suara itu membuat Dika langsung berdiri. Ia mengenali suara berat itu — Pak Darlan, ketua RT yang sering memandang rendah keluarga mereka.
Wida bergegas keluar dari kamar. “Ada apa, Pak?” tanyanya dengan nada gugup.
Darlan menatap tajam sambil menunjuk tumpukan jahitan di meja.
> “Kamu belum bayar iuran keamanan dua bulan. Jangan pikir karena suamimu udah meninggal, kamu bisa seenaknya.”
Wida menunduk, suaranya gemetar. “Saya belum ada uang, Pak. Minggu depan insyaallah saya bayar, tolong beri waktu.”
Darlan mendengus sinis.
> “Alasan. Selalu begitu. Kalau gak sanggup tinggal aja dari sini!”
Dika yang berdiri di belakang ibunya mengepalkan tangan. Darahnya mendidih. Ia ingin maju dan membalas kata-kata itu, tapi suara sistem bergema di kepalanya:
> [Ujian: Hadapi ketidakadilan tanpa kekerasan.]
Ia menahan napas, mencoba menguasai diri.
> “Pak, mohon jangan kasar. Ibu saya sudah berusaha keras. Saya janji, besok pagi kami bayar.”
Darlan menatapnya sinis. “Kamu? Anak sekolahan gak punya uang, mau bayar pakai apa? Janji aja modalnya.”
Dika menatap lurus, kali ini tanpa takut.
> “Besok pagi jam tujuh, saya datang ke rumah Bapak bawa uang. Kalau saya gak datang, anggap aja saya pembohong.”
Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Darlan terdiam sejenak, lalu mendengus lagi sebelum pergi.
Setelah pintu tertutup, Wida memeluk anaknya.
> “Ngapain kamu janji begitu, Dik? Uang dari mana?”
Dika menghela napas. “Tenang aja, Bu. Saya gak akan biarin Ibu terus dipermalukan.”
Namun begitu ibunya kembali ke kamar, Dika menatap langit-langit yang bocor di sudut ruangan. Ia sendiri tak tahu bagaimana menepati janjinya.
> “Ujian pertama, ya… Kalau ini cara sistem ngetes aku, aku gak akan mundur.”
---
Pagi datang dengan udara lembap sisa hujan.
Dika berangkat lebih awal dari biasanya, membawa tas kecil dan niat kuat. Di jalan, ia menemukan seorang wanita tua yang sedang kesulitan mendorong gerobak sayur di tanjakan.
Tanpa pikir panjang, Dika membantu mendorongnya sampai ke atas.
> “Makasih ya, Nak,” kata wanita itu dengan napas tersengal. “Semoga rezekimu lancar.”
Seketika layar biru muncul di depannya.
> [Tindakan positif terdeteksi. Poin Kehidupan +100. Fisik meningkat 5%.]
Dika tersenyum kecil. “Ternyata gini cara sistem bekerja.”
Ia melanjutkan langkah dengan semangat baru. Di sekolah, ia mencoba fokus belajar seperti biasa. Tapi pikirannya terus kembali pada janji semalam — iuran yang belum dibayar.
Saat istirahat, Riko kembali datang dengan nada mengejek.
> “Eh, Dika! Lo katanya pinter sekarang, tapi masih naik angkot ya? Mana gaya lo?”
Teman-teman tertawa. Dika tak menjawab, hanya menatap tenang.
Tiba-tiba layar sistem muncul sekilas di matanya.
> [Tahan emosi – Bonus ketenangan +20 poin.]
Riko mendengus, kecewa karena tak mendapat reaksi. “Dasar aneh!” serunya sebelum pergi.
Dika menatap keluar jendela, lalu tersenyum samar. “Kalau sistem ini bisa ngasih kekuatan dari kesabaran, mungkin ini cara Tuhan ngajarin aku buat kuat.”
---
Sepulang sekolah, ia memutar otak mencari cara menepati janjinya. Saat lewat depan toko kelontong, ia melihat pengumuman:
> Dicari: Tenaga bantu bongkar muatan, dibayar harian.
Tanpa ragu, Dika mendaftar. Meski tubuhnya lelah, ia bekerja sampai sore membantu menurunkan karung beras dan minyak goreng dari truk.
Tangan dan bahunya sakit, tapi layar biru berkedip tiap kali ia menuntaskan tugas.
> [Kerja keras terdeteksi – +300 poin fisik.]
[Tingkat stamina meningkat.]
Setelah pekerjaan selesai, pemilik toko menyerahkan amplop kecil.
> “Ini upahmu, Nak. Gak banyak, tapi kamu kerja paling cepat tadi.”
Dika membuka amplop itu di jalan. Dua lembar uang lima puluh ribuan. Matanya berbinar.
> “Seratus ribu… cukup buat bayar iuran, bahkan sisanya bisa buat beli beras.”
Ia menatap langit yang mulai jingga.
> “Makasih, Sistem. Entah kamu apa, tapi aku janji gak akan nyalahgunain kekuatan ini.”
---
Malam itu, Dika datang ke rumah Pak Darlan. Pria itu tampak kaget melihatnya membawa amplop.
> “Ini uang iurannya, Pak. Seperti janji saya.”
“Kamu dapat dari mana?” tanya Darlan curiga.
“Saya kerja. Gak penting gimana caranya, yang penting janji saya lunas.”
Darlan terdiam. Wajahnya tak lagi semenentara malam sebelumnya.
> “Hm. Baiklah. Kau anak yang bertanggung jawab.”
Dika hanya menunduk sopan lalu pergi.
Begitu sampai di rumah, ia menatap ibunya yang tengah menyiapkan makan malam sederhana.
> “Uangnya udah dibayar, Bu.”
“Serius? Dari mana kamu dapat?”
“Kerja, Bu. Gak usah khawatir.”
Wida memeluknya erat. “Ayahmu pasti bangga sama kamu, Nak.”
Air mata Dika hampir jatuh, tapi ia menahan. Ia hanya tersenyum, menatap adiknya yang tertawa kecil di sudut ruangan.
Lalu, suara sistem terdengar lembut di kepalanya.
> [Misi Selesai: Ujian Awal Sistem Kehidupan berhasil.]
[Hadiah terbuka: Fitur “Kemampuan Dasar” aktif.]
[Kemampuan pertama: Analisis Situasi – kemampuan mengenali peluang tersembunyi dan bahaya di sekitar.]
Cahaya biru muncul di sekitar tubuhnya lalu menghilang perlahan. Dika merasakan hawa hangat di dadanya — seperti energi baru yang mengalir.
Namun sesaat kemudian, layar lain muncul.
Tulisan yang satu ini membuat jantungnya berdegup cepat.
---
[Peringatan Sistem]
Entitas asing mendeteksi aktivasi kemampuanmu.
Kemungkinan pengawasan: 18%.
Disarankan untuk berhati-hati terhadap individu yang menunjukkan tanda-tanda anomali energi di sekitarmu.
---
Dika menatap tulisan itu dengan wajah serius.
> “Entitas asing? Siapa maksudnya?”
Ia menoleh ke jendela. Di luar, hujan kembali turun. Tapi kali ini, di antara rintik-rintik air, Dika merasa seperti ada bayangan seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan — diam, tapi nyata.
Ia menggenggam tangan kuat-kuat.
> “Kalau memang dunia ini gak sesederhana yang aku kira… aku siap.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Dika merasa masa depannya bukan lagi tentang kemiskinan atau ejekan — tapi tentang rahasia besar yang akan menuntunnya menuju dunia baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.