Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
CEO Pilihan Dewi

CEO Pilihan Dewi

Jim's Freak | Tamat
Jumlah kata
85.4K
Popular
424
Subscribe
96
Novel / CEO Pilihan Dewi
CEO Pilihan Dewi

CEO Pilihan Dewi

Jim's Freak| Tamat
Jumlah Kata
85.4K
Popular
424
Subscribe
96
Sinopsis
18+PerkotaanSupernaturalIsekaiMiliarderBalas Dendam
[Peringatan: Novel Dewasa | Spice | Harem] Di dasar jurang keputusasaan Jakarta, aku hanyalah seorang mahasiswa miskin, korban yang siap dihancurkan oleh takdir. Sampai suara itu datang—bisikan serak dan penuh hasrat di dalam benakku, milik seorang dewi yang terkurung, sekarat, dan terikat pada jiwaku. Dia menawariku sebuah kontrak terlarang, dan syaratnya bukan hanya tentang kekuasaan. Ini tentang dominasi total. Aku harus menaklukkan tahta bisnis, dan setiap wanita yang masuk dalam orbitku harus terikat padaku—tubuh, pikiran, dan kesetiaan mereka. Setiap penaklukan—di ranjang maupun di ruang rapat—adalah persembahan yang memberinya kekuatan. Setiap desahannya di dalam pikiranku adalah pengingat bahwa kegagalanku bukan hanya berarti kematianku, tapi juga keabadiannya dalam penjara sunyi. Tapi kami tidak sendiri. Sesuatu di kegelapan dunia ini bisa merasakan kekuatannya bangkit di dalam diriku. Mereka memburuku, ingin merebut "sistem" suciku untuk tujuan mereka yang keji. Aku tak punya pilihan. Demi keselamatannya, aku akan menjadi monster yang dibutuhkan dunia ini. Aku akan duduk di tahta itu, atau kami akan hancur bersama dalam belenggu takdir ini.
Bab 1: Matahari yang Ditelan Malam

Udara di dalam ruangan ini terasa seperti es. Bukan dingin yang menyegarkan dari pendingin udara yang bekerja terlalu keras, melainkan dingin yang merayap dari tulang, membekukan harapan hingga menjadi serpihan debu yang rapuh. Ruang Sidang Disiplin Fakultas Teknik adalah sebuah kotak steril berwarna putih gading, dirancang untuk membedah kesalahan dan memvonis masa depan. Dan hari ini, masa depan yang terbaring di atas meja pembedahan itu adalah milik Baskara.

Dia duduk tegak di kursi kayu yang terasa sekeras batu nisan. Tangannya terkepal di atas pangkuan, buku-buku jarinya memutih, satu-satunya perlawanan bisu yang bisa ia tawarkan. Di seberangnya, di balik meja mahoni yang berkilauan angkuh, duduk tiga sosok yang akan menjadi hakim, juri, dan algojonya. Dekan Fakultas, seorang pria paruh baya dengan kacamata yang bertengger di hidung seolah sedang mengamati spesimen langka. Di sebelahnya, dua dosen senior dengan ekspresi yang sama—campuran antara kebosanan profesional dan kekecewaan yang dibuat-buat.

Di sisi ruangan, duduklah sumber dari semua ini. Raditya Utama. Dia mengenakan kemeja bermerek yang harganya mungkin setara dengan biaya hidup Baskara selama tiga bulan. Ekspresinya adalah mahakarya kepalsuan—wajahnya menunjukkan penyesalan yang dalam, namun matanya yang kecil dan licik berkilat dengan kemenangan yang tak bisa disembunyikan. Di sebelahnya, ayahnya, seorang konglomerat yang duduk di dewan wali amanat universitas, menatap lurus ke depan dengan aura kekuasaan yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih padat.

Dan di barisan belakang, di sudut yang remang, duduk Amanda. Pacarnya. Atau lebih tepatnya, mantan pacarnya, jika dilihat dari cara dia menghindari tatapan Baskara seolah tatapan itu adalah asam sulfat.

“Saudara Baskara,” suara Dekan memecah keheningan yang menyesakkan, terdengar lebih seperti palu hakim daripada pertanyaan. “Setelah meninjau semua ‘bukti’ yang diajukan—laporan dari Saudara Raditya, analisis perangkat lunak plagiarisme, dan testimoni saksi—komite telah mencapai keputusan.”

