Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Kembalinya Sang Legenda

Kembalinya Sang Legenda

Gadis Nakal | Bersambung
Jumlah kata
82.6K
Popular
1.0K
Subscribe
169
Novel / Kembalinya Sang Legenda
Kembalinya Sang Legenda

Kembalinya Sang Legenda

Gadis Nakal| Bersambung
Jumlah Kata
82.6K
Popular
1.0K
Subscribe
169
Sinopsis
18+FantasiFantasi TimurMisteriPendekarKultivasi
Dion hanya dikenal sebagai penjual mie yang miskin, kikir, dan licik. Bahkan untuk membeli pakaian yang layak pun dia tidak sudi membuang uang. Namun, tidak ada yang tahu bahwa jati diri Dion yang sesungguhnya adalah seorang Dewa Pedang dan Pendekar Nomor Satu Dunia. Tiga belas tahun lalu, dia dijebak oleh kekasihnya dan harus menikmati racun tanpa obat penawar. Tak hanya itu, dirinya juga dijatuhkan dari tebing untuk menghapus nama besarnya. Nasib berkata lain, Dion berhasil selamat dan mengubah jati dirinya demi meninggalkan dunia persilatan yang penuh kekejaman. Hingga akhirnya semua harus membuatnya kembali berhubungan dengan dunia persilatan. Dimulai dari beberapa kasus pembunuhan di Ibukota, karena kejeniusan yang masih tersisa pada dirinya, ia pun diminta oleh pejabat pemerintahan memecahkan kasus demi kasus yang membawanya menemukan sebuah kebenaran pahit atas kejadian tiga belas tahun lalu. Sang Legenda kembali, menyelesaikan sesuatu yang sudah seharusnya diselesaikan tiga belas tahun sebelumnya.
PROLOG

Senja membakar langit Gunung Anggrek Bulan dengan warna merah seperti darah yang merindukan perang. Kabut turun perlahan, menari di antara pohon pinus, menyelimuti dunia dengan kesunyian yang mengerikan indahnya.

Di ujung tebing, Brian berdiri. Jubah putihnya berkibar pelan, tatapannya hangat namun teduh, seolah dunia ini tak pernah menyerukan pedang pada pinggangnya, meski ia adalah seorang legenda yang hidup.

Pendekar nomor satu dunia termuda. Pembawa harapan jagat persilatan. Namun hari itu, ia hanya seorang pria yang datang karena cinta.

Wanita itu menunggu, Lyria Vionne. Rambut panjang gelapnya terjatuh dengan lembut, matanya sebening embun sebelum fajar. Di tangannya, ia membawa sekeranjang persik. Manis. Sempurna. Tak tampak berbahaya di mata siapa pun.

“Brian,” gumamnya lirih. “Terima kasih kau datang.”

Untuk Lyria seorang, senyum Brian muncul tanpa beban, lalu menjawab, “Untukmu, aku akan selalu datang, Ly.”

Dadanya sesak entah kenapa. Angin terasa lebih dingin daripada biasanya. Tapi ia abaikan. Karena di matanya hanya ada Lyria.

Ia meraih satu buah persik. Lyria menggenggam ujung bajunya, seolah hatinya sedang direnggut pelan-pelan oleh kenyataan tak terelak.

“Jangan…,” bisiknya hampir tak terdengar, “jangan buat aku ragu.”

Brian hanya tertawa kecil, tak paham. Dan ia menggigit persik itu. Manis. Lalu pahit. Lalu ada dingin yang menusuk nadi.

“Lyria… ini?”

Langit seolah membeku.

SHING!

Udara terkoyak. Kilatan hitam muncul dari kabut, melesat siap memenggalnya. Brian menahan dengan pedang, namun kekuatan dalam tubuhnya seperti tenggelam ke dasar jurang.

Dari arah berlainan di tengah kabut yang menebal, sosok bertopeng perak melangkah keluar. Jubahnya hitam pekat, dengan sulaman emas di setiap sisi, kehadirannya membuat udara di sekitarnya menjadi berat, ada hening di sana.

Ia bergerak. Dan Brian mengenali gerakannya—meski ia berharap salah. Gerakan itu bukan dari dunia ortodoks. Bukan dari sekte mana pun. Itu tarian pembantaian yang hanya disebut dalam legenda gelap.

Ritual Darah Abyss, Tarian Seribu Bayangan.

Teknik aliran sesat yang dikabarkan sudah dibakar habis, tak meninggalkan murid satu pun.

“M—mustahil…,” Brian tersentak, darahnya mulai mendidih oleh racun, “Teknik itu… sudah punah.”

Pria bertopeng tak menjawab. Ia menari seperti iblis dalam ritual kuno. Bilahan pedang hitam membelah udara. Brian menahan, tapi tiap pukulan membuat tubuhnya berat, racun seperti ular menggigit meridiannya dari dalam.

“Lyria…,” suaranya pecah. “Apa yang terjadi?”

Wanita itu menunduk. Air mata jatuh secara diam-diam, seperti hujan pertama di musim panas.

“Maafkan aku,” ucapnya, suaranya terpatah-patah, lalu kembali berkata, “A—aku tidak punya pilihan lain.”

Serangan semakin menggila. Bilah pedang musuh melewati pipi Brian, meninggalkan garis darah tipis. Dunia melambat. Napasnya sesak. Racun menggerogoti kekuatannya, kekuatan yang selama ini ia banggakan.

“Lyria,” ucap Brian lirih, satu tangan menahan dadanya yang semakin sakit, “apa aku pernah berdosa padamu?”

Tangis Lyria pecah. Jemarinya bergetar. “Maaf… maaf, Brian.”

Dia melangkah. Meraih kerah bajunya—dan dengan keputusasaan yang lebih mematikan dari racun—mendorongnya. Tebing terbuka di belakang. Angin meraung.

