Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Dikira  Starboy Ternyata CEO

Dikira Starboy Ternyata CEO

Lia Lintang | Bersambung
Jumlah kata
58.9K
Popular
840
Subscribe
172
Novel / Dikira Starboy Ternyata CEO
Dikira  Starboy Ternyata CEO

Dikira Starboy Ternyata CEO

Lia Lintang| Bersambung
Jumlah Kata
58.9K
Popular
840
Subscribe
172
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of lifeKonglomeratMiliarderBadboy
Sinopsis: Ricky Lucas Abraham dikenal di kampus sebagai starboy adalah seorang pria populer, playboy tingkat dewa, hidup seenaknya, hobinya adalah balapan, dan selalu tampil tanpa beban. Semua orang mengira ia hanya anak orang kaya bosan hidup yang tak punya tujuan jelas. Dan itu memang yang ia ingin semua orang percayai. Namun kenyataannya jauh berbeda. Ricky bukan sekadar pewaris perusahaan, ia adalah CEO termuda dan paling berpengaruh di Asia sekaligus pengendali jaringan bisnis global yang bahkan tak berani disentuh para konglomerat senior. Identitasnya disembunyikan demi satu hal yaitu kebebasan memilih siapa yang layak berada di sisinya, bukan karena uang atau kekuasaan. Hidup Ricky berubah sejak pertemuannya dengan Marsha Kirana, gadis cerdas, ambisius, dan satu-satunya perempuan yang berani menatap matanya tanpa rasa kagum atau takut sedikitpun. Marsha menolak pesonanya mentah-mentah, menganggap Ricky hanya buang-buang waktu. Bagi Ricky, itu bukan penolakan biasa. Itu adalah penghinaan Dan semakin ia mengenal Marsha, semakin dalam ia tenggelam hingga tanpa sadar, ia jatuh cinta. Namun di puncak kebahagiaannya, dunia Ricky runtuh seketika, sejak dua kakaknya juga jatuh cinta pada wanita yang sama. Kejutan lainnya adalah Ayahnya tiba-tiba mengumumkan pernikahan dengan seorang wanita yang tak lain adalah ibu Marsha. Dalam sekejap, perempuan yang ia cintai berubah status menjadi adik tirinya. Menyakitkan, bukan? Di tengah perebutan kekuasaan, pengkhianatan keluarga, dan ancaman dari rekan bisnis yang mengincar Marsha, Ricky harus memilih apakah ia harus menekan perasaannya demi menjaga kehormatan keluarga, atau melawan segalanya untuk mempertahankan cinta yang kini dianggap terlarang. Karena bagi Ricky, cinta bukan sekadar perasaan, tapi pertaruhan terbesar dalam hidupnya.
Bab 1. Dikira Cupu

Hujan baru saja berhenti ketika Ricky Lucas Abraham melangkah ke halaman kampus untuk pertama kalinya.

Udara masih basah, tanah berbau lembap, dan matahari yang tertutup awan membuat suasana terasa muram yang lumayan cocok dengan nasibnya pagi itu.

Ia menarik napas pelan, menaikkan masker hitam yang menutupi setengah wajahnya, lalu merapikan kacamata tebal yang kacanya begitu besar hingga memantulkan cahaya seperti pembesar serangga.

Hoodie abu-abu kebesaran menutupi tubuh atletisnya, seolah sengaja menyamarkan siapa dirinya sebenarnya.

Hari ini, ia bukan CEO.

Ia bukan pewaris kerajaan bisnis Abraham Corporation.

Ia hanya Ricky seorang mahasiswa baru yang berusaha menjadi tak terlihat.

Namun kampus ini tidak pernah ramah pada orang yang tampak lemah.

***

“WOI, LIAT NIH! CUPU MASUK KAMPUS!” teriak seseorang dari belakang.

Suara itu belum pernah ia dengar sebelumnya, tapi nada congkaknya khas seperti anak-anak kaya baru yang butuh validasi. Sebelum Ricky sempat menoleh, bahunya terdorong keras.

Bam!

Buku-buku kuliahnya terjatuh.

Ia tersandung, hampir jatuh mencium tanah. Tawa meledak di sekelilingnya.

“Gila, kacamatanya kayak antena TV zaman dulu,” ejek salah seorang dari kerumunan itu.

“Mana bajunya? Kebesaran banget. Kamu pakai baju ayahmu atau gimana?”

“Fix, dia pasti anak mami yang nggak pernah lihat dunia,” kata pemuda lainnya sambil tertawa.

Ricky memejamkan mata sejenak. Ia sudah bersiap menghadapi ini. Tapi tetap saja ... rasanya menampar harga dirinya.

Jika ia mau, satu telepon saja bisa membuat seluruh kampus bertekuk lutut.