Baskara merasakan jantungnya berdebar, satu pukulan keras yang menyakitkan di tulang rusuknya. ‘Bukti’. Kata itu terasa seperti ludah di wajahnya. Bukti yang mereka maksud adalah salinan digital dari desain turbin inovatifnya, lengkap dengan metadata palsu yang menunjukkan tanggal pembuatan lebih awal atas nama Raditya. Bukti yang mereka maksud adalah log obrolan yang dimanipulasi, membuatnya tampak seolah-olah dia meminta Raditya untuk "membantunya" menyelesaikan proyek yang tidak mampu ia kerjakan.

Sebuah kebohongan yang begitu sempurna, begitu rapi, hingga kebenaran terasa seperti dongeng anak-anak yang naif.

“Kami menemukan Anda bersalah atas pelanggaran kode etik akademik tingkat berat,” lanjut Dekan, matanya yang dingin menatap Baskara dari balik lensanya. “Plagiarisme yang disengaja.”

Setiap kata adalah paku yang ditancapkan ke dalam peti matinya. Baskara membuka mulutnya, ingin berteriak, ingin membalik meja dan mencekik kebohongan dari leher Raditya. Tapi yang keluar hanyalah suara serak yang nyaris tak terdengar. “Itu desain saya. Saya punya sketsa kasarnya, catatan saya…”

“Catatan yang bisa dibuat kapan saja,” potong salah satu dosen dengan nada meremehkan. “Saudara Raditya telah menunjukkan log pengembangan digital yang tidak terbantahkan. Sementara Anda, Saudara Baskara, hanya memiliki kertas dan klaim.”

Di dalam benaknya, Baskara merasakan amarah yang begitu panas hingga hampir membutakannya. Gunung berapi yang selama ini ia pendam di dalam dadanya bergemuruh, mengancam akan meletus. Dia ingin memaki mereka, menyebut mereka pion-pion korup yang tunduk pada uang dan kekuasaan. Dia ingin memberitahu dunia bahwa Raditya adalah pencuri, seorang pengecut yang tidak akan pernah bisa menghasilkan satu ide orisinal pun seumur hidupnya.

Tapi dia tidak melakukannya. Karena dia tahu, amarah tanpa kekuatan hanyalah lelucon bagi dunia. Dan saat ini, dia adalah pria yang paling tidak berdaya di seluruh Jakarta.

“Sebagai konsekuensinya,” Dekan membacakan vonisnya, setiap kalimatnya adalah ayunan kapak. “Beasiswa prestasi Anda dicabut, berlaku efektif segera. Anda diskors dari semua kegiatan akademik selama dua semester. Dan nilai untuk proyek akhir Anda secara otomatis dianggap gagal. Kami menyarankan Anda untuk merenungkan tindakan Anda.”

Skorsing. Gagal. Beasiswa dicabut.

Tiga paku terakhir. Peti mati itu tertutup dan terkunci.

Baskara tidak mendengar apa-apa lagi setelah itu. Suara-suara di ruangan itu melebur menjadi dengungan rendah. Dia melihat Raditya bangkit, menjabat tangan para anggota komite dengan senyum penuh kemenangan yang disamarkan sebagai rasa terima kasih. Dia melihat ayah Raditya mengangguk puas. Dan dia melihat Amanda, bangkit dari kursinya, berjalan ke arah Raditya, dan meletakkan tangan di lengannya dengan gerakan yang begitu intim, begitu natural. Sebuah pengkhianatan terakhir yang dieksekusi dengan keanggunan seorang penari balet.

Saat mata mereka bertemu untuk sepersekian detik, Baskara tidak melihat penyesalan di mata Amanda. Yang ia lihat adalah pilihan. Pilihan antara seorang jenius yang hancur dan seorang pewaris yang berkuasa. Pilihan yang paling logis di dunia.

Sidang selesai. Masa depannya telah divonis mati.

Dia berjalan keluar dari ruangan itu seperti mayat hidup. Koridor fakultas yang biasanya terasa familier kini tampak seperti terowongan panjang yang asing. Bisikan-bisikan mulai terdengar seperti desis ular di sekelilingnya. Tatapan-tatapan—campuran antara kasihan, cemoohan, dan rasa ingin tahu—terasa seperti jarum yang menusuk kulitnya. Berita menyebar lebih cepat dari api di dunia digital ini. Dia bukan lagi Baskara, si jenius Teknik Mesin. Dia adalah Baskara, si penjiplak.

