

Malam ini aku akan mati.
Kepalan tangan sebesar panci melayang ke arahku. Aku mencoba menghindar, tapi terlambat. Rasa sakit meledak di rahangku seperti petir menyambar tengkorak. Tubuhku terlempar, punggung menghantam tembok beton kasar di belakang kampus.
"Bayar utangmu, bajingan!" Bang Joko—debt collector bertubuh raksasa dengan wajah penuh bekas luka—menarik kerah kemejaku hingga kancing terlepas. Napasnya bau rokok kretek campur alkohol murahan. "Gue kasih waktu seminggu buat bayar 200 juta. Ini minggu keempat!"
Namaku Arya Mahendra, mahasiswa kedokteran semester akhir Universitas Indonesia yang hidupnya biasa-biasa saja. Atau setidaknya begitu sampai Ayah jatuh sakit kanker stadium akhir dan meninggalkan hutang ratusan juta untuk biaya pengobatan yang tidak berhasil.
"Gue... gue cuma mahasiswa," kataku dengan susah payah. Darah hangat mengalir dari sudut bibirku, rasa logam memenuhi mulut. "Gue nggak punya uang sebanyak itu..."
"Bukan urusan gue!" Bang Joko menamparku lagi. Pandanganku berkunang-kunang, telinga berdenging keras.
Dua anak buahnya—pria kurus bertato ular dan pria gempal dengan bekas luka bakar di leher—maju dengan seringai sadis.
"Boss, biar gue yang urus," si Kurus mengeluarkan pisau lipat dari saku celana. Bilahnya berkilat di bawah lampu redup gang kampus.
"Jangan dibunuh," perintah Bang Joko sambil menyalakan rokok. "Cukup buat dia nggak bisa jalan seminggu. Biar dia ingat siapa yang dia utangi."
Mereka mulai mengeroyok. Tendangan demi tendangan menghantam perutku. Aku mencoba melindungi kepala dengan tangan, tapi si Gempal menginjak tanganku dengan sepatu boots besi. Tulang-tulangku berderak.
"Ampun... kumohon..." suaraku hanya bisikan lemah.
"Ampun?" Bang Joko berjongkok, menatapku dengan mata dingin. "Lo pikir gue peduli? Bapak lo yang kabur, tapi lo yang bayar. Begitu aturannya."
Si Kurus menusukkan pisau ke paha kiriku—bukan dalam, tapi cukup untuk membuat darah menyembur keluar. Rasa sakit luar biasa menjalar ke seluruh tubuh. Aku menjerit, tapi tidak ada yang datang menyelamatkan. Gang ini sepi. Mahasiswa sudah pulang semua. Hanya ada aku dan tiga monster berwujud manusia ini.
"Cukup," Bang Joko bangkit. "Ayo pergi."
Langkah kaki mereka menjauh, diikuti suara tawa yang menggema di gang gelap.
Aku terbaring di tanah dingin, tubuh penuh luka. Darah menggenangi aspal di bawahku, membentuk genangan hitam pekat. Kesadaranku mulai kabur. Dingin. Sangat dingin. Meskipun ini bulan Juni, tubuhku menggigil seperti kedinginan di puncak gunung.
Ponsel di saku celanaku bergetar. Dengan sisa tenaga, aku mengeluarkannya. Layar retak menampilkan nama "Bunda" dengan 23 panggilan tak terjawab. Aku tidak punya kekuatan untuk mengangkat. Jari-jariku terlalu lemah untuk menekan tombol hijau.
Notifikasi chat masuk:
Bunda: Arya, Ayahmu semakin parah. Dokter bilang dia tidak akan bertahan sampai pagi. Kumohon, pulanglah. Aku tidak mau sendirian saat dia pergi.
Air mata mengalir di pipiku, bercampur dengan darah.
Maafkan aku, Bunda. Sepertinya aku juga tidak bisa pulang.
Napas mulai terasa berat. Setiap tarikan napas seperti ada pisau di paru-paru. Pandanganku mengabur. Lampu jalan di ujung gang terlihat semakin jauh, seperti bintang di langit malam yang perlahan padam.
Ini akhir hidupku. Dua puluh empat tahun menjalani kehidupan biasa-biasa saja, dan akan berakhir di gang kumuh dengan tubuh penuh luka, sendirian, tidak ada yang peduli.
Andai saja aku punya kekuatan untuk mengubah segalanya. Andai saja aku bisa menyelamatkan Ayah. Andai saja...
Kegelapan menelanku.
Tapi aku tidak mati.
Atau mungkin aku sudah mati?
Yang kutahu, tiba-tiba aku tidak lagi merasakan sakit. Tidak lagi merasa dingin. Tubuhku melayang di kegelapan yang aneh—bukan gelap seperti malam, tapi gelap yang bercahaya. Seperti berada di dalam air tinta yang bersinar dari dalam.
Aku mencoba bergerak, tapi tubuhku tidak merespons. Aku mencoba berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.
Di mana aku?
Sebuah suara menggelegar dari segala arah, bergema di dalam kepalaku.
"Kau... anak yang malang."
Jantungku—atau sesuatu yang terasa seperti jantung—berdetak keras. Aku menoleh ke segala arah, tapi tidak melihat apa-apa selain kegelapan bercahaya.
"Siapa?!" teriakku—atau setidaknya aku pikir aku berteriak. "Siapa yang bicara?!"
Cahaya emas muncul di hadapanku, perlahan membentuk sosok. Seorang pria tua dengan jubah putih panjang yang bergerak meskipun tidak ada angin. Rambutnya memutih seperti salju abadi, panjang hingga ke pinggang. Tapi matanya—matanya tajam seperti elang pemburu, memancarkan cahaya emas yang menusuk.
Di tangannya, tongkat kayu dengan ukiran naga yang melilit. Naga itu terlihat hidup, seolah-olah akan melepaskan diri dari tongkat kapan saja.
Aura yang dipancarkan pria ini luar biasa. Bukan aura menakutkan, tapi aura yang sangat kuat—seperti berdiri di hadapan gunung yang bisa runtuh kapan saja.
"Namaku Dewangga," katanya dengan suara berat yang menggetarkan kegelapan di sekitar kami. "Tabib Surgawi terakhir dari Dinasti Sriwijaya. Aku telah menunggu ratusan tahun untuk menemukan pewaris yang layak."
"Pewaris?" Aku menggelengkan kepala bingung—atau setidaknya aku merasa menggeleng. Di tempat ini, aku tidak yakin apakah tubuhku masih ada. "Maaf, tapi saya cuma mahasiswa kedokteran yang lagi sekarat. Salah alamat kayaknya."
Dewangga tersenyum tipis. Senyum itu tidak mencapai matanya.
"Tidak ada yang salah dalam alam semesta ini, Arya Mahendra," katanya sambil melangkah mendekat. "Warisan hanya bisa jatuh pada mereka yang ditakdirkan. Dan takdirmu… mewarisi seluruh pengetahuan dan kemampuanku. Kau akan mati dalam tiga jam jika aku tidak menyelamatkanmu. Tapi setelah aku selamatkan... hidupmu tidak akan pernah sama lagi."
Kata-kata itu seperti petir di tengah malam—membuat jantungku yang hampir berhenti berdetak kembali lebih kencang.
"Apa maksudmu?" tanyaku dengan susah payah.
"Aku akan memberikanmu Kitab Sembilan Jarum Surgawi—warisan kultivasi medis tertinggi yang pernah ada. Kau akan mendapat kekuatan untuk menyembuhkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Tapi dengan kekuatan itu, kau juga akan mendapat musuh yang tidak terhitung jumlahnya. Dunia kultivator penuh dengan bahaya. Dan kau, dengan warisan yang akan kuberikan, akan menjadi target semua orang—baik yang baik maupun yang jahat."
Dia mengangkat tangannya. Cahaya emas berkumpul di telapak tangannya, membentuk bola energi yang berputar-putar.
"Kau akan menjadi dokter terhebat yang pernah ada di muka bumi ini."
Sebelum aku bisa protes, sebelum aku bisa bertanya apa maksudnya, tangannya bergerak cepat. Cahaya emas menyambar dahinya sendiri, lalu menghantam keningku seperti petir yang menerobos tengkorak.
BRAKKK!
Rasa sakit meledak di kepalaku—jauh lebih sakit dari semua pemukulan yang kulami tadi. Seperti ada ribuan jarum panas menusuk otak dari segala arah. Aku menjerit, tapi suara jertitku tertelan kegelapan.
Informasi mengalir deras ke dalam pikiranku. Ribuan—tidak, puluhan ribu teknik pengobatan kuno. Gambar tubuh manusia dengan titik-titik cahaya yang disebut meridian. Cara mengalirkan sesuatu yang disebut qi untuk menyembuhkan luka. Ramuan-ramuan spiritual yang belum pernah kudengar. Formula pil legendaris. Teknik jarum akupunktur yang bisa membunuh atau menghidupkan.
Semua pengetahuan itu masuk dalam sekejap mata, tapi rasanya seperti berlangsung selama bertahun-tahun.
"Kitab Sembilan Jarum Surgawi kini milikmu," suara Dewangga bergema, semakin jauh. "Gunakan dengan bijak. Selamatkan yang tidak bisa diselamatkan. Sembuhkan yang tidak bisa disembuhkan."
"Tunggu!" Aku mencoba meraih sosoknya yang mulai memudar. "Gue belum siap—gue nggak mengerti—"
"Kau akan mengerti," katanya sambil tersenyum. "Ketika waktunya tiba."
Tapi ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang membuatku merinding.
Sesuatu seperti... peringatan.
"Ingat, Arya Mahendra," suaranya bergema semakin jauh. "Kekuatan besar datang dengan tanggung jawab besar. Dan dengan musuh yang lebih besar."
"Musuh? Musuh apa?!"
Tapi Dewangga sudah menghilang. Cahaya emas meledak menjadi ribuan pecahan seperti kaca yang hancur.
Dan aku jatuh.
Jatuh.
Jatuh ke dalam kegelapan yang tak berdasar.