Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Kelabu di Bulan Juli

Kelabu di Bulan Juli

Eskvlynt | Bersambung
Jumlah kata
62.7K
Popular
145
Subscribe
44
Novel / Kelabu di Bulan Juli
Kelabu di Bulan Juli

Kelabu di Bulan Juli

Eskvlynt| Bersambung
Jumlah Kata
62.7K
Popular
145
Subscribe
44
Sinopsis
PerkotaanSekolahPria MiskinCinta SekolahMengubah Nasib
Reza Ahmad, seorang remaja miskin anak dari pemulung, tumbuh di tengah kerasnya ejekan dan hinaan teman-temannya di sekolah. Hidupnya kelam dan sunyi, hingga kehadiran Aisyah — siswi baru yang lembut dan penuh empati — membawa warna baru dalam hari-harinya. Aisyah selalu membelanya saat ia dibuli, menemaninya belajar, dan mengajarkan arti percaya diri di tengah dunia yang memandang rendah. Seiring berjalannya waktu, rasa kagum Reza tumbuh menjadi cinta yang dalam. Ia memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya, dan tak disangka, Aisyah membalas cinta itu dengan tulus. Hubungan mereka menjadi cahaya kecil di antara gelapnya kehidupan Reza — sebuah kebahagiaan yang sederhana namun bermakna. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Pada malam tanggal 10 Juli, saat mereka berjanji untuk bertemu, hujan turun deras dan nasib berkata lain. Mobil angkutan umum yang ditumpangi Aisyah tergelincir, menabrak pembatas jalan, lalu meledak hebat. Dalam sekejap, gadis yang menjadi cahaya hidup Reza itu pergi selamanya. Sejak malam itu, bulan Juli tak lagi berarti musim liburan bagi Reza, melainkan bulan penuh duka. Ia hidup dengan kenangan, dengan sisa senyum Aisyah yang tertinggal di hatinya — menandai kisah cinta yang berakhir tragis di bawah langit kelabu bulan Juli.
Bab 1 — Langit Tanpa Cahaya

Fajar belum benar-benar datang ketika suara deru motor sayup-sayup terdengar dari jalan besar. Hujan semalam masih meninggalkan sisa, membuat udara pagi itu lembap dan dingin. Bau tanah basah bercampur dengan aroma got yang menguap dari sela-sela gang sempit. Lampu jalan yang temaram menyorot genangan air, menciptakan pantulan berkilau samar di antara dinding kusam rumah-rumah reyot.

Di dalam salah satu kontrakan petak yang berdiri di ujung gang, seorang remaja laki-laki membuka matanya perlahan. Pandangannya menabrak langit-langit kayu yang lapuk, beberapa bagian bahkan sudah berlubang kecil. Ia menarik napas panjang, merasakan tubuhnya yang masih letih, lalu menoleh ke arah jendela kecil berbingkai besi. Hanya kegelapan yang tampak di luar sana.

Reza Ahmad—tujuh belas tahun—terdiam cukup lama sebelum akhirnya bangkit dari tikar tipisnya. Matanya sayu, merah, dan sembab, seolah semalaman ia tak benar-benar tidur. Ia duduk di tepi ranjang kayu, menatap kedua telapak tangannya yang kasar.

“Reza, udah jam segini. Bangun, Nak,” suara seorang perempuan terdengar dari dapur kecil di belakang ruangan.

“Sebentar lagi, Bu…” sahut Reza dengan suara serak.

Bu Lina, ibunya, sudah terjaga sejak setengah jam lalu. Di dapur sempit yang hanya diterangi cahaya dari lampu minyak kecil, perempuan berusia tiga puluh delapan tahun itu sibuk menyiapkan sarapan sederhana. Nasi sisa semalam dipanaskan kembali di wajan, disajikan bersama sambal dan ikan asin yang tinggal sedikit. Bau asap dari kompor minyak memenuhi ruangan, menyatu dengan udara lembap pagi itu.

Reza berdiri, mengenakan kaus abu-abu yang sudah pudar dan celana jins yang sobek di bagian lutut. Ia menyibak tirai lusuh yang memisahkan ruang tidur dan dapur. Pandangannya langsung jatuh pada sosok ibunya yang sedang menuang nasi ke piring kaleng. Wajah Bu Lina tampak lelah, namun senyumnya tetap ada, walau samar.