Getaran di sakunya menyadarkannya. Ponselnya. Sebuah email resmi dari rektorat. Subjek: Pencabutan Beasiswa dan Status Akademik. Isinya mengulangi vonis yang baru saja ia dengar, dalam bahasa birokrasi yang dingin dan tanpa ampun. Di bagian bawah, ada catatan tambahan dari pengelola asrama mahasiswa. Dengan dicabutnya beasiswa, dia tidak lagi berhak atas fasilitas asrama dan harus mengosongkan kamarnya dalam waktu 2x24 jam.

Dua hari.

Dia tertawa. Tawa yang kering dan pecah, tanpa humor sedikit pun. Tentu saja. Dunia tidak pernah menghancurkan seseorang setengah-setengah. Dunia selalu memastikan untuk menginjak korbannya hingga menjadi debu.

Dia berjalan tanpa tujuan, kakinya membawanya pergi dari kampus neraka itu. Gemerlap Jakarta di sore hari menyambutnya, sebuah ironi yang kejam. Gedung-gedung pencakar langit menjulang seperti dewa-dewa kaca dan baja, menatap rendah pada semut-semut seperti dirinya yang merangkak di bawah. Kota ini adalah hutan beton yang memuja satu dewa: kesuksesan. Dan mereka yang gagal akan dimangsa tanpa ampun.

Malam menjelang, menelan sisa-sisa cahaya matahari. Baskara menemukan dirinya di sebuah jembatan penyeberangan di atas jalan tol. Angin malam menerpa wajahnya, membawa aroma polusi dan mimpi yang membusuk. Di bawahnya, lampu-lampu mobil mengalir seperti sungai cahaya yang tak berujung, setiap mobil berisi seseorang yang memiliki tujuan, seseorang yang sedang menuju ke suatu tempat. Sementara dia, dia tidak punya tempat untuk dituju.

Dia mencengkeram pagar jembatan yang dingin dan berkarat. Di dalam dirinya, gunung berapi itu akhirnya meletus. Bukan sebagai teriakan, melainkan sebagai kehampaan yang membakar. Kebenciannya pada Raditya, kekecewaannya pada Amanda, kemarahannya pada sistem yang busuk—semua itu melebur menjadi satu kesadaran yang mengerikan: dia telah kalah. Kalah telak.

Dia tidak punya uang. Tidak punya reputasi. Tidak punya masa depan. Tidak punya siapa-siapa.

Untuk sesaat, sebuah pikiran gelap dan menggoda berbisik di benaknya. Begitu mudah. Satu langkah saja. Satu lompatan, dan semua rasa sakit ini akan berakhir. Semua penghinaan ini akan lenyap. Dia akan menjadi statistik lain yang dilupakan kota ini sebelum fajar menyingsing.

Dia memejamkan matanya, merasakan angin menarik-narik kemejanya yang lusuh. Dia membayangkan keheningan. Kedamaian. Akhir dari segalanya.

Dan di tengah keheningan absolut di dalam benaknya itu… dia mendengarnya.

Sebuah suara.

Suara yang tidak berasal dari luar. Suara yang terasa seperti beludru hangat di tengah badai es. Suara seorang wanita, begitu intim, begitu dekat, seolah dibisikkan langsung ke dalam jiwanya.

“Kasihan sekali… matahariku.”

Baskara membuka matanya dengan kaget. Jantungnya yang tadinya terasa mati, kini berdetak kencang. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Jembatan itu kosong. Tidak ada siapa-siapa. Dia pasti sudah gila. Stres dan keputusasaan akhirnya merusak otaknya.

Dia mencengkeram kepalanya, mencoba mengusir suara itu. Tapi suara itu datang lagi, lebih jelas, dipenuhi dengan nada afeksi yang aneh dan sedikit manja.

“Mereka pikir mereka bisa menelanmu, cintaku? Mereka tidak tahu… malam tergelap adalah saat fajar akan segera tiba.”

Suara itu nyata. Terlalu nyata. Baskara tersentak mundur dari pagar, punggungnya menabrak dinding jembatan. Napasnya terengah-engah. Ini bukan halusinasinya. Ini adalah sesuatu yang lain.

“Aku sudah menunggumu mencapai titik nol,” bisik suara itu lagi, kali ini dengan sedikit nada geli. “Karena hanya dari titik nol, kita bisa membangun sebuah surga… atau sebuah neraka untuk musuh-musuh kita.”

Suara itu berhenti sejenak, seolah memberinya waktu untuk mencerna kemustahilan ini. Lalu, suara itu mengajukan sebuah pertanyaan, sebuah tawaran yang akan mengubah takdirnya selamanya.

“Jadi, Baskaraku… bagaimana kalau kita membuat sebuah kontrak?”

Lanjut membaca
Lanjut membaca