Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Kita Pernah Ada

Kita Pernah Ada

Ombob | Bersambung
Jumlah kata
117.0K
Popular
479
Subscribe
57
Novel / Kita Pernah Ada
Kita Pernah Ada

Kita Pernah Ada

Ombob| Bersambung
Jumlah Kata
117.0K
Popular
479
Subscribe
57
Sinopsis
PerkotaanSekolahCinta Sekolah
Kita Pernah Ada Dulu, segalanya terasa begitu sederhana. Pagi dengan seragam yang belum disetrika, tawa di kantin sekolah, dan suara bel yang selalu menjadi tanda dimulainya kebahagiaan kecil yang kini hanya tinggal kenangan. Di antara hari-hari itu, ada Alung — seorang remaja biasa dengan mimpi yang sederhana: tumbuh bersama teman-temannya dan seseorang yang diam-diam ia kagumi. Namun, waktu berjalan terlalu cepat. Satu per satu orang pergi, meninggalkan kenangan yang hanya tersimpan di ingatan. Tak ada foto untuk disimpan, hanya potongan memori yang terus berputar di kepala. Bertahun-tahun kemudian, Alung kembali ke kota kecil tempat ia tumbuh, hanya untuk menyadari betapa banyak hal yang telah berubah — dan betapa besar kerinduannya pada masa yang tak akan pernah kembali. Pertemuan tak terduga dengan sahabat lamanya membuka kembali lembaran masa lalu yang lama ia simpan rapat-rapat. Cinta yang tak sempat diucapkan, janji yang terlewat, dan tawa yang dulu menjadi pelipur semua luka — semuanya hadir lagi, membawa kehangatan sekaligus perih yang sulit dijelaskan. Di antara nostalgia dan kenyataan, Alung belajar bahwa tidak semua hal diciptakan untuk bertahan selamanya. Namun, keberadaannya pernah nyata, dan itu cukup untuk membuatnya mengerti: tidak semua yang hilang harus disesali, karena pernah ada — itu sudah berarti.
Bab 1 – Hari yang Sama, Langit yang Berbeda

Suara mesin motor terdengar serak, bercampur dengan dentingan logam yang saling beradu. Bau oli dan bensin memenuhi udara bengkel kecil di pinggir jalan itu. Di antara tumpukan kunci pas dan baut berkarat, Alung duduk di kursi kayu pendek, menatap roda motor yang sedang ia perbaiki. Tangannya bergerak otomatis, seolah tubuhnya sudah hafal semua langkah tanpa perlu berpikir.

Hari itu sama seperti hari-hari sebelumnya. Pagi dengan matahari yang sedikit redup, pelanggan yang datang silih berganti, dan suara radio tua yang memutar lagu-lagu dari masa lalu — lagu yang entah kenapa membuat suasana bengkel terasa lebih sepi dari biasanya.

“Lung, nanti siang tolong bantu kirim motor ke rumah Bu Rani ya,” kata Pak Sastro, pemilik bengkel yang juga tempat Alung bekerja sejak beberapa tahun lalu.

“Iya, Pak,” jawab Alung tanpa menoleh. Suaranya datar, tapi sopan.

Pak Sastro menatap anak muda itu sejenak. “Kamu kelihatan capek, nggak apa-apa?”

Alung tersenyum kecil. “Nggak, Pak. Cuma kurang tidur aja.”

Sebenarnya, bukan kurang tidur. Tapi semalam Alung memang lama terjaga. Entah kenapa, akhir-akhir ini pikirannya sering melayang entah ke mana. Ia sering teringat hal-hal kecil dari masa lalu — tawa teman-temannya, aroma lapangan basah sehabis hujan, dan suara bel sekolah yang dulu terasa menyebalkan, tapi kini justru membuat dadanya hangat.

---

Jam makan siang datang. Bengkel mulai sepi. Alung duduk di depan pintu, membuka bekal sederhana — nasi, tempe goreng, dan sambal. Di seberang jalan, anak-anak berseragam putih biru berlari kecil sambil tertawa, mungkin baru pulang dari sekolah.

Pemandangan itu membuat tangannya berhenti sesaat.

Anak-anak itu berteriak riang, menggoda satu sama lain sambil berebut minuman di warung kecil dekat tikungan.

Senyum kecil muncul di bibir Alung, tapi ada rasa aneh yang ikut menyusup — semacam hangat yang diikuti perih.

Ia ingat masa-masa itu.

Masa ketika hidup hanya tentang datang ke sekolah, bermain bola di lapangan, dan berdebar setiap kali lewat depan kelas sebelah.

Waktu itu, dunia terasa kecil, tapi penuh warna.

Sekarang, dunia terasa lebih luas — tapi sepi.

Alung menarik napas panjang, menatap langit siang yang mendung tipis. Ia teringat seseorang.

Laras.

Nama itu melintas begitu saja, seperti bisikan yang datang dari masa yang jauh. Sudah lama ia tak mendengar nama itu diucapkan oleh siapa pun, bahkan oleh dirinya sendiri. Tapi anehnya, setiap kali ia teringat masa sekolah, wajah Laras selalu ikut muncul — samar, tapi hangat.

Ia tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri.

“Ah, udah lama banget juga,” gumamnya pelan. “Ngapain juga diinget-inget.”

Tapi justru karena sudah lama, kenangan itu terasa makin kuat.