“Cuci muka dulu, nanti makan bareng Ibu,” katanya lembut.

Reza mengangguk, mengambil ember kecil di pojok ruangan dan menciduk air dingin untuk membasuh wajahnya. Saat air pertama kali menyentuh kulit, tubuhnya menggigil, tapi ia menahan diri. Ia sudah terbiasa dengan dingin, lapar, dan kerasnya pagi di tempat sempit ini.

Setelah selesai, ia duduk di depan meja kayu kecil yang mulai rapuh. Di atasnya, dua piring nasi sudah siap. Lauknya hanya sambal dan setengah potong ikan asin yang dibagi dua. Reza menunduk sesaat, lalu berucap pelan, “Makan, Bu.”

Bu Lina tersenyum. “Iya, ayo.”

Mereka makan dalam diam. Hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar. Dalam keheningan itu, Reza sempat melirik ibunya. Perempuan itu tampak lebih kurus dari sebulan lalu, tapi matanya masih menyimpan kehangatan yang membuat hati Reza bergetar.

“Bu,” katanya lirih, “kalau uang hari ini cukup, Ibu mau beli apa?”

Bu Lina tertawa kecil. “Kalau cukup, Ibu pengin beli sabun cuci. Biar baju kamu bisa bersih dikit.”

Reza menunduk, tersenyum getir. “Sabun doang?”

“Kalau ada lebih,” Bu Lina menatapnya dengan tatapan bercanda yang lembut, “Ibu pengin beli roti buat kamu. Yang ada mesesnya itu.”

Reza ikut tersenyum, tapi dalam hatinya, perasaan lain muncul—campuran antara sayang dan sedih. Ia tahu, ibunya jarang sekali membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Setiap rupiah selalu dipikirkan untuk kebutuhan mereka berdua.

---

Ritual Pagi Sang Pemulung

Setelah makan, mereka berdua bersiap. Bu Lina mengikat rambutnya dengan karet gelang, lalu mengambil dua karung goni besar di sudut ruangan. Karung itu adalah “alat kerja” mereka setiap hari.

Reza ikut membantu mengangkat satu, menggantungnya di bahunya. “Yuk, Bu,” katanya singkat.

Mereka keluar dari kontrakan dan disambut udara dingin yang menusuk. Jalan di depan rumah masih sepi, hanya ada beberapa pedagang sayur yang baru membuka lapak. Di langit, warna hitam perlahan berubah menjadi abu-abu muda.

Mereka berjalan menyusuri gang sempit yang licin. Dinding-dinding rumah di kanan kiri tampak berjamur. Di kejauhan, suara azan Subuh bergema lembut dari masjid kecil di ujung jalan.

Reza berjalan di belakang ibunya. Setiap langkahnya meninggalkan jejak di tanah basah. Ia menunduk, bukan hanya karena beban karung di punggungnya, tapi juga karena kebiasaan. Tatapan orang lain selalu membuatnya tidak nyaman—terutama ketika mereka tahu siapa dirinya.

Begitu keluar ke jalan besar, kontras itu langsung terasa. Orang-orang dengan seragam rapi berjalan tergesa menuju halte. Anak-anak seusianya, dengan seragam putih abu-abu yang bersih dan tas punggung berisi buku, menunggu angkot di seberang jalan.

Reza menatap mereka diam-diam. Ada rasa asing yang menyelinap di dadanya—rasa iri bercampur malu.

“Ibu, kalau aku nanti bisa kuliah, Ibu pengin aku jadi apa?” tanyanya tiba-tiba.

Bu Lina menoleh sambil tersenyum kecil. “Apa aja yang bikin kamu bahagia, Reza. Ibu gak pengin kamu jadi orang kaya, Ibu cuma pengin kamu gak malu sama hidupmu.”

Kata-kata itu menancap dalam di hati Reza. Ia menatap langit yang masih kelabu, lalu mengangguk pelan.

---

Di Antara Sampah dan Mimpi

Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di tempat tujuan—sebuah area di belakang pasar tradisional, tempat truk sampah sering menurunkan muatan. Di sana, beberapa pemulung lain sudah lebih dulu datang. Suara logam dan plastik yang beradu memenuhi udara, berpadu dengan aroma busuk yang menyengat.

Tanpa menunda, Reza membuka karungnya dan mulai bekerja. Tangannya yang sudah terbiasa langsung memilah botol plastik, kaleng, dan kertas dari tumpukan sampah. Bu Lina bergerak di sisi lain, mengais dengan tongkat panjang, mencari benda yang mungkin masih bisa dijual.

Reza melakukannya dengan cekatan, tapi pikirannya melayang jauh. Ia membayangkan teman-temannya di sekolah—yang selalu tertawa setiap kali melihatnya datang dengan sepatu sobek atau seragam yang tak lagi putih.

“Anak pemulung! Jangan deket-deket, nanti bau!”

“Eh, Reza, kamu ngantongin sampah gak tuh di tas?”

Suara ejekan itu seolah hidup kembali di kepalanya, berputar tanpa henti. Reza menggenggam botol di tangannya kuat-kuat sampai tutupnya pecah.

Ia menghela napas panjang. “Aku capek,” gumamnya pelan. Tapi suaranya tertelan bising.

---

Kilasan Masa Lalu

Saat memungut botol di antara tumpukan, matanya menangkap sesuatu—sebuah mainan mobil-mobilan kecil berwarna merah. Catnya pudar, bannya copot. Ia berhenti sejenak, memungut benda itu perlahan.

Seketika, kenangan masa kecilnya berkelebat. Ia teringat ayahnya, Pak Rahmat, yang dulu memberinya mainan serupa. “Kalau Reza rajin belajar, nanti ayah beliin yang bisa nyala lampunya,” kata ayahnya waktu itu, dengan senyum hangat. Tapi janji itu tak pernah sempat ditepati. Ayahnya meninggal saat Reza berusia delapan tahun—karena sakit paru-paru akibat bekerja terlalu keras di pabrik daur ulang.

Reza menatap mobil itu lama, lalu menyelipkannya ke dalam saku bajunya. Ia tak tahu kenapa, tapi entah bagaimana, benda itu membuatnya sedikit lebih kuat.

---

Harapan yang Tak Pernah Padam

Waktu berjalan. Matahari mulai muncul, tapi sinarnya terhalang awan tebal. Warna langit berubah menjadi abu-abu kebiruan, seolah dunia ikut memantulkan suasana hatinya.

Reza berhenti sejenak, mengusap keringat di dahinya. Karungnya kini sudah setengah penuh. Ia menoleh ke arah ibunya yang masih bekerja, keringat membasahi pelipis perempuan itu, namun senyumnya tetap terjaga.

Dalam hati, Reza berjanji, “Aku bakal ubah hidup kita, Bu. Aku gak tahu gimana caranya, tapi aku harus bisa.”

Ia menatap langit sekali lagi. Bagi orang lain, pagi itu mungkin terlihat biasa—hanya langit mendung setelah hujan. Tapi bagi Reza, langit itu lebih dari sekadar awan. Ia adalah cermin dirinya: kelabu, redup, tapi masih menyimpan secercah cahaya kecil di balik tebalnya mendung.

---

Menutup Pagi dengan Janji

Beberapa jam kemudian, karung mereka penuh. Reza dan Bu Lina berjalan menuju pengepul di ujung pasar, tempat mereka biasa menjual hasil pulungan. Setiap langkah terasa berat, tapi ada kepuasan kecil di hati—karena setidaknya, hari ini mereka bisa makan lebih layak.

“Reza,” kata Bu Lina pelan sambil berjalan di sampingnya, “makasih ya, udah bantu Ibu terus.”

Reza tersenyum. “Harusnya aku yang makasih, Bu. Kalau gak ada Ibu, aku gak tahu bakal jadi apa.”

Bu Lina menepuk bahunya lembut. “Kamu udah cukup bikin Ibu bangga, Nak. Yang penting terus jujur dan kerja keras. Tuhan pasti buka jalan.”

Reza menatap ibunya, lalu menatap langit lagi. Awan kelabu mulai tersibak, menampakkan sedikit warna biru di antara sela-selanya. Ia menghela napas panjang.

“Langitnya masih kelabu,” gumamnya pelan.

Bu Lina menoleh, lalu tersenyum. “Iya. Tapi kelabu pun bisa indah, kalau kamu mau lihat dengan hati.”

Reza menatap wajah ibunya—wajah yang lelah tapi penuh cahaya. Ia tak menjawab, hanya tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia tahu: meski dunia sering menertawakan, selama ia masih punya ibunya, ia tidak akan menyerah.

Lanjut membaca
Lanjut membaca