Jika ia mau, semua yang menertawakannya bisa jatuh miskin esok pagi.

Tapi ia memilih diam.

Ia memilih pura-pura lemah.

Ia memilih melihat siapa yang menilai manusia dari karakter, bukan uang.

Itu misi utamanya.

Namun para pembully itu kembali mendorongnya. Kali ini lebih keras.

Duk!

Ricky jatuh berlutut, kacamatanya terlepas dan meluncur ke tanah berpasir. Butiran kecil menempel di lensanya.

Tanpa kacamata itu, penyamarannya runtuh.

Ia meraih cepat, tapi seorang cowok menginjak kacamata itu. Sengaja.

Krek!

Suara yang begitu pelan, tapi menghancurkan. Kacamatanya pecah berkeping-keping karena diinjak.

“Ups. Maaf ya,” katanya dengan senyum mengejek. “Nggak sengaja kok.”

Tawa di sekitarnya bergema seperti suara burung gagak kelaparan.

Ricky menunduk. Ia merasakan panas di dada tetapi bukan karena malu, tapi karena ia menahan diri agar tidak menghajar mereka satu per satu.

Inilah konsekuensi dari hidup sebagai orang biasa.

“Cukup.”

Suara perempuan itu datang dari samping terdengar tenang, dalam, dan sangat tidak suka apa yang ia lihat.

Langkah sepatu hak rendah menghampiri mereka. Kerumunan otomatis memberi jalan. Dan Ricky yang masih menunduk akhirnya mendongak ketika seseorang berjongkok di depannya.

Mata mereka bertemu pandang.

Seorang gadis dengan rambut hitam sedikit bergelombang, wajah bersih tanpa riasan berlebihan, dan tatapan yang ... tajam. Tidak memandang rendah, tidak iba. Hanya ... menilai.

Marsha Kirana.

Gadis yang namanya baru akan ia kenal, tapi kehadirannya saja sudah terasa berbeda dari semua orang di kampus ini.

Ia meraih kacamata Ricky, memungutnya hati-hati, lalu berdiri sambil menatap para pembully itu.

“Kalian nggak punya kerjaan lain selain dorong-dorong orang yang nggak melawan?” suaranya tenang, tapi dingin seperti pisau.

“Kampus ini bukan sarang preman. Kalau mau cari masalah, jangan cari yang nggak mau balas.”

Salah satu cowok itu mengangkat dagu. “Suka-suka kami dong, Marsha. Dia cupu, ya pantas—”

“Cupu nggak berarti pantas disakiti.”

Marsha memotong dengan suara yang lebih tajam.

“Kalian diperesetin otaknya sama siapa sampai pikir gitu?”

Kerumunan langsung terdiam. Bahkan angin seolah berhenti bergerak.

Ricky menahan napas tetapi bukan karena takut, tapi karena ... tidak percaya ada yang mau membelanya padahal ia hanya “mahasiswa cupu tak dikenal.”

Marsha menyodorkan kacamatanya kembali, kacanya retak lebar yang sudah hancur tinggal rangkanya saja.

“Ini rusak,” katanya. “Kamu nggak apa-apa?”

Ricky mengangguk pelan. Tidak ada suara keluar dari mulutnya.

Bukan karena takut, tapi karena ia sedang mencoba mengingat kapan terakhir kali seseorang bertanya apakah ia baik-baik saja tanpa tahu siapa dirinya.

Marsha terkesiap sedikit, mungkin karena melihat mata Ricky di hancurnya kaca, mata tajam yang tidak cocok dengan penampilan cupu banyak masalah.

Namun ia tidak berkomentar banyak.

Ia hanya menepuk bahu Ricky ringan.

“Kalau mereka ganggu lagi, bilang ke aku. Atau minimal, jangan diam saja.”

Lalu ia berbalik pergi, aura percaya dirinya begitu kuat hingga para pembully itu mundur satu langkah.

Ricky tetap mematung.

Bukan karena harga dirinya jatuh tapi karena hatinya mulai bergetar oleh sesuatu yang sangat ia hindari selama bertahun-tahun.

Ketertarikan.

Dan ia sadar satu hal. Gadis itu harus ia jauhi, karena ia tidak boleh merasa apa pun.

Tapi gadis itu juga satu-satunya orang yang ingin ia dekati.

Kontradiksi yang memabukkan ini baru akan dimulai.

Hari pertama kuliah.

Dan dunia Ricky Lucas Abraham sudah mulai kacau.

Kerumunan belum sepenuhnya bubar saat Ricky akhirnya berdiri.

Ia menepuk celana jeansnya yang kotor oleh tanah basah. Kacamata pecah itu ia pegang seperti sepotong identitas palsu yang gagal menjalankan tugasnya.

Para pembully itu saling pandang, jelas merasa harga diri mereka tercabik setelah ditegur seorang perempuan dan apalagi oleh Marsha Kirana, gadis yang dikenal pintar, berani, dan tidak mudah terpesona pada siapa pun.

Salah satu dari mereka, cowok bertubuh tinggi dengan rambut cepak dan tatapan penuh arogansi, maju selangkah.

Niko. Kapten komunitas balap lokal, dan orang yang paling tidak suka status quo terganggu.

Ia menatap Ricky seperti predator yang melihat mangsa sedang berdiri susah payah.

“Kalau kamu laki-laki,” ucap Niko dengan suara rendah namun penuh tantangan, “malam ini ikut balapan sama gue.”

Kerumunan langsung bergemuruh.

Tantangan balapan bukan hal sepele. Apalagi muncul dari Niko adalah si raja jalanan kampus.

Marsha langsung melangkah maju, wajahnya jelas menunjukkan ketidaksukaan.

“Jangan bodoh, Niko,” katanya tegas. “Dia mahasiswa baru. Kamu nantang dia balapan itu namanya pengecut, bukan jagoan.”

Niko tersenyum miring. “Takut? Atau kamu cuma mau lindungin cowok cupu ini?”

Ricky mendengus pelan, tapi ia tetap diam. Ia bisa mengalahkan Niko dalam hitungan menit, tapi tidak di sini. Tidak sekarang.

Tidak saat ia mencoba menjalani hidup normal.

Namun Niko semakin provokatif.

“Ayo, Cupu. Kalo lo berani, jam sembilan di area pelabuhan. Jangan ngumpet di balik rok cewek.”

Beberapa orang tertawa.

Marsha mengepalkan tangan. “Niko, cukup. Kamu keterlaluan.”

Niko mengangkat bahu santai. “Gue cuma kasih dia kesempatan buktiin dia bukan pecundang.”

Tatapan Marsha beralih pada Ricky seperti penuh campuran emosi, khawatir, kesal, dan frustrasi karena Ricky diam saja dan membiarkan perlakuan itu terjadi.

Ricky akhirnya bicara, suaranya rendah dan terkontrol.

“Ini urusan saya, bukan urusan kamu.”

Marsha tertegun.

“Maaf?”

Ricky menatapnya, mata tajam itu terlihat jelas meski kacamatanya sudah hancur.

“Kamu sudah bantu saya tadi. Terima kasih. Tapi mulai sekarang....”

Ia menarik napas panjang.

“Jangan ikut campur.”

Suara itu bukan suara orang cupu. Itu suara seseorang yang terbiasa memberi perintah—dingin, terukur, dan penuh jarak.

Marsha mematung beberapa detik sebelum akhirnya wajahnya berubah. Ia terlihat ... tersinggung. Bahkan lebih dari itu ia sedang marah.

“Wow,” katanya pelan tapi tajam, “jadi aku tadi berdiri melawan mereka, sementara kamu bahkan nggak bisa buka mulut, dan sekarang kamu bilang aku jangan ikut campur?”

Ricky tidak membalas.

“Kamu pikir kamu siapa?” lanjut Marsha.

“Kamu nggak tahu apa-apa soal kampus ini. Dan kalau kamu pikir diam itu bikin kamu aman, kamu salah.”

“Ini tetap bukan urusan kamu,” ulang Ricky, lebih dingin.

Ada ketakutan lain di balik kata-katanya seolah ketakutan akan kedekatan, keterikatan, identitasnya terbongkar.

Ia harus menjaga jarak.

Harus.

Marsha menghela napas keras. “Astaga. Oke. Baik.”

Ia melangkah mundur.

“Aku benar-benar udah buang waktu bantu orang yang bahkan nggak mau bantu dirinya sendiri.”

Nada suaranya getir.

Marah dan kecewa bercampur jadi satu.

Kerumunan menonton dengan canggung.

Niko tersenyum puas, merasa menang dua kali, dapat menantang Ricky dan membuat Marsha kesal.

Marsha memandang Ricky untuk terakhir kalinya.

“Kamu mau di-bully, silakan. Tapi jangan suruh aku pura-pura nggak lihat,” katanya dingin.

Lalu ia berbalik dan pergi, langkahnya cepat, bahunya tegang.

Ricky menatap punggungnya menjauh.

Dari semua kesalahan dalam hidupnya.

Ia tahu hal ini akan masuk top list.

Dengan menyuruh gadis itu menjauh.

Namun ia tidak punya pilihan.

Karena semakin dekat Marsha Kirana dengan dirinya, semakin besar risiko ia melihat siapa Ricky sebenarnya.

Dan dunia itu ... bukan dunia yang ingin ia libatkan gadis seberani itu.

Lanjut membaca
Lanjut membaca