

Cahaya kejam membakar retina.
Ribuan kristal menggantung di langit-langit, memuntahkan kilau palsu yang memantul dingin pada lantai marmer. Udara di aula ini tidak untuk bernapas; ia adalah beban, padat oleh parfum mahal dan ambisi orang lain yang mencekik. Rendra merindukan kejujuran bau antiseptik rumah sakit.
Di tengah gelombang sorak-sorai yang naik-turun seperti napas kota yang sekarat, Rendra Dwi Wicaksono berdiri kaku. Jemarinya memutih meremas ujung map presentasi yang mulai lembap—kertas itu menyerap keringat dingin, saksi bisu kegugupannya.
Bagi telinga Rendra, hiruk pikuk ini bukan perayaan. Ini adalah desis statis yang memekakkan: benturan tepuk tangan, bisik licik juri, dan tusukan kilat kamera. Jiwanya tidak di sini. Jiwanya terperangkap di kamar sempit berbau obat keras, menghitung tarikan napas ayahnya yang kian berat, kian rapuh.
Lima puluh juta.
Angka itu bukan sekadar nilai rupiah. Ia adalah variabel liar yang menolak disederhanakan. Presentasinya tentang entanglement kuantum pagi tadi—presisi, berani, tanpa cela—adalah sebuah doa dalam bentuk fisika. Kemenangan adalah satu-satunya hasil logis. Uang itu adalah oksigen untuk ayahnya; beasiswa adalah fondasi masa depannya. Ini bukan harapan. Ini arsitektur takdir yang ia susun sendiri, bata demi bata, dari angka dan argumen.
MC maju, menyedot perhatian ruangan. "Hadirin yang terhormat, saatnya kita umumkan pemenang..."
Jantung Rendra menghantam rusuknya, metronom gila yang menolak sinkronisasi.
"Dan pemenang Juara Kedua—Rendra Dwi Wicaksono!"
Suara itu membelah udara. Sorak-sorai meledak. Kilat kamera buta. Rendra menelan ludah; kerongkongannya kering seperti pasir. Juara Kedua. Dua kata. Dua pukulan telak yang meruntuhkan seluruh persamaan hidupnya.
Kakinya bergerak, diseret gravitasi ke panggung. Lampu sorot menampar wajahnya, panas membakar kulit. Piala perak disodorkan—dingin, berat, seberat vonis mati. Ia menarik sudut bibirnya, membentuk senyum palsu yang diminta dunia. Di dalam, logikanya retak, runtuh satu per satu, seperti deret matematika yang kehilangan suku pertamanya.
Ia hendak turun, melarikan diri, ketika langkahnya dihadang. Ringan namun mutlak.
Seorang wanita. Gaun hitam sederhana membalut tubuhnya dengan ketegasan yang menolak kemewahan norak.
Bu Vanya. Vanya Paramita. Ketua Dewan Juri. Wajah yang ia kenal dari poster dan ruang kelas, kini nyata di depannya—lebih tajam, lebih berbahaya.
"Analisis kamu tentang entanglement... luar biasa," bisiknya. Suaranya rendah, intim, sebuah rahasia di tengah keramaian. Lampu sorot mendadak terasa dingin. Tidak ada senyum formal, hanya tatapan bening yang menelanjangi. "Kamu seharusnya menang."
Napas Rendra tercekat. Waktu melambat. Kebisingan lenyap. Hanya ada mereka. Sesuatu yang tak terucap melompat di antara mereka—bukan sentuhan fisik, melainkan pengakuan sunyi yang dalam. Seperti dua partikel terpisah jarak yang terikat nasib. Entanglement.
Ia ingin menjawab, ingin berterima kasih pada gurunya itu, tapi momen itu dihancurkan.
Orang ketiga masuk. Bramantyo Daryono. Menyusup ke ruang tipis di antara mereka. Senyumnya rapi, hasil polesan, tapi matanya kosong. Tangan kirinya mendarat di pinggang Bu Vanya—gerakan kecil, singkat, namun stempel kepemilikan yang kurang ajar. Bukan kasih sayang. Persetujuan dingin atas properti.
Melihat tangan itu di pinggang gurunya, sesuatu di dada Rendra retak. Bukan cemburu—siapa dia berhak cemburu?—tapi kesadaran pahit: bahkan kecerdasan murni bisa dijinakkan, disandera, dan diberi harga.
Bu Vanya menegang. Sepersekian detik yang nyaris tak terlihat. Namun Rendra menangkapnya; ia melihat jemari Bu Vanya merapikan ujung gaun—gerakan gelisah untuk merebut kembali keseimbangan. Saat tatapan gurunya kembali ke Rendra, pengakuan tadi telah berganti warna: penyesalan.
Bram menoleh ke Rendra. "Kecerdasan itu aset," bisiknya. Suaranya terdengar jelas, mengancam di ruang yang tiba-tiba sunyi bagi mereka bertiga. "Tapi aset butuh modal. Pelajaran penting."
Masih dengan senyum mati, Bram memberi sinyal kecil ke MC. Ketukan jari di udara. Detik berikutnya, suara MC menghantam aula seperti palu godam: "Dengan berat hati kami sampaikan, beasiswa SMA Permata Bangsa tahun ini hanya diberikan kepada Juara Pertama."
Hening. Menusuk. Lalu tepuk tangan kembali meledak, lebih keras, berusaha menutupi rasa canggung yang tak diakui. Dunia merayakan keputusan yang sudah diatur. Di tangan Rendra, piala perak itu kini terasa seberat dosa.
Rendra menatap Bu Vanya. Begitu banyak kalimat berteriak di kepalanya: Terima kasih, Bu. Ini tidak adil. Lakukan sesuatu. Tapi tenggorokannya terkunci. Bu Vanya berdiri kaku di samping Bram, terjepit antara kebenaran dan aturan main. Matanya basah. Maaf, kata tatapan itu. Aku melihatmu. Tapi aku tidak bebas.
Rendra berbalik, menuruni panggung. Lantai marmer memantulkan bayangannya yang terpotong-potong cahaya; setiap langkah menginjak pecahan harga dirinya. Nama pemenang pertama diteriakkan. Rendra tidak mendengar. Telinganya berdenging.
Di pintu keluar, ia berhenti. Menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara yang tidak berbau kemunafikan. Hitung ulang. Lima puluh juta: Hangus. Beasiswa: Dicabut. Analisisnya: Diakui oleh satu orang yang tak berdaya.
Ia menoleh ke belakang sekali lagi. Di kejauhan, ia melihat Bu Vanya menepis tangan Bram dari pinggangnya—gerakan halus, namun cukup untuk menciptakan jarak setipis kertas. Bagi Rendra, itu adalah bahasa rahasia.
"Aset butuh modal," gumamnya, mengulang kalimat Bram, merasakan tekstur pahit kata-kata itu di lidahnya. Aset adalah otak. Modal bukan cuma uang. Modal adalah data, reputasi, rahasia, dan momentum. Kebenaran yang didengar orang tepat.
Ia menunduk menatap piala di tangannya. Logam itu memantulkan wajah anak laki-laki yang kalah, yang dipaksa menelan kenyataan. Jika persamaan ini tidak memiliki solusi di sistem lama, dia harus mengubah variabelnya. Mengubah ruasnya. Atau mengganti seluruh sistem koordinatnya.
Musik pesta dimulai di belakangnya, melodi yang mengalir di atas bangkai harapannya. Rendra melangkah keluar. Malam menyambutnya, gelap dan jujur.
Bzzt. Ponsel di saku bergetar. Pesan dari rumah sakit. Tagihan baru. Rendra memejamkan mata sesaat, lalu membukanya dengan nyala api yang berbeda. Garis-garis di kepalanya terhubung kembali: Bu Vanya, pengakuan, Bram, sinyal, beasiswa, sponsor, dan aturan main yang bisa dibengkokkan.
Ia berbalik, menyapu aula dengan tatapan terakhir. Di tengah kerumunan, Bu Vanya menoleh ke arah pintu, seolah merasakan pergeseran energi. Mata mereka bersentuhan. Jarak memisahkan, tapi niat mengikat. Aku melihatmu, kata tatapan Bu Vanya. Aku tidak berhenti di sini, balas tatapan Rendra.
Rendra memasukkan piala itu ke dalam tas, menyembunyikan kilau yang tak berguna. Tangannya kini kosong, tapi terasa lebih ringan. Beban itu telah berubah wujud menjadi tujuan. Persamaan telah berubah. Variabelnya menolak didefinisikan oleh orang lain.
Di ambang pintu, ia menarik napas dalam. Melangkah menembus malam yang dingin. Jantungnya menemukan ritme baru—lebih rendah, lebih gelap, lebih pasti. Di belakangnya, pesta memudar. Di depannya, kota Jakarta terbentang: jaringan lampu, kemungkinan kotor, dan pekerjaan yang harus diselesaikan.
Dia tidak akan lagi meminta hasil yang logis. Dia akan merekayasa logikanya sendiri.