“Bertahan hidup,” suaranya pecah seperti sutra yang dirobek paksa, “walau dunia menolakmu.”

Brian jatuh. Tak berdaya. Tanpa pedang. Tanpa jawaban.

Yang tersisa hanya rasa persik. yang kini lebih pahit dari pengkhianatan.

Gelap menelan sang legenda. Langit mengira ia mati. Namun jurang tidak menerima Dewa yang tidak berdaya begitu mudah.

….

Pagi itu di Kota Awan Murni selalu dimulai dengan riuh para pedagang, derit roda gerobak kayu, dan langkah sepatu yang menjejak jalan berbatu. Aroma roti gandum, teh melati, dan sesekali bau kambing dari ujung pasar bercampur dalam udara lembab yang baru tersentuh matahari.

Di tengah hiruk pikuk itu ada satu sosok yang terasa tidak sepadan dengan kesederhanaan kota kecil ini. Seorang pria berdiri di balik gerobak mie. Rambut hitam panjangnya diikat rendah, pakaiannya putih bersih meski sederhana, sikapnya tenang bagai batu karang yang menantang ombak. Wajahnya tampan, bahkan terlalu tampan. Tipe ketampanan yang membuat perempuan lupa bernapas, dan lelaki mulai mempertanyakan harga diri mereka.

Kini ia tengah mengaduk kuah mie dengan wajah datar, seolah setiap detik yang berlalu tanpa koin masuk ke laci adalah penderitaan baginya.

“Semangkuk mie pedas,” seru seorang pemuda bertubuh gempal. “Harganya jangan terlalu tinggi, ya!”

Tanpa mendongak, lelaki itu menjawab datar, “Jika menginginkan harga rendah, rumput di tepi jalan tidak memungut bayaran.”

Pemuda itu langsung pucat.

“A—aku hanya bergurau.”

Lelaki itu mengangguk pelan.

“Aku juga.”

Tentu saja tidak, dia benar-benar hanya bergurau, setiap keping uang logam terasa sangat berharga baginya. Suara merdu tiba-tiba melintas di antara keramaian.

“Dion Orchias!”

Seorang gadis muda melangkah ringan. Rok hijau pucatnya bergoyang pelan, rambut kecokelatannya dikepang rapi, pipinya merona seperti bunga musim semi.

Aria Xander penjual ramuan herbal berusia delapan belas tahun. Hampir seluruh pasar mengetahui alasannya sering berada di dekat gerobak mie ini… dan bukan karena mie-nya.

“Selamat pagi, Dion.”

“Kau terlihat semakin tampan hari ini.”

Pria yang dipanggil Dion itu terus mengaduk tanpa menoleh.

“Karena aku tidak menggantungkan hidup pada pujian. Namun… terima kasih.”

“Kalau kukatakan aku merindukanmu?”

“Kalau rindu, silakan makan. Kalau tidak makan, jangan berdiri di sini.”

Aria terkekeh kecil.

Di sudut, dua ibu-ibu pasar berbisik, “Gadis itu makin jelas menunjukkan rasa sukanya.”

“Tetapi Dion, sedingin es di puncak gunung.”

“Es bisa mencair.”

“Jika dituangi lava. Kalau hanya dirayu? Tidak mempan.”

Aria duduk manis di bangku kecil.

“Semangkuk mie paling lezat dari penjual paling tampan.”

Dion menatapnya datar.

“Mie spesial dua keping perak. Jika memakai tatapan menggoda, menjadi tiga.”

Aria membelalakkan mata.

“Harusnya aku mendapat potongan harga karena cantik!”

Dion menggeser mangkuk mie ke hadapannya.

“Kecantikanmu adalah karunia. Namun aku berdagang mie, bukan menyebar pujian.”

Aria menghela napas kecil.

“Kau benar-benar pelit.”

“Bijaksana.”

“Tetap saja pelit dan kikir.”

“Realistis.”

“Pelit.”

Sendok kayu di tangan Dion berhenti menggantung di udara.

“Jika terus bicara, kubuat empat keping.”

Aria buru-buru meraih mangkuk.

“Baiklah, baiklah. Aku diam. Kikir!”

Tawa kecil terdengar dari para pelanggan. Dion mengangkat kepala sekilas, menatap langit. Sebuah senyum tipis—hanya sehembusan bayangan—terlihat di bibirnya. Bukan bahagia, namun seperti seseorang yang sengaja mengunci badai di dalam dada.

Dulu ia berdiri di puncak kejayaan, menjunjung langit dengan kekuatan yang menakuti dunia.

Kini ia menakar bumbu dan menghitung koin.

“Hidup selalu mencari yang murah…,” gumamnya lirih. “Persis seperti pelanggan yang gemar menawar.”

Aria mendongak, bibir berminyak dari kuah kaldu.

“Dion, nanti setelah kau selesai berdagang, apakah kau ada waktu? Aku ingin—”

“Tidak ada.”

“Tapi aku belum selesai bicara!”

“Apa pun yang hendak kau sampaikan, jawabannya tetap tidak.”

Aria menggembungkan pipi, kesal.

“Jika kau terus bersikap begini, aku sungguh-sungguh bisa jatuh cinta nanti.”

Dion terdiam. Tatapannya turun padanya, tenang namun gelap, dalam seperti langit tanpa bintang.

“Jangan lakukan kebodohan,” katanya perlahan. Aria membeku. Pipi memanas tanpa kendali. Ada getir aneh, seperti luka lama yang dibungkus ketenangan. Itu bukan penolakan. Itu peringatan. Seseorang yang pernah percaya—dan hancur karenanya—akan selalu takut pada kehangatan.

Lanjut membaca
Lanjut membaca