---

Sore itu, setelah bengkel tutup, Alung membantu Pak Sastro menutup pintu besi. Hari mulai gelap. Udara lembap sehabis hujan membuat aroma tanah basah tercium kuat. Ia melangkah pulang dengan langkah pelan, menyusuri jalan kecil yang dulu sering ia lewati waktu sekolah.

Di kiri-kanan jalan, banyak yang berubah.

Warung bakso langganannya sudah berganti jadi toko pakaian. Pohon besar di depan gang sudah ditebang. Tapi beberapa hal masih sama — suara jangkrik, aroma gorengan dari rumah Bu Yati, dan anak-anak kecil yang main petak umpet di halaman.

Langkah Alung terhenti di depan sebuah pagar tua berwarna hijau.

Sekolahnya.

Gerbangnya sudah agak berkarat, tapi papan nama di atasnya masih sama: SMP Negeri 3.

Ia berdiri di sana cukup lama, hanya menatap tanpa niat untuk masuk. Dari balik pagar, terdengar suara guru yang sedang mengajar di kelas, dan sesekali tawa anak-anak yang pecah dari arah lapangan.

“Udah berapa tahun ya…” gumamnya pelan.

Mendadak, kenangan itu menyeruak begitu saja.

---

Ia teringat hari-hari ketika ia masih duduk di bangku itu.

Bangun kesiangan, lari ke sekolah sambil membawa buku di tangan.

Bermain bola di lapangan sampai sepatu jebol.

Dan… seseorang yang selalu duduk di bangku dekat jendela, dengan rambut dikuncir dua dan senyum yang tak pernah gagal menenangkan.

Laras.

Dia bukan gadis yang menonjol, tapi entah kenapa, setiap kali Alung melihatnya, waktu seolah melambat.

Kadang hanya sekadar bertukar senyum saat pergantian jam pelajaran. Kadang berbagi permen di kantin.

Hal-hal kecil, tapi justru itulah yang paling diingat.

“Lung, nanti sore belajar kelompok ya,” kata Laras waktu itu, sambil memegang buku matematika.

Suara itu masih terdengar jelas di kepala Alung.

Ia ingat cara Laras mengerutkan kening saat menghitung, atau tertawa saat salah menulis rumus.

Ia bahkan masih ingat aroma sabun rambut yang samar-samar tercium setiap kali Laras lewat di depannya.

Itu semua dulu terasa biasa.

Tapi sekarang, kenangan sekecil itu bisa membuat dada terasa sesak.

---

Hujan turun lagi, pelan tapi deras.

Alung berlari kecil mencari tempat berteduh di bawah pohon dekat pagar sekolah. Ia menatap air yang jatuh dari atap, menetes perlahan seperti detak waktu yang enggan berhenti.

Dari kejauhan, lonceng sekolah berbunyi.

Suara itu menusuk dadanya.

Tanpa sadar, ia tersenyum — lalu tertunduk.

“Aneh, ya,” katanya pelan pada dirinya sendiri. “Dulu pengin cepat-cepat lulus, sekarang malah pengin balik lagi.”

Ia menatap jalanan basah di depannya.

Di pantulan air hujan, ia melihat bayangan dirinya sendiri — wajah dewasa yang memudar bersama sisa cahaya senja.

---

Malamnya, di kamar sempitnya, Alung duduk di depan meja kayu kecil.

Ia membuka laci, mencari sesuatu.

Di bawah tumpukan kertas servis motor, ia menemukan sebuah buku catatan lusuh dengan sampul bergambar bintang.

Ia mengenali tulisan kecil di pojok kanan bawah: “Alung – Kelas 9B.”

Tangannya berhenti sejenak sebelum membuka halaman pertama.

Tulisan-tulisan kecil berantakan memenuhi halaman — catatan pelajaran, gambar iseng, dan beberapa kalimat yang ia tulis saat bosan di kelas.

Lalu di tengah-tengahnya, ada halaman kosong dengan satu kalimat di sudut bawah:

> “Kalau suatu hari kita berpisah, jangan lupa kalau kita pernah ada.”

Tulisan itu miring, dengan tinta yang sudah agak pudar.

Tapi Alung tahu persis siapa yang menulisnya.

Laras.

Dadanya bergetar. Ia menatap kalimat itu lama sekali, seolah waktu berhenti di sana.

> “Kita pernah ada…”

Suara itu keluar lirih, nyaris seperti bisikan.

Ia menutup buku itu perlahan, menatap langit-langit kamar yang retak di sudut.

Di luar, hujan masih turun.

Malam itu, Alung tidak langsung tidur.

Ia menatap jendela yang berembun, mendengarkan suara hujan seperti irama masa lalu yang tak mau pergi.

Mungkin hidupnya memang sederhana.

Pagi di bengkel, sore di jalan, malam di kamar kecil.

Tapi malam ini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya terasa hidup.

Entah kenapa, ia merasa seperti sesuatu sedang memanggilnya kembali — ke tempat, waktu, dan seseorang yang dulu ia tinggalkan tanpa sempat benar-benar pamit.

Di meja, buku catatan itu tetap terbuka.

Dan di sudut halamannya, tulisan Laras yang pudar seolah masih berbisik pelan:

> “Kita pernah ada.”

Lanjut membaca
Lanjut